Suatu pagi di bulan Februari 2016 saya mengalami musibah yang menyakitkan. Tas pinggang saya yang berisi berbagai macam barang dan identitas penting, hilang dicuri orang.
Sebuah dumb phone dan chargernya, charger smartphone, ipod shuffle generasi 4, cincin batu bacan, uang sebesar Rp 600 ribu, KTP, ATM, kartu asuransi kesehatan dan berbagai kartu identitas lainnya, melayang tanpa tahu siapa pencurinya.Â
Sepulang kerja seusai membuka sepasang sepatu, saya ingat betul sudah menaruh tas pinggang di atas bangku di ruang tamu. Maka saya yakin tak mungkin tas pinggang berpindah lokasi dengan sendirinya. Karena itu tak guna bila saya mencarinya ke lain tempat. Saya tak mengecek kemana-mana kecuali memeriksa pintu ruang tamu, yang ternyata belum saya kunci. Saya akui lalai.Â
Ketika saya ingat-ingat lagi, rupanya saya terkena "jam koma" malam tadi. Selepas meletakkan tas pinggang di atas bangku, saya hanya sempat mengambil smartphone lalu melangkah ke kamar tidur merebahkan tubuh barang sebentar di atas kasur untuk memeriksa smartphone.Â
Pakaian kerja pun masih melekat di badan belum salinan. Saya pikir sekejap saja merebahkan diri, melepas pakaian, memindahkan tas, dan mengunci pintu biarlah nanti. Tetapi jangankan berganti pakaian atau bangun dan melangkah keluar untuk mengunci pintu depan, membuka smartphone saja tak sempat saya lakukan. Saya terlelap karena kelelahan.Â
Akibatnya tas pinggang saya dengan segala harta benda di dalamnya raib digondol orang. Naas memang tak pandang bulu. Tak peduli saya sedang dilanda rindu atau pilu. Kesusahan sudah pasti akan datang bertamu.Â
Tas pinggang itu benar-benar hilang tanpa jejak. Padahal sedekat ingatan saya, hampir berpuluh-puluh tahun lamanya, sejak lahir dan dibesarkan di rumah peninggalan orang tua, rumah yang saya tempati itu tak pernah disatroni maling meskipun pintu tak dikunci.
Kiranya kali ini ujian sedang datang berulang. Sebab nun jauh di sana, ibu saya berjuang melawan sakit di saluran usus yang dideritanya dan sedang berada dalam perjalanan menuju rumah sakit di daerah Bogor.
Pikiran saya kalut. Cemas. Bukan hanya karena membayangkan gerak yang tak akan leluasa jika mau pergi kemana-mana lantaran hampir semua kartu identitas hilang, melainkan berpikir pula tentang kondisi ibu yang kabarnya mengkhawatirkan. Terlebih sudah sepekan saya tak bertemu dengannya sejak terakhir kali menjenguknya di Jombang, Tangerang, tempat tinggal kakak ke tujuh.Â
Belum lagi ipod shuffle generasi 4, barang kesayangan yang biasa menemani perjalanan saya ikut lenyap. Satu-satunya barang pemberian yang tak akan bisa tergantikan sebab nilainya lebih dari sekadar uang.Â
Dan arrrghhh... membayangkan mengurus semua kartu-kartu identitas yang bakal menyita waktu, menyedot uang saku dengan segala tetek bengek prosesnya, membuat saya mengutuk habis-habisan pencurinya. Mengapa sang pencuri tak mau mengembalikan kartu-kartu identitas yang tak akan berguna baginya?
Walaupun saya telah mengirimi pesan berkali-kali ke pencuri tas lewat SMS (short message service) ke nomor dumb phone milik saya yang juga diangkut paksa, dan masih aktif ketika beberapa kali coba saya hubungi tanpa mau diangkat.
Pesan-pesan yang saya kirim berisi permintaan agar kartu-kartu penting milik saya dikembalikan saja via paket tanpa perlu mencantumkan alamat pengirim ke alamat saya di KTP, tak ada satu pun kartu identitas pernah kembali. Kok bisa maling setega itu! Ah... tapi mana ada maling tak tega pada korbannya.
Lebih kesal dan menjengkelkan saat sejumlah tetangga tahu musibah yang menimpa saya. Ada saja di antara mereka yang mengatakan, "Masih untung kamu sempat ambil smartphone ya! Coba kalau nggak, turut bablas deh! Untung ndasmu batin saya menggerutu.Â
Lalu ada yang lain ikut celetuk, "Kamunya kurang sedekah pasti nih!" Saya mengangguk saja sambil garuk kepala. Kemudian yang lain lagi menimpali, "Sudah coba ke orang pintar mas?" . Belum, kalau minum tolak angin sudah. Lagi-lagi batin saya menjawab sambil menggeleng daripada diam bikin tambah mumet dan hidung mampet.Â
Saya pun mulai berpikir dan bertanya-tanya mengapa malingnya kemaruk. Kalau pun dia jago utak-atik nomor pin, kan perucma saldo saya sudah nol. Digestun di mana pun hasilnya akan sama; nihil. Mirip laporan spt pajak tahunan jika tak mau ada kekurangan bayar maka hasil laporan tak boleh di luar nihil. Maka selain dana tunai Rp 600 ribu yang ada di dalam tas, uang milik saya tak akan ada lagi.Â
Tetapi jangan-jangan malingnya sudah terpapar gangguan mental tak pernah puas. Fenomena maracuk yang telah mulai menjangkiti banyak orang sebelum munculnya era digital. Disinyalir mulai tumbuh saat perkembangan dunia bisnis beralih secara perlahan dari pola-pola kapitalis ke tiap-tiap individu lewat sistem multi level marketing, yang ujung-ujungnya bertumbuhan pula tokoh-tokoh motivator pada zamannya.
Tokoh-tokoh yang tanpa disadari atau barangkali dalam kesadaran telah menggerakkan dan mengarahkan konsep bahwa kebahagiaan manusia adalah sukses mutlak, kekayaan dan uang. Sebuah konsep yang cenderung menghidupkan sifat tamak, serakah, rakus atau loba. Dan konsep tersebut justru semakin menguat seiring perkembangan teknolgi digital walaupun era pertumbuhan motivatornya malah condong meredup.Â
Sehingga maling tas saya pun diduga punya niat menjual kartu-kartu identitas saya ke pasar gelap untuk mendapatkan keuntungan lebih banyak ketimbang dikembalikan. Sebab barangkali bisa digunakan pada aktivitas kriminal lainnya yang bisa menarik sejumlah keuntungan lain.
Tiga hari setelah kehilangan tas pinggang berikut isinya, belum ada satu pun berita baik. Termasuk berita baik tentang ibu saya yang telah tiga hari pula dirawat di ruang IGD (Instalasi Gawat Darurat) dan menunggu operasi pemotongan usus yang katanya mengalami penyempitan.Â
Sementara saya belum bisa berkunjung dan masih terjebak dengan birokrasi kepengurusan berbagai kartu identitas. Mulai dari lapor kehilangan ke kepolisian lalu mengurus segalanya ke RT, RW, kelurahan, dukcapil, bank, asuransi, samsat, provider SIMcard nomor telepon dan termasuk ke tempat kerja, saya proses sendiri tanpa perantara.Â
Di tengah kerepotan mengurus semua kartu identitas, berita kehilangan yang saya cemaskan datang juga. Ibu berpulang tidak sampai 24 jam setelah operasi pemotongan ususnya. Usianya terbukti tak sanggup menahan beban rasa sakit dan umur ususnya turut tak mampu menguatkan hasil operasi, yang kabarnya mengalami pecah hingga membuat ibu terhenti napasnya. Saya kehilangan.Â
Suatu rasa yang disebut duka dan pasti akan menghadirkan sedih, pilu, tangis atau air mata serta akan dialami oleh hampir setiap mahluk bernyawa. Karena kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Potter & Perry, 2005). Lantas mengapa ada kehilangan yang justru menyenangkan?Â
Saya mulai mengingat-ingat lagi masa-masa yang telah lewat, saat kehilangan apa saya merasa senang. Banyak asumsi dan indikasi yang bisa saja menjadi alasan bagi tiap orang merasakan senang justru ketika kehilangan.
Bagi mereka yang memiliki sifat tamak, benci, dendam dan miskin empati misalnya, orang tua yang menemui kematian dengan meninggalkan harta kekayaan yang akan diwariskan bisa merupakan bagian dari kehilangan yang justru menyenangkan.Â
Tetapi tentu alasan tersebut masih bisa menimbulkan perdebatan panjang karena tak ada anak yang mau dituduh senang justru pada saat orang tuanya menjemput ajal meskipun faktanya sangat mungkin terjadi.
Oleh karenanya, dalam konteks kehilangan orang yang dicintai, indikasi akan kehilangan yang justru mendatangkan kesenangan masih terbilang samar atau perlu pembuktian yang valid.Â
Kemudian pada saat saya mengingatnya dari perspektif lain dengan mengkorelasikan dengan kondisi yang ada sekarang, saya paham bahwa ada satu rasa kehilangan yang justru menyenangkan bagi banyak orang ketika melakukannya.Â
Benar, argumentasinya bukan mengalami tetapi melakukan. Inilah yang membedakan kehilangan yang justru menyenangkan, yaitu menciptakan kehilangan yang tidak berpengaruh pada kesedihan, kepiluan dan air mata. Kemudian, apa yang dilakukan manusia untuk menciptakan rasa kehilangan yang menyenangkan itu?
