Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Viral Itu Penting?

10 September 2024   15:31 Diperbarui: 10 September 2024   15:31 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tetapi yang patut diketahui adalah bahwa dampak positif yang ditimbulkan oleh fase viral, pun tidak pasti atau selalu berasal dari konten berkualitas, bernilai positif atau bermanfaat. Oleh karena itu, tidak sedikit para pemburu viral melakukan apa pun agar kontennya meraih fase viral termasuk menabrak etika, norma, moral, agama dan nilai positif lainnya. Bahkan pada sejumlah konten dan fakta yang ada, orang berani bertaruh nyawa demi meraih viral. 

Banyak pula topper-topper yang pada akhirnya terjebak pada perilaku manipulatif dalam pembuatan konten-kontennya.  Dengan begitu, viral adalah pisau bersisi tajam dua yang setiap sisinya bisa memberikan manfaat luar biasa sekaligus mampu membuat terluka hingga melumpuhkan dan mematikan. Sebuah fase dalam interaksi sosial digital yang menjadi media jalan pintas untuk membawa topper ke posisi puncak di satu sisi, tetapi di sisi lain bisa menjungkalkannya ke dasar jurang.  

Viral dengan segala daya tarik keuntungannya, juga risiko yang bisa diakibatkan olehnya, telah menciptakan perilaku di mana standar sosial dan identitas diri dibangun berdasarkan pilihan antara ingin berada di atas fondasi yang dangkal atau pondasi kuat yang masuk menembus permukaan jauh ke dasar agar mendapatkan perhatian sementara atau terus-menerus yang diberikan oleh dunia maya. Ironisnya, konten-konten dengan fondasi dangkal yang tersaji di berbagai platform digital dan platform media sosial masih jauh lebih banyak yang dibuat, dipilih dan viral. 

Paulo Freire, seorang filosof tokoh pendidikan Brasil pernah menggolongkan tingkat kesadaran manusia menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naif (naival consciousness) dan kesadaran kritis (critical consciousness). Ketiga hierarki kesadaran ini ikut menjadi faktor mengapa satu konten yang tidak bernilai faedah sekalipun mampu bertengger ke puncak dibanding konten lainnya. 

Di tingkat kesadaran magis, manusia akan mudah terpengaruh untuk mengikuti produk, ide, tren, perilaku atau informasi tanpa mempertanyakan atau mengevaluasi maknanya secara kritis. Sehingga dalam kesadaran ini, banyak orang lebih memilih untuk menjadi topper dengan menonjolkan diri melalui cara apapun tanpa empati, simpati, tone deaf atau unsur kemanfaatan dan dampak buruk yang bisa diakibatkan dari konten yang dibuatnya demi mendapatkan fase viralnya. 

Seperti misalnya, membuat konten pamer, joget, challenge, giveaway (ikoy-ikoyan) atau konten apapun di media sosial, yang tidak meningkatkan intelektualitas atau kualitas hidup warganet atau netizen tapi mampu memberi pengaruh untuk diikuti, atau dengan kata lain dapat disebut sebagai 'konten magis'. Karena di tingkat kesadaran magis, baik para topper (pembuat konten) dan warganet atau netizen penikmat konten, sama-sama terjebak dalam logika instan. 

Satu pihak menginginkan viralitas dan pengakuan cepat, tanpa menyadari atau tak peduli (tone deaf) bahwa konten yang dibuatnya membawa pada kedangkalan yang justru menjauhkan diri dari potensi yang sesungguhnya. Sementara pihak lainnya terbawa arus kedangkalan tersebut.

Warganet atau netizen Indonesia pada umumnya masih berada pada tingkat kesadaran magis ini. Sebab seringkali konten-konten yang mengalami fase viral berasal dari konten yang mengandung kesadaran magis. Baik kesadaran magis dalam konteks Freire yaitu ketidakmampuan warganet melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya, maupun kesadaran magis dalam konteks cara berpikir magis. Yakni konsep pemikiran atau pola pikir yang menghasilkan perilaku tidak relevan, juga condong tidak mampu membedakan mana ilusi dan mana kenyataan. Sehingga mereka terbelenggu oleh permasalahan antara logis atau tidak logis, rasional atau irasonal, fakta atau fiktif, mimpi atau kenyataan, alami atau reyakasa dan dualisme lainnya .

Parahnya, orang-orang yang berada di tingkat dikesadaran naif bahkan sejumlah orang yang mempunyai kesadaran kritis, yang seharusnya abai atau acuh terