Gagasan Islamisasi Pengetahuan muncul pertama kali pada saat diselenggarakannya Konferensi Dunia yang pertama tentang Pendidikan Islam di Mekkah pada tahun 1977. Pada saat itu Seyyed Muhammad Naquib Al-Attas mengajukan gagasan Islamisasi Pengetahuan dalam makalahnya yang berjudul Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and the Aims of Education. Al-Attas menyatakan bahwa “tantangan terbesar yang secara diam-diam dihadapi oleh ummat Islam pada zaman ini adalah tantangan pengetahuan, bukan dalam bentuk sebagai kebodohan, tetapi pengetahuan yang dipahami dan disebarluaskan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat”. Kemudian al-Faruqi menegaskan bahwa “Sistem pendidikan Islam telah dicetak di dalam sebuah karikatur Barat, sehingga ia dipandang sebagai inti malaise atau penderitaan yang dialami ummat” (al-Faruqi, 1984).
Pendapat kedua tokoh ini dikuatkan oleh penelitian Idris Shofwan Idris (1982) dalam disertasi “Tokoh-Tokoh Nasional, Oerseas Eduation and Evolution of the Indonesian Educated Elite” (The University of Wincousin-Madison). Pada disertasi ini, Idris menyatakan bahwa Sistem Pendidikan Indoesia (paling tidak atas analisisnya teradap UU No. 1 tahun 1950 jo. UU No. 2 Tahun 1954) tidak terlepas dari duplikasi terhadap pendidikan di Negara-negara Barat, ia menunjukkan bahwa system pendidikan nasional secara teoritik banyak diwarnai corak pemikiran humanism.Penyebabnya, karena elit pemikirnya berasal dari didikan kolonialis Belanda atau Eropa. Situasi ini membuat berkembang dualisme pendidikan di neger ini: Islami dan sekuler.
Situasi ini, menurut Ma’arif dalam Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (1993) menunjukkan kerapuhan filosofi pendidikan Islam. Karena itu ia menyarankan agar secara teoritis filosofis pendidikan Islam melakukan pembaruan dan menumbangkan konsep dualism dikotomik secara mendasar antara apa yang dikategorikan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sekuler. Ia menambahkan, seharusnya ilmu-ilmu agama menduduki posisi fardlu ‘ain dan ilmu-ilmu secular –paling tinggi—berada pada posisi fardlu kifayah.
Dalam memecahkan persoalan ini, Ma’arif menawarkan landasan filosofis pendidikan yang sepenuhnya berangkat dari cita-cita al-Quran tentang manusia, serta perlunya kegiatan pendidikan di bumi yang berorientasi ke langit (orientasi transcendental), yang harus tercermin secara tajam dan jelas dalam rumusan filsafat pendidikan Islam, agar kegiatan pendidikan mempunyai makna spiritual yang mengatasi ruang dan waktu.
Mastuhu dalam Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren (INIS, Jakarta, 1994) mengemukakan pendidikan Islam harus berangkat dari filsafat pendidikan theosentris. Ciri-cirinya adalah (1) mengandung dua jenis nilai, yaitu nilai kebenaran absolute, yakni wahyu Tuhan, dan nilai keberan relative yakni hasil penagsiran manusia terhadap wahyu Tuhan. Karena itu, kedua nilai itu mempunyai hubungan hierarkis, yakni nilai kebenaran absolute merupakan supremasi terhadap kebenaran relatif, dan kebenaran relatif tidak boleh bertentangan dengan nilai absolute; kedua, ia memandang bahwa semua yang ada diciptakan olehNya berjalan menurut hukumNya, dan kembali kepada kebenaran-Nya; ketiga, ia memandang bahwa manusia dilahirkan sesuai dengan fitrahnya dan perkembangan selanjutnya tergantung pada lingkungan dan pendidikan yang diperolehnya; keempat, ia mendasarkan kegiatan pendidikannya pada tiga nilai kunci, yaitu ibadah, ikhlas, dan ridlo; kelima, manusia dipandang secara utuh dan dalam kesatuan diri dengan kosmosnya sebagai makhluk pencari kebenaran Tuhan, keenam, kegiatan belajar mengajar dipandang sebagai bagian dari totalitas kehidupan, merupakan kewajiban yang tak mengenal batas selesai dan merupakan ibadah kepada Tuhan (Muhaimin, Rekonstruksi PEndidikan Islam, 2009, h.94)
Kesemua gagasan ini menunjukkan kesamaan semangat, dalam proses pendidikan paradigm “wahyu memandu ilmu” harus digunakan. Jadi, gagasan dasarnya sebenarnya pada bagaimana praktek pendidikan yang sanggup menjadikan wahyu sebagai sumber dan payung dari ilmu.
