Untuk sepatu yang kami pakai sekolah pun tidak lebih dari satu pasang. Kami tidak mempunyai sepatu pengganti bila sepatu yang kami pakai rusak. Apalagi untuk gonta-ganti sesuai hari atau punya lebih dari sepasang seperti yang dimiliki oleh umumnya generasi pelajar sekarang.Â
Soal makan sehari-hari, saya dan saudara-saudara kandung termasuk anak yang tidak pernah protes atau meminta makanan yang lebih enak saat orang tua kami hanya mampu menyediakan nasi dengan lauk kerupuk, nasi dengan adukan garam, nasi dengan lauk ongseng oncom, nasi dengan campuran adukan belacan atau nasi saja. Kami adalah generasi yang bisa menerima kondisi ekonomi orang tua.
Di kehidupan sosial atau interaksi pergaulan sosial di bidang apa pun termasuk bidang niaga atau bisnis, orang-orang kini tampak tak pernah puas dengan apa yang sudah diterimanya. Terlebih ketika terhubung dengan hal-hal yang terkait uang, harta, tahta, kepuasan seks dan segala keuntungan atau hasil yang berbau materi serta kekuasaan atau jabatan prestise.Â
Sungguh sangat berbeda dengan apa yang dulu dan sekarang saya rasakan. Para pelajar contohnya, kini hampir tidak lagi terlihat ada yang memakai tas buatan tangan, atau menggunakan tas toko yang itu-itu saja. Bahkan tas dan sepatu yang dibeli dari toko seringkali tak hanya dimiliki satu buah atau sepasang.Â
Makan sehari-hari mereka pun tidak lagi bisa dibilang seadanya, ada tuntutan pergaulan dan butus yang harus dipenuhi sebagai generasi yang tidak mau tertinggal dalam hal apa pun untuk dapat melakukan update status termasuk urusan makan.
Apalagi sejak berkembangnya era jualan produk live streaming ketika dengan tawaran kemudahan bayar nanti (paylater) yang membuat para pelajar dan mahasiswa mudah tergoda.
Sebab ketika para pelajar dan mahasiswa seolah diberi kuasa untuk dapat menentukan gaya hidupnya sendiri mereka tak lagi memiliki rasa puas saat dihadapkan pada perilaku FOMO dan YOLO. Hal ini pulalah yang juga menjadi salah satu penyebab timbulnya doom spending dan kepemilikan utang dikalangan pelajar dan mahasiswa.
Mereka yang umumnya belum memiliki penghasilan dan telah terpapar perilaku FOMO dan YOLO tentunya bakal mudah terjebak ke dalam budaya konsumtif dalam ketidakmampuannya menahan gangguan mental tak pernah puas, hingga akhirnya menempatkan dan melekatkan dirinya ke dalam fenomena maracuk.Â
Parahnya, fenomena maracuk sudah menginfeksi berbagai kalangan termasuk para elite dan kaum intelektual. Kebanyakan orang sekarang tidak pernah puas dengan satu penghasilan, satu jabatan, satu kali korupsi, satu kali begal, satu rumah mewah, satu apartemen premium, satu perbuatan yang mendatangkan kenikmatan, satu cabang, satu usaha, satu bisnis, satu istri, satu suami dan lainnya yang mencerminkan kondisi seseorang tidak pernah puas dengan apa pun yang telah dicapai atau dimiliki. Selalu kurang.
Suatu kondisi rasa kehilangan yang justru menyenangkan. Karena kehilangan rasa diproses ini adalah suatu keadaan individu yang malah akan bertemu dengan sesuatu yang sebelumnya tidak ada menjadi ada, kecil menjadi besar, dikit menjadi banyak, miskin menjadi kaya, di bawah menjadi di atas dan lainnya, meskipun dalam meraih atau mencapainya seringkali tak mengindahkan empati atau simpati dan menabrak moral, etika, norma, agama atau nilai positif lainnya.
Fenomena matinya rasa cukup atau disingkat maracuk, merujuk pada hilangnya rasa cukup. Sebuah rasa kecukupan yang sudah hilang dari hati manusia, selalu kurang, tidak pernah puas sehingga harus lebih di atas, lebih kuasa, lebih kaya, lebih berpunya, lebih cantik, lebih tampan dan lebih lainnya daripada orang lain, yang tentu saja akan menghadirkan kesenangan. Kehilangan rasa cukup inilah jenis kehilangan yang dimaksud, yang justru menyenangkan.     Â