Dan arrrghhh... membayangkan mengurus semua kartu-kartu identitas yang bakal menyita waktu, menyedot uang saku dengan segala tetek bengek prosesnya, membuat saya mengutuk habis-habisan pencurinya. Mengapa sang pencuri tak mau mengembalikan kartu-kartu identitas yang tak akan berguna baginya?
Walaupun saya telah mengirimi pesan berkali-kali ke pencuri tas lewat SMS (short message service) ke nomor dumb phone milik saya yang juga diangkut paksa, dan masih aktif ketika beberapa kali coba saya hubungi tanpa mau diangkat.
Pesan-pesan yang saya kirim berisi permintaan agar kartu-kartu penting milik saya dikembalikan saja via paket tanpa perlu mencantumkan alamat pengirim ke alamat saya di KTP, tak ada satu pun kartu identitas pernah kembali. Kok bisa maling setega itu! Ah... tapi mana ada maling tak tega pada korbannya.
Lebih kesal dan menjengkelkan saat sejumlah tetangga tahu musibah yang menimpa saya. Ada saja di antara mereka yang mengatakan, "Masih untung kamu sempat ambil smartphone ya! Coba kalau nggak, turut bablas deh! Untung ndasmu batin saya menggerutu.Â
Lalu ada yang lain ikut celetuk, "Kamunya kurang sedekah pasti nih!" Saya mengangguk saja sambil garuk kepala. Kemudian yang lain lagi menimpali, "Sudah coba ke orang pintar mas?" . Belum, kalau minum tolak angin sudah. Lagi-lagi batin saya menjawab sambil menggeleng daripada diam bikin tambah mumet dan hidung mampet.Â
Saya pun mulai berpikir dan bertanya-tanya mengapa malingnya kemaruk. Kalau pun dia jago utak-atik nomor pin, kan perucma saldo saya sudah nol. Digestun di mana pun hasilnya akan sama; nihil. Mirip laporan spt pajak tahunan jika tak mau ada kekurangan bayar maka hasil laporan tak boleh di luar nihil. Maka selain dana tunai Rp 600 ribu yang ada di dalam tas, uang milik saya tak akan ada lagi.Â
Tetapi jangan-jangan malingnya sudah terpapar gangguan mental tak pernah puas. Fenomena maracuk yang telah mulai menjangkiti banyak orang sebelum munculnya era digital. Disinyalir mulai tumbuh saat perkembangan dunia bisnis beralih secara perlahan dari pola-pola kapitalis ke tiap-tiap individu lewat sistem multi level marketing, yang ujung-ujungnya bertumbuhan pula tokoh-tokoh motivator pada zamannya.
Tokoh-tokoh yang tanpa disadari atau barangkali dalam kesadaran telah menggerakkan dan mengarahkan konsep bahwa kebahagiaan manusia adalah sukses mutlak, kekayaan dan uang. Sebuah konsep yang cenderung menghidupkan sifat tamak, serakah, rakus atau loba. Dan konsep tersebut justru semakin menguat seiring perkembangan teknolgi digital walaupun era pertumbuhan motivatornya malah condong meredup.Â
Sehingga maling tas saya pun diduga punya niat menjual kartu-kartu identitas saya ke pasar gelap untuk mendapatkan keuntungan lebih banyak ketimbang dikembalikan. Sebab barangkali bisa digunakan pada aktivitas kriminal lainnya yang bisa menarik sejumlah keuntungan lain.
Tiga hari setelah kehilangan tas pinggang berikut isinya, belum ada satu pun berita baik. Termasuk berita baik tentang ibu saya yang telah tiga hari pula dirawat di ruang IGD (Instalasi Gawat Darurat) dan menunggu operasi pemotongan usus yang katanya mengalami penyempitan.Â
Sementara saya belum bisa berkunjung dan masih terjebak dengan birokrasi kepengurusan berbagai kartu identitas. Mulai dari lapor kehilangan ke kepolisian lalu mengurus segalanya ke RT, RW, kelurahan, dukcapil, bank, asuransi, samsat, provider SIMcard nomor telepon dan termasuk ke tempat kerja, saya proses sendiri tanpa perantara.Â