Penentang dari gagasan ini adalah argument tentang netralnya ilmu. Ilmu itu bebas nilai, jadi memasukkan nilai Islam ke dalam mekanisme proses atau pelaksanaan ilmu tidak akan memengaruhi ilmu, justru wahyu akan tampak sangat artificial. Pada titik inilah, alasan kedua dari paradigm “Wahyu Memandu Ilmu“ dapat dibicarakan, yaitu mengkritik kenetralan ilmu (sebagaimana digagas oleh positivism).
Ilmu itu harus positive demikian ungkap Comte dalam arti “apa yang didasarkan pada fakta” (Berteens, Ringkasan Sejarah Filsafat, h. 72). Positivisme menerangkan bahwa pengetahuan kita tidak boleh melebihi fakta. Dengan istilah “positif” ini, Comte memisahkan ilmu pengetahuan dan metafisika. Comte ingin melenyapkan penyelidikan filosofis yang tak kunjung selesai dan karenanya dianggap tidak menghasilkan makna apa-apa dan sia-sia. Karena itu, ppsitivisme membatasi penyelidikan hanya pada fakta. Kemudian Mach menyatakan bahwa fakta adalah obyek-obyek yang dialami secara inderawi. Macam fakta yang diselidiki secara metodologis menunjukkan macam ilmu pengetahuan. Jika fakta itu “masyarakat”, ilmunya sosiologi; jika fakta itu “gejala-gejala kehidupan material”, ilmunya biologi; jika fakta itu “benda-benda”, ilmunya fisikan, demikian seterusnya. Semua ilmu itu menyelidiki fakta-fakta secara metodologis dengan penelitian, maka ilmu pengetahuan tidak lebih dari prosedur metodolgis belaka. (Hardiman, Kritik IDeologi, 1990, h. 129)
Kaitannya dengan paradigm “wahyu memandu ilmu” adalah bahwa positivism ingin menghancurkan metafisika, metafisika dianggap tidak bermakna. Habermas menyatakan dalam Knowledge and Human Interest bahwa “ positivisme menyatakan tidak berminat terhadap hakikat-hakikat yang telah disingkapkan sebagai ilusi atau khayal”. Di sinilah muasal anggapan bahwa ilmu itu netral dari nilai-nilai, agama tentu saja semakin tersingkir dari proses-proses ilmu.
Positivisme membawa kita pada pemahaman obyektivisme dalam ilmu. Obyektivisme segera memisahkan teori dari praxis: pengetahuan dari kehidupan, ilmu pengetahuan dari etika, karena pengetahuan telah menjadi barang obyektif yang netral. Fakta itu berada ‘di sana’ merupakan barang asing di hadapan subyek yang sebetulnya turut membentuknya. PEnyingkiran peran subyek menyembunyikan peranan subyek dalam menentukan obyeknya. Ilmu sejenis ini, menurut mazhab Farnkfurt, menyimpan ideology pembiaran status quo, membiarkan apa yang terjadi tanpa harus turun tangan memperbaikinya. Positivisme pada akhirnya membuat para ilmuwan tak merasa perlu berhubungan dengan kehidupan. Lalu apa gunanya pengetahuan jika tidak berhubungan dengan pengetahuan?
Padahal sedari awal, dari sejarah Filsafat Yunani Kuno, telah terjalin kaitan antara teori dan praxis hidup manusia sehari-hari. Teori selalu terkait denghan cita-cita etis seperti kebaikan, kebijaksanaan atau kehidupan sejati baik secara individu maupun secara kolektif dalam polis (Negara kota). Dengan teori, manusia memperoleh suatu orientasi untuk bertindak secara tepat sehingga praxis hidupnya dapat merealisasikan kebaikan, kebahagiaan dan kemerdekaan. Pada filsafat Yunani Kuno, pengetahuan bukan hanya demi pengetahuan ke dalam kategori-kategori abstrak yang terlepas dari kehidupan konkret. Pengetahuan selalu ada dalam bios theoritikos. “Bios theoritikos merupakan suatu bentuk kehidupan, suatu ‘jalan’ untuk mengolah dan mendidik jiwa dengan membebaskan manusia dari perbudakan oleh doxa (pendapat) dan dengan jalan itu manusia mencapai otonomi dan kebijaksanaan hidup. Dengan demikian, dalam pemahaman primitifnya, teori memiliki kekuatan emansipatoris (pembebabasan). Pada titik ini, berpengetahuan dalam perspektif Yunani Kuno mirip dengan beragama.