Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengapa Viral Itu Penting?

10 September 2024   15:31 Diperbarui: 11 September 2024   20:43 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi viral. (Sumber: Shutterstock via kompas.com)

Manfaat di Balik Produk Viral

Bagi pedagang musiman mainan lato-lato di sepanjang jalan H. Mawi, mulai dari pasar Parung-Bogor hingga ke arah dalam menuju perempatan Ciseeng di awal tahun 2023 yang lalu, kesempatan mereka untuk meraih keuntungan demi memberi nafkah keluarga tidak akan berlangsung lama.

Tidak seperti para pedagang buah-buahan yang bisa mengganti jenis buah yang dijualnya sesuai dengan masa panen buah, pedagang musiman mainan lato-lato yang memasang lapak ala kadarnya hanya berharap dampak viral dari mainan lato-lato di media sosial tidak berlalu dalam waktu singkat.

Sedangkan bagi lato-lato, mainan berupa dua buah bola plastik berbobot padat keras dan permukaan halus yang diikat seutas tali dengan cincin jari di tengah atau dua buah bola plastik berbobot padat keras dan permukaan halus yang menempel pada dua tangkai dan tersambung langsung dengan gagang yang juga terbuat dari plastik, tidak memerlukan branding di tubuhnya untuk menjadi viral.

Contoh produk viral lainnya yang memberi dampak langsung pada keberlangsungan ekonomi rakyat adalah fenomena viralnya produk jajanan tahu bulat di sekira tahun 2016. Kudapan yang terbuat dari olahan kacang kedelai berbentuk bulat dengan isi kopong dan dijual berkeliling dengan menggunakan sebuah mobil bak terbuka, ketika itu bertumbuh cepat.

Pertumbuhan pesat penjual tahu bulat yang terus  menyebar ke jalan-jalan kota dan ke pelosok sampai ke sejumlah wilayah di luar daerah asal pembuatannya, turut menunjukkan bahwa keviralan produk kudapan tahu bulat telah turut memberi dampak pada terbukanya lapangan kerja di sektor informal. 

Tetapi agak berbeda dengan mainan lato-lato, produk kudapan tahu bulat punya kecenderungan mem-branding dirinya dalam melakukan proses jualan meskipun tidak bermerek. 

Mulai dari bentuknya yang tidak umum dan cara memasarkannya yang keliling ke jalan-jalan kota hingga ke pelosok dengan menggunakan mobil bak terbuka serta menjajakannya lewat nada dan lirik lagu yang terdengar menarik. 

Belum lagi penawaran harga yang terbilang cukup terjangkau dan penyajiannya yang digoreng dadakan sehingga pembeli dapat merasakan kelezatan tahu bulat dalam keadaan masih hangat. 

Sebuah proses branding sederhana yang juga tidak membuatnya tahan lama. Sebab dari tahun ke tahun dampak viralnya mulai meredup. Penjual tahu bulat di tepian jalan mulai hilang satu-persatu dari pandangan. 

Setidaknya, masih ada beberapa penjual tahu bulat yang bertahan dan ada yang coba beralih ke cara pemasaran yang justru lebih konvensional menggunakan gerobak keliling, usaha menjual tahu bulat masih menjadi alternatif bagi sejumlah orang untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya meskipun tidak lagi bisa berharap dari fase viral yang pernah dialaminya. Apa sebenarnya viral atau fase viral?

Pengertian dan Contoh Nama-nama Viral  

Secara sederhana kata viral yang dipopulerkan oleh Douglas Rushkoff bermula dari kata virus yang berarti virus media atau media viral, yang dalam bahasa Richard Brodie lewat bukunya "Virus of the Mind" identik dengan virus akalbudi yang ampuh mengganda dan mudah menyebar luas pada tataran budaya dan sosial melalui unsur meme di benak manusia yang seidentik dengan gen. 

Unsur meme yang pada dirinya telah melekat sejumlah perangkat pranata sosial dan budaya terlebih dalam interaksinya di dunia digital, seperti produk, ide, tren, perilaku dan informasi, yang pada momentum tertentu ketika bagian dari dirinya bertemu pemicunya, memengaruhi benak-benak manusia dengan serentak, cepat dan terus mengganda serta menyebar luas; viral.  

