Mohon tunggu...
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung
Sunan Gunung Djati Blogger UIN SGD Bandung Mohon Tunggu... -

Sunan Gunung Djati adalah Harian Online Blogger Sunan Gunung Djati. Semula berawal dari Komunitas Blogger Kampus UIN SGD Bandung yang terbentuk pada tanggal 27 Desember 2007. Sejak 9 Februari 2009 dapat mengudara di Jagat Internet. Staff Redaksi: Pimpinan Umum: Ibn Ghifarie| Pimpinan Redaksi: Sukron Abdilah| Pengelola dan Keamanan Website: Badru Tamam Mifka, Zarin Givarian, Ahmad Mikail| Desain: Nur Azis| Kontributor Tetap: Pepih Nugraha (Senin-Ngeblog), Neng Hannah (Selasa-Gender), Bambang Q Anees (Rabu-Filsafat), Asep Salahudin (Kamis-Kesundaan), Afif Muhammad (Jumat-Teologi), ASM Romli (Sabtu-Media) Tim Susur Facebook: Cecep Hasanuddin, Reza Sukma Nugraha Tim Susur Blog: Amin R Iskandar, Jajang Badruzaman, Dasam Syamsudin, Dudi Rustandi. Seputar Redaksi: redaksi@sunangunungdjati.com Ayo Ngeblog, Ayo Berkarya! Selengkapnya klik www.sunangunungdjati.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Membicarakan Ulang “Wahyu Memamandu Ilmu”

15 Juni 2010   00:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:32 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kaitannya dengan paradigm “Wahyu Memandu Ilmu” dapat dikatakan bahwa melalui paradigm ini ilmu kembali diberi nilai. Posisinya yang netral ditarik kembali ke dalam nilai wahyu. Nmun bukan dalam sekadar ia bernilai (berlabel al-Quran) melainkan juga dalam kemampuannya melakukan pembebasan manusia dari perasaan-perasaan dan dorongan-dorongan fana yang berubah-ubah, dari dehumanisasi. Ilmu harus terus berkaitan juga dengan perilaku.

Dalam analisis Sardar, sekarang ini umat Muslim membutuhkan dua jenis paradigma: paradigma pengetahuan dan paradigma prilaku.. Paradigma pengetahuan adalah pemusatan perhatian pada prinsip, konsep dan nilai utama Islam yang menyangkut bidang pencarian tertentu. Paradigma perilaku adalah penentuan batasan-batasan etika di mana para ilmuwan Muslim dapat dengan bebas bekerja. Badan utama dari prinsip, konsep, nilai dan etika tersebut adalah Al-Quran, kehidupan Nabi Muhammad SAW, dan warisan intelektual Islam, dengan catatan semua ini harus dikaji dari perspektif realitas masa kini.  Sebagaimana halnya paradigma, disiplin ilmu pun memiliki dua bagian: 1) disiplin sebagai pengetahuan, seperti disiplin ilmu matematika, tata bahasa, sosiologi, fisika, dan lain-lain; dan 2) disiplin sebagai pembentukan prilaku manusia (secara individual maupun kelompok, menuju tindakan dengan kontrol-diri yang teratur) (Ziauddin Sardar, 1994: 44). Pada titik ini, Sardar ikut juga merumuskan pentingnya nilai (etik dan tindakan) terhadap ilmu dan ilmuwannya.

Untuk dapat ”melawan” positivisme ilmu, kita harus membangun epistemologi Pendidikan Islam. Gagasan Ziauddin Sardar tentang ciri epistemologi Islam yang dikemukakan dalam karyanya Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim dapat menjadi titik tolak.  Ciri-ciri itu adalah:

1. Epistemologi Islam didasarkan atas suatu Kerangka Pedoman Mutlak (Al-Qur`an dan Sunnah). 2. Dalam kerangka pedoman ini, epistemologi Islam bersifat aktif dan bukan pasif. 3. Epistemologi Islam memandang obyektifitas sebagai masalah umum dan bukan masalah pribadi. Sebuah ilmu menjadi objektif ketika ia berhasil menjadi problem solving bagi beragam masalah yang terjadi di masyarakat. 4. Sebagian besar bersifat deduktif. Salah satu ciri dari epistemologi Islam adalah bergerak dari ranah konseptual ke ranah faktual; pengempirikan gagasan-gagasan konseptual. 5. Memadukan pengetahuan dengan nilai-nilai Islam. Wahyu dan potensi nalar senantiasa berada dalam ranah sintesis. 6. Memandang pengetahuan sebagai yang bersifat inklusif dan bukan eksklusif, yaitu menganggap pengalaman manusia yang subyektif sama sahnya dengan evaluasi yang obyektif. 7. Berusaha menyusun pengalaman subyektif dan mendorong pencarian akan pengalaman-pengalaman ini, yang dari sini umat Muslim memperoleh komitmen-komitmen nilai dasar mereka. 8. Memadukan konsep-konsep dari tingakat kesadaran, atau tingkat pengalaman subyektif, sedemikian rupa sehingga konsep-konsep dan kiasan-kiasan yang sesuai dengan satu tingkat tidak harus sesuai dengan tingkat lainnya. Ini sama dengan perluasan dari jangkauan proses “kesadaran” yang dikenal dan termasuk dalam bidang imajinasi kreatif dan pengalaman mistis serta spiritual. 9. Tidak  bertentangan dengan pandangan holistik, menyatu dan manusiawi dari pemahaman dan pengalaman manusia. Dengan begitu dia sesuai dengan pendangan yang lebih menyatu dari perkembangan pribadi dan pertumbuhan intelektual.( (Sardar: 1991:44).

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada gilirannya nilai-nilai epistemologis Islami tersebut senantiasa harus berkorelasi dengan kerangka aksiologisnya. Untuk sampai pada harapan di atas, kiranya diperlukan kesungguhan dan ketelitian luar biasa dalam tataran operasionalnya. Lebih dari itu, kemampuan umat Islam dalam membaca sejarah akan jadi faktor penentu pula. Bila faktor-faktor penyebab kemajuan Islam masa silam dan kemundurannya dapat dirumuskan secara tepat, kemudian dibaca dan diterapkan dalam konteks kekinian, bukanlah hal yang mustahil Islam akan kembali tampil sebagai pengendali peradaban. Islam masa depan —dalam kerangka ini— adalah Islam yang mengkorelasikan ‘kekudusan wahyu’ dengan “kecerdasan akal” dan “kreatifitas insani” (sebagai perwujudan dari tiga sumber epistemologi Islam). Pemisahan ketiganya —atau pengukuhan salah-satunya— hanya akan melahirkan ketimpangan peradaban; sebuah ‘malapetaka epistemologis’ dengan resiko serius.

Dari sembilan ciri ini, Sardar kemudian mendefinisikan nilai-nilai pijakan Ilmu Pengetahuan Islam. Pada sebuah seminar tentang “Pengetahuan dan Nilai” telah dilaksanakan di bawah perlindungan Internasional Federation of Institutes of Advance Study (IFIAS) di Stockhlom pada september 1981 (Sardar: 1991:161). Sardar – pembicara kunci dan salah satu penggagas– menghasilkan sepuluh konsep Islami dan secara bersama-sama membentuk kerangka nilai sains (ilmu pengetahuan)  Islam. Sepuluh konsep tersebut adalah: (1)  Tauhid (keesaan Tuhan), (2) Khilafah (perwakilan manusia), (3) ‘Ibadah (pengabdian, pemujaan), (4) ‘Ilm (ilmu pengetahuan), (5) Halal (diizinkan), (6) Haram (dilarang), (7) ‘Adl (keadilan sosial), (8) Zhulm (kedzaliman), (9) Istishlah (kepentingan umum), (10) Dziya’ (pemborosan) (Nasim Butt, 1996:67)

Mengenai langkah praktis lanjutan dari sepuluh konsep yang membentuk kerangka nilai sains Islam tersebut, Sardar mengatakan bahwa ketika model teoritis sains Islam ini memerlukan penanganan lebih jauh, maka jelaslah ia dapat membentuk landasan sebuah kebijaksanaan sains praktis bagi negara-negara Islam.

Dalam kerangka pembicaraan kita, ke-10 konsep itu adalah “Wahyu” yang akan memandu ilmu. Bagaimana mekanismenya? Sardar mengemukakan nilai dari ke-10 konsep itu. Pertama, konsep Tauhid, Khilafah dan ‘Ibadah menjadi Paradigma Dasar dari pengetahuan.Kedua, Konsep ‘Ilm sebagai Sarana, Ketiga, Konsep Halal, ‘Adl dan Ishtishlah sebagai Penuntun atau Pembimbing; keempat, Konsep Haram, Zhulm dan Dziya’ sebagai Pembatas. Untuk dapat memperjelas keterakaitan antar nilai epistemologi ini maka keseluruhan nilai ini dapat dipetakan dalam skema seperti di bawah ini:

Text Box: PenuntunText Box: Pembatas

BAgan ini dapat dibaca sebagai berikut:

-          Ketiga konsep pokok yaitu tauhid, khilafah dan ibadah adalah pembentuk paradigma sains Islam. Ilmu harus berkembang berdasarkan prinsip tauhid, untuk melakukan pengaturan kehidupan menjadi lebih baik (khilafah), dan agar manusia dapat terus beribadah kepada Tuhannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun