Galileo konon penganut agama yang saleh. Bahkan anaknya menjadi biarawati. Konon pada saat ia putus asa setelah menerima keputusasaan dari inkuisisi, bahwa bukunya dilarang terbit, anaknya menulis surat. “Papa. Jangan katakana namamu dihapus de libro viventium (dari buku kehidupan), karena tidak demikian halnya, baik di kotamu, maupun di tempat lain. Bagiku tampaknya, kalau nama dan reputasimu untuk sementara tertutup awan saja, sebentar juga akan pulih dalam keagungan yang lebih besar, yang akan membuat keheranan, karena aku tahu bahwa tak seorang nabi pun dihargai di tempatnya sendiri”.
Kesalehan adalah hal lain dengan pemikiran. Kesalehan saja tak mencukupi jika pemikiran mengganggu otoritas wahyu.
KAsus#2: Nasr Hamid Abu Zayd
Nasr Hamid Abu Zayd dianggap murtad dan pengadilan agama menganggap perkawinannya batal. Tahun itu sekitar tahun 1995. Mulanya adalah sebuah karya ilmiah dosen yang diajukannya untuk keperluan kenaikan pangkat ke tingkat guru besar. Begitu karya itu dinilai oleh beberapa ahli, mereka kemudian memvonis bahwa pemikiran Abu Zayd sebagai tidak sesuai dengan ajaran Islam. Perdebatan ini meluas sampai ke luar kampus, sejumlah pengacara “fundamentalis” membawa vonis ini ke pengadilan dan mengajukan gugatan cerai tanpa persetujuan dan keinginan sendiri, baik dari Abu ZAyd maupun istrinya. Mereka menengarai bahwa perkawinan seorang murtad dengan wanita Muslim adalah tidak sah dank arena itu memohon kepada pengadilan untuk membatalkan tali perkawinan mereka.
Abu Zayd kemudian “meminta perlindungan” sampai ke negeri BElanda. Sampai kini ia menetap di Belanda sebagai exile. Ini pun berasal dari pemikiran Abu Zayd yang konon dianggap “mengganggu” otoritas wahyu. Memang ia cukup berani mengganggu bahkan menggugat beberapa konsep lama yang dianggap mapan seperti asbab al-nuzul dan al-nasikh wa al-mansukh, pada tulisan yang lain ia juga berani menyatakan bahwa kerangka pemikiran fiqh Imam Syafii adalah Arabsentris. Ia pun dengan bebas menuliskan perspektif marxisme terhadap Islam, al-Tafsir Al-MArkisi li Al-Islam (Islam dalam Perspektif Marxisme) atau hermenutika.
Tetapi Abu ZAyd sebenarnya ummat yang saleh. Ia tumbuh dan dibesarkan dalam asuha gerakan Al-Ikhwan al-Muslimin di Mesir. Konon ketika ia aktif di Ikhwan, cabang al-Ikhwan di kampungnya termasuk cabang paling aktif di Mesir. Dalam menghafal al-Quran dan pelaksanaan shalat berjamaah tepat waktu di mesjid, saat muda, dia lebih unggul daripada anak-anak lainnya. Ia juga dosen yang baik, kesalahannya barangkali karena ia berpikir terlalu “maju”. Ia kini dideportasi di luar negeri karena pemikirannya (ilmu) tidak lagi sepandu dengan wahyu. Walaupun demikian ia masih terus berkata, “Saya tetap konsisten atas hasil penelitian-penelitian yang saya lakukan hingga saya menemukan argumentasi yang dapat membuktikan bahwa hasil penelitian itu keliru”.
Beberapa Alasan yang Mendasari Wahyu Memandu Ilmu
Dua kisah di atas berujung pada satu kegelisahan, apakah jika wahyu harus memandu ilmu maka pengkafiran akan dilakukan?
Sebenarnya kekhawatiran seperti itu seharusnya dapat dipupus, terutama bila kita memiliki system yang benar-benar merujuk pada aturan yang benar. Imam Muhammad Abdul menyatakan, “Kalau pemikiran seseorang mengandung seratus indikasi kekafiran dan hanya satu indikasi keimanan, orang itu tetap dianggap sebagai orang yang beriman”. Sementara al-Ghazali dalam Fashl al-Tafarruq Baina al-Islam wa al-Zindiqah menegaskan bahwa “Hanya orang bodoh yang tergesa-gesa menghukum seseorang sebagai orang kafir” (h. 27). Jadi, ada angin segar bagi para pemikir kampus ini bahwa pengkafiran tak mungkin menjadi modus dari paradigm “wahyu memandu ilmu”.
Lalu apa saja modus yang mungkin dari paradigma “wahyu memandu ilmu”?
Ada dua perspektif yang dapat dikemukakan di sini. Pertama gagasan tentang Islamisasi Sains, kedua tentang kritik terhadap positivisme Ilmu.