Produk, ide, tren, perilaku dan informasi yang mengalami fase viral ini dalam konten dan konteks tertentu memiliki karakteristiknya masing-masing. 

Namun karakteristik konten dengan masing-masing konteksnya, bukanlah penentu yang membuat satu konten bisa melesat ke puncak jika dibanding konten yang lain. 

Sebagaimana banyak didambakan bahkan diburu oleh para topper dengan cara apapun. Suatu fase yang bukan saja tidak mudah untuk diraih tetapi juga tidak bisa dipastikan pencapaiannya. 

Kendati tidak mudah meraihnya juga tidak ada kepastian untuk dapat mencapainya, banyak orang yang mengalami fase viral justru datangnya dari konten-konten sepele, sembarang, keseharian yang tak sengaja dibuat atau konten spontan. 

Yakni konten-konten yang tidak mempunyai kandungan mutu, manfaat apalagi edukasi. Bahkan konten-konten pembawa viral yang diterima seringkali berupa konten yang tidak direncanakan sama sekali atau konten yang tidak diduga bakal mengalami fase viral. 

Sejak dunia digital mulai disesaki oleh para topper, pernah tercatat sederet nama-nama di dunia digital yang mengalami fase viral hingga banyak di antaranya tiba di titik raih cuannya. 

Fase viral yang dialami oleh para topper cenderung didapat dari konten-konten berkarakter sepele, sembarang, spontan atau tak sengaja dibuat. Tidak direncanakan atau bukan konten yang dibuat melalui proses profesional. 

Nama-nama tersebut antara lain ada Jiddana Dusturia yang viral hanya karena tak sengaja bersin saat membuat video TikTok, Abigail Manurung dengan celetukan kata 'bercyandya' yang mendayu, Dimas Ahmad (Dimas Ramadhan) karena kemiripannya dengan artis Raffi Ahmad, Cimoy Montok (Nuraini) yang viral sebab penampilan seksinya yang dinilai belum sesuai dengan usianya.

Kemudian ada Mpok Alpha (Nina Carolina) hanya karena celotehan minta diajak ke mal oleh suami, Tante Lala (Nurlela Yusuf) viral sebab cara meluapkan emosi kemarahan pada anaknya saat mengajarkan pancasila dianggap lucu, Tessa Morena dengan quote "visi foya misi foya, don't play play boskua", Jeje Slebew (Jasmine Laticia) viral lewat fenomena Citayam Fashion Week, Intan Lembata (Intan Sriastuti) viral melalui video cover lagu Cukup Dikenang Saja milik The Junas dengan mengganti sebarik lirik 'begitu sulit lupakan kamu' menjadi 'begitu sulit lupakan Rehan'

Selanjutnya Risa Culametan (Risa Nurhakim) dengan ocehan cepat berbahasa sunda dan di antara celotehannya terdapat kata 'culametan met met' yang selanjutnya dibuat dalam bentuk lagu, Denise Chariesta yang viral karena pamer kekayaan di sebuah mal yang katanya mewah, Fajar Sadboy (Fajar Labatjo) yang viral sebab curhatan patah hatinya lantaran ditinggal oleh kekasihnya.

Lalu, Livy Renata dengan ketidaktahuannya tentang hal sederhana sehingga dinilai sebagai sosok yang polos, Afi Nihaya yang viral lewat tulisan yang belakangan dinyatakan hasil plagiat, dan Ade Londok (Nandar Ukandar) dengan cara uniknya dalam mempromosikan makanan kudapan odading Mang Oleh.      

Deretan nama yang pernah mengalami fase viral dan telah disebut di atas hanya sedikit dari sekian panjang daftar nama-nama orang yang mengalami fase viral dengan karakteristik konten dengan konteksnya masing-masing. Ada yang mengalami viral cuma karena ide, tren, perilaku atau informasi sepele. 

Ada yang viral hanya karena curhat, marah, sedih, lucu, sombong, pamer dan perilaku lainnya. Ada yang viral sebab kontroversi, provokasi, sensasi, ujaran kebencian atau SARA. Ada produk-produk yang viral begitu saja. Ada yang viral lewat lagu, jargon, tulisan, peristiwa, kasus dan lain sebagainya. 

Ada pula yang mengalami viral karena menciptakan produk, ide atau tren melalui proses dan konsep yang terstruktur dan terkonsep. Intinya, viral adalah satu fase yang didambakan, dirindukan, berusaha diciptakan dan diburu di dunia digital. Mengapa fase viral di dunia digital diburu? 

Berburu Viral Lewat Konten Magis

Fenomena viralitas yang hadir di era digital telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Berbagai aplikasi atau platform digital seperti Whatapps, Line, bermacam games online, aneka eCommerce, beragam WEB, blog, dan platform media sosial seperti LinkendIn, Facebook, YouTube, X (Twitter), Instagram, Telegram, TikTok dan lain sebagainya, telah menghadirkan ruang bagi tiap individu untuk berburu cuan. 

Baik cuan yang bersifat keuntungan materi atau nilai ekonomi seperti uang, benda atau barang maupun immateri berupa popularitas, social currency atau nama baik.    

Berburu cuan di dunia digital bisa diperoleh melalui akumulasi jumlah viewer, follower, subscriber, click, like, share, tap love, comment dan lain sebagainya yang setara, dan selanjutnya disebut sebagai penilai digital atau rater. 

Akumulasi rater kemudian akan memberikan pengaruh pada penentuan verifikasi akun, validasi akun, centang biru akun, engagement rate, posisi metrik algoritma digital, akumulasi koin atau poin hingga monetisasi, yang ujungnya bisa meraih cuan berupa keuntungan finansial, popularitas, social currency atau nama baik. 

Sebuah bentuk akumulasi penilaian digital yang menjadi salah satu tujuan yang diinginkan oleh banyak topper di generasi topping.

Bagi banyak orang di generasi topping terutama para topper, untuk memburu akumulasi nilai digital maksimal dengan cepat hanya dapat ditentukan oleh seberapa viral konten yang mereka hasilkan. 

Meskipun pada prinsipnya, mengumpulkan penilaian digital dengan cara instan lewat perburuan fase viral tentu memiliki risiko sebaliknya. Bukan cuma cuan atau keuntungan yang bisa diraih, melainkan bisa juga menerima kesialan, kerugian atau kejatuhan.   

Potensi untung atau rugi yang bisa diraih atau diterima oleh orang-orang yang mengalami fase viral menunjukkan bahwa fenomena viralitas di dunia digital tidak melulu memberikan dampak positif. 

Tetapi yang patut diketahui adalah bahwa dampak positif yang ditimbulkan oleh fase viral, pun tidak pasti atau selalu berasal dari konten berkualitas, bernilai positif atau bermanfaat.

Oleh karena itu, tidak sedikit para pemburu viral melakukan apa pun agar kontennya meraih fase viral termasuk menabrak etika, norma, moral, agama dan nilai positif lainnya. Bahkan pada sejumlah konten dan fakta yang ada, orang berani bertaruh nyawa demi meraih viral. 

Banyak pula topper-topper yang pada akhirnya terjebak pada perilaku manipulatif dalam pembuatan konten-kontennya.

Dengan begitu, viral adalah pisau bersisi tajam dua yang setiap sisinya bisa memberikan manfaat luar biasa sekaligus mampu membuat terluka hingga melumpuhkan dan mematikan. 

Sebuah fase dalam interaksi sosial digital yang menjadi media jalan pintas untuk membawa topper ke posisi puncak di satu sisi, tetapi di sisi lain bisa menjungkalkannya ke dasar jurang.  

Viral dengan segala daya tarik keuntungannya, juga risiko yang bisa diakibatkan olehnya, telah menciptakan perilaku di mana standar sosial dan identitas diri dibangun berdasarkan pilihan antara ingin berada di atas fondasi yang dangkal atau pondasi kuat yang masuk menembus permukaan jauh ke dasar agar mendapatkan perhatian sementara atau terus-menerus yang diberikan oleh dunia maya. Ironisnya, konten-konten dengan fondasi dangkal yang tersaji di berbagai platform digital dan platform media sosial masih jauh lebih banyak yang dibuat, dipilih dan viral. 

Paulo Freire, seorang filosof tokoh pendidikan Brasil pernah menggolongkan tingkat kesadaran manusia menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naif (naival consciousness) dan kesadaran kritis (critical consciousness). 

Ketiga hierarki kesadaran ini ikut menjadi faktor mengapa satu konten yang tidak bernilai faedah sekalipun mampu bertengger ke puncak dibanding konten lainnya. 

Di tingkat kesadaran magis, manusia akan mudah terpengaruh untuk mengikuti produk, ide, tren, perilaku atau informasi tanpa mempertanyakan atau mengevaluasi maknanya secara kritis. Sehingga dalam kesadaran ini, banyak orang lebih memilih untuk menjadi topper dengan menonjolkan diri melalui cara apapun tanpa empati, simpati, tone deaf atau unsur kemanfaatan dan dampak buruk yang bisa diakibatkan dari konten yang dibuatnya demi mendapatkan fase viralnya. 

Seperti misalnya, membuat konten pamer, joget, challenge, giveaway (ikoy-ikoyan) atau konten apapun di media sosial, yang tidak meningkatkan intelektualitas atau kualitas hidup warganet atau netizen tapi mampu memberi pengaruh untuk diikuti, atau dengan kata lain dapat disebut sebagai 'konten magis'. Karena di tingkat kesadaran magis, baik para topper (pembuat konten) dan warganet atau netizen penikmat konten, sama-sama terjebak dalam logika instan. 

Satu pihak menginginkan viralitas dan pengakuan cepat, tanpa menyadari atau tak peduli (tone deaf) bahwa konten yang dibuatnya membawa pada kedangkalan yang justru menjauhkan diri dari potensi yang sesungguhnya. Sementara pihak lainnya terbawa arus kedangkalan tersebut.

Warganet atau netizen Indonesia pada umumnya masih berada pada tingkat kesadaran magis ini. Sebab seringkali konten-konten yang mengalami fase viral berasal dari konten yang mengandung kesadaran magis. 

Baik kesadaran magis dalam konteks Freire yaitu ketidakmampuan warganet melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya, maupun kesadaran magis dalam konteks cara berpikir magis. Yakni konsep pemikiran atau pola pikir yang menghasilkan perilaku tidak relevan, juga condong tidak mampu membedakan mana ilusi dan mana kenyataan. Sehingga mereka terbelenggu oleh permasalahan antara logis atau tidak logis, rasional atau irasonal, fakta atau fiktif, mimpi atau kenyataan, alami atau reyakasa dan dualisme lainnya .

Parahnya, orang-orang yang berada di tingkat dikesadaran naif bahkan sejumlah orang yang mempunyai kesadaran kritis, yang seharusnya abai atau acuh terhadap konten-konten berbau magis justru mendukung dengan memberikan apresiasi melalui ikut-ikutan melakukan share, comment, like sampai memberi ruang digital untuk berkolaborasi atau menjadikan mereka yang viral dengan konten magisnya sebagai nara sumber. 

Sehingga pada tataran ini, logika warganet yang notabene sudah berada dikesadaran magis, dijungkir balik hingga kesadaran kritisnya yang masih lumpuh semakin sulit untuk berjalan. Mengapa hal itu mereka lakukan? 

Sederhana jawabnya, karena dengan share, like, comment dan menempatkan orang  yang mengalami fase viral atau konten viral ke dalam kontennya, keterlibatan orang-orang di dalam konten yang dibuat oleh mereka akan mengakumulasi engagement rate akun milik mereka, termasuk pula kemungkinan pencapaian viral dari konten yang dibuat dengan berkolaborasi atau menggunakan konten orang lain yang viral. 

Suatu aktivitas digital yang identik dengan pansos viral walaupun cenderung tidak akan diakui oleh pembuat konten dengan alasan yang seringkali terdengar klise, "Saya sudah terkenal tidak perlu pansos viral". Seberapa pentingkah viral di dunia digital?   

Pentingnya Viral yang Berdampak Positif 

Viral yang dialami oleh produk mainan lato-lato dan produk kudapan tahu bulat menjadi penting sebab menimbulkan dampak positif terhadap jalannya roda perekonomian rakyat kecil untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan ketahanan waktu keviralannya. 

Bagi produk mainan lato-lato yang tidak berangkat sebagai kebutuhan pokok tentu tidak memiliki peluang lebih lama dibanding produk kudapan tahu bulat dalam memberikan dampak ekonomi dan terbukanya lapangan kerja di sektor informal.

Dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan terbukanya lapangan kerja di sektor informal akibat fase viral merupakan bagian kecil dari dampak positif lainnya yang bisa ditimbulkan oleh viral. 

Sedangkan pertumbuhan ekonomi dan terbukanya lapangan kerja adalah bagian dari dampak viral yang bisa dirasakan oleh banyak orang (kelompok atau komunitas). 

Sedangkan dampak viral yang dialami oleh sederetan nama yang disebutkan tadi merupakan dampak viral yang cuannya cuma dirasakan oleh personal atau individu masing-masing orang. Tapi dalam kerangka positif, dampak viral yang dialami oleh banyak orang melalui konten-konten magisnya dengan tidak menilai kualitas konteks karakteristiknya, telah ikut menumbuhkan ekonomi di tingkat kelas menengah ke atas.

Oleh karenanya, berburu viral di dunia digital menjadi penting artinya bagi para topper agar bisa menerima dampak positif atas banyak hal. Terkhusus dampak positif bagi perkembangan akun topper masing-masing dalam upayanya mengejar puncak, dan umumnya bagi warganet atau netizen (masyarakat). Fase viral bagi generasi topping menjadi sangat penting sebab dampak positifnya bermanfaat, yaitu antara lain: 

1. Meningkatkan performa akun personal atau kelompok melalui akumulasi nilai digital (rater) yang diterima dari konten viral.

2. Akumulasi nilai digital atau rater yang terdiri dari jumlah viewer, follower, subscriber, click, like, share, tap love, comment dan lain sebagainya yang setara, kemudian akan memberikan pengaruh pada penentuan verifikasi akun, validasi akun, centang biru akun, engagement rate, posisi metrik algoritma digital, akumulasi koin atau poin hingga monetisasi. 

3. Berpotensi meraih cuan berupa keuntungan finansial, popularitas, social currency atau nama baik. Di posisi ini seseorang yang menerima fase viral umumnya mulai mendapat endorse, tawaran iklan suatu produk, undangan ke berbagai program acara televisi atau media lainnya, kolaborasi dengan kreator konten (youtuber, influencer, story teller dan lainnya), yang sudah tenar atau populer. Akan tersemat pula padanya gelar microcelebrity: selebgram, selebTikTok, selebX (selebTwit), yang mampu menambah nilai jual. 

4. Bertumbuhnya roda perekonomian di masyarakat dan terbukanya lapangan kerja sektor informal seperti kasus viralnya produk mainan lato-lato dan produk kudapan tahu bulat.

5. Terkuak atau terbongkarnya peristiwa hukum yang dikenal dengan narasi 'no viral no justice' atau 'no viral no action' seperti contoh kasus terbunuhnya Brigadir J dan kasus Vina-Eky Cirebon.

6. Terbantunya kaum kurang mampu atau warga miskin oleh bantuan sejumlah orang (netizen) atau tokoh populer karena berita viral atas kemiskinannya, dan tidak tersasar oleh bantuan pemerintah. 

7. Dalam beberapa kasus anak atau orang hilang hingga barang hilang karena dicuri dapat segera ditemukan lantaran informasi beritanya viral.

8. Membuka peluang untuk membangun jaringan dan jangkauan yang luas dalam melakukan kerja sama atau bisnis.  


Referensi
https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1613/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun