Di tengah kerepotan mengurus semua kartu identitas, berita kehilangan yang saya cemaskan datang juga. Ibu berpulang tidak sampai 24 jam setelah operasi pemotongan ususnya. Usianya terbukti tak sanggup menahan beban rasa sakit dan umur ususnya turut tak mampu menguatkan hasil operasi, yang kabarnya mengalami pecah hingga membuat ibu terhenti napasnya. Saya kehilangan.Â
Suatu rasa yang disebut duka dan pasti akan menghadirkan sedih, pilu, tangis atau air mata serta akan dialami oleh hampir setiap mahluk bernyawa. Karena kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Potter & Perry, 2005). Lantas mengapa ada kehilangan yang justru menyenangkan?Â
Saya mulai mengingat-ingat lagi masa-masa yang telah lewat, saat kehilangan apa saya merasa senang. Banyak asumsi dan indikasi yang bisa saja menjadi alasan bagi tiap orang merasakan senang justru ketika kehilangan.
Bagi mereka yang memiliki sifat tamak, benci, dendam dan miskin empati misalnya, orang tua yang menemui kematian dengan meninggalkan harta kekayaan yang akan diwariskan bisa merupakan bagian dari kehilangan yang justru menyenangkan.Â
Tetapi tentu alasan tersebut masih bisa menimbulkan perdebatan panjang karena tak ada anak yang mau dituduh senang justru pada saat orang tuanya menjemput ajal meskipun faktanya sangat mungkin terjadi.
Oleh karenanya, dalam konteks kehilangan orang yang dicintai, indikasi akan kehilangan yang justru mendatangkan kesenangan masih terbilang samar atau perlu pembuktian yang valid.Â
Kemudian pada saat saya mengingatnya dari perspektif lain dengan mengkorelasikan dengan kondisi yang ada sekarang, saya paham bahwa ada satu rasa kehilangan yang justru menyenangkan bagi banyak orang ketika melakukannya.Â
Benar, argumentasinya bukan mengalami tetapi melakukan. Inilah yang membedakan kehilangan yang justru menyenangkan, yaitu menciptakan kehilangan yang tidak berpengaruh pada kesedihan, kepiluan dan air mata. Kemudian, apa yang dilakukan manusia untuk menciptakan rasa kehilangan yang menyenangkan itu?
Ketika zaman Sekolah Dasar (SD) dahulu, ibu saya memilih membuatkan tas sekolah untuk anak-anaknya dengan menggunakan sisa bahan merah seragam bawahan sekolah.Â
Tas sederhana berjenis tote bag dengan sebuah kantong di bagian depan dan beberapa saku seukuran pensil atau pulpen, bertahan atau berganti warna biru sesuai seragam bawahan sekolah saat memasuki bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).Â
Di masa Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP), kami anak-anaknya nyaris tidak pernah merasakan tas baru dari toko seperti kebanyakan anak lainnya. Nanti saat menginjak masa Sekolah Menengah Atas (SMA) barulah kami dapat merasakan tas yang dibeli dari sebuah toko.