Ketika zaman Sekolah Dasar (SD) dahulu, ibu saya memilih membuatkan tas sekolah untuk anak-anaknya dengan menggunakan sisa bahan merah seragam bawahan sekolah.Â
Tas sederhana berjenis tote bag dengan sebuah kantong di bagian depan dan beberapa saku seukuran pensil atau pulpen, bertahan atau berganti warna biru sesuai seragam bawahan sekolah saat memasuki bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).Â
Di masa Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP), kami anak-anaknya nyaris tidak pernah merasakan tas baru dari toko seperti kebanyakan anak lainnya. Nanti saat menginjak masa Sekolah Menengah Atas (SMA) barulah kami dapat merasakan tas yang dibeli dari sebuah toko.
Untuk sepatu yang kami pakai sekolah pun tidak lebih dari satu pasang. Kami tidak mempunyai sepatu pengganti bila sepatu yang kami pakai rusak. Apalagi untuk gonta-ganti sesuai hari atau punya lebih dari sepasang seperti yang dimiliki oleh umumnya generasi pelajar sekarang.Â
Soal makan sehari-hari, saya dan saudara-saudara kandung termasuk anak yang tidak pernah protes atau meminta makanan yang lebih enak saat orang tua kami hanya mampu menyediakan nasi dengan lauk kerupuk, nasi dengan adukan garam, nasi dengan lauk ongseng oncom, nasi dengan campuran adukan belacan atau nasi saja. Kami adalah generasi yang bisa menerima kondisi ekonomi orang tua.
Di kehidupan sosial atau interaksi pergaulan sosial di bidang apa pun termasuk bidang niaga atau bisnis, orang-orang kini tampak tak pernah puas dengan apa yang sudah diterimanya. Terlebih ketika terhubung dengan hal-hal yang terkait uang, harta, tahta, kepuasan seks dan segala keuntungan atau hasil yang berbau materi serta kekuasaan atau jabatan prestise.Â
Sungguh sangat berbeda dengan apa yang dulu dan sekarang saya rasakan. Para pelajar contohnya, kini hampir tidak lagi terlihat ada yang memakai tas buatan tangan, atau menggunakan tas toko yang itu-itu saja. Bahkan tas dan sepatu yang dibeli dari toko seringkali tak hanya dimiliki satu buah atau sepasang.Â
Makan sehari-hari mereka pun tidak lagi bisa dibilang seadanya, ada tuntutan pergaulan dan butus yang harus dipenuhi sebagai generasi yang tidak mau tertinggal dalam hal apa pun untuk dapat melakukan update status termasuk urusan makan.
Apalagi sejak berkembangnya era jualan produk live streaming ketika dengan tawaran kemudahan bayar nanti (paylater) yang membuat para pelajar dan mahasiswa mudah tergoda.
Sebab ketika para pelajar dan mahasiswa seolah diberi kuasa untuk dapat menentukan gaya hidupnya sendiri mereka tak lagi memiliki rasa puas saat dihadapkan pada perilaku FOMO dan YOLO. Hal ini pulalah yang juga menjadi salah satu penyebab timbulnya doom spending dan kepemilikan utang dikalangan pelajar dan mahasiswa.
Mereka yang umumnya belum memiliki penghasilan dan telah terpapar perilaku FOMO dan YOLO tentunya bakal mudah terjebak ke dalam budaya konsumtif dalam ketidakmampuannya menahan gangguan mental tak pernah puas, hingga akhirnya menempatkan dan melekatkan dirinya ke dalam fenomena maracuk.Â
Parahnya, fenomena maracuk sudah menginfeksi berbagai kalangan termasuk para elite dan kaum intelektual. Kebanyakan orang sekarang tidak pernah puas dengan satu penghasilan, satu jabatan, satu kali korupsi, satu kali begal, satu rumah mewah, satu apartemen premium, satu perbuatan yang mendatangkan kenikmatan, satu cabang, satu usaha, satu bisnis, satu istri, satu suami dan lainnya yang mencerminkan kondisi seseorang tidak pernah puas dengan apa pun yang telah dicapai atau dimiliki. Selalu kurang.
Suatu kondisi rasa kehilangan yang justru menyenangkan. Karena kehilangan rasa diproses ini adalah suatu keadaan individu yang malah akan bertemu dengan sesuatu yang sebelumnya tidak ada menjadi ada, kecil menjadi besar, dikit menjadi banyak, miskin menjadi kaya, di bawah menjadi di atas dan lainnya, meskipun dalam meraih atau mencapainya seringkali tak mengindahkan empati atau simpati dan menabrak moral, etika, norma, agama atau nilai positif lainnya.
Fenomena matinya rasa cukup atau disingkat maracuk, merujuk pada hilangnya rasa cukup. Sebuah rasa kecukupan yang sudah hilang dari hati manusia, selalu kurang, tidak pernah puas sehingga harus lebih di atas, lebih kuasa, lebih kaya, lebih berpunya, lebih cantik, lebih tampan dan lebih lainnya daripada orang lain, yang tentu saja akan menghadirkan kesenangan. Kehilangan rasa cukup inilah jenis kehilangan yang dimaksud, yang justru menyenangkan.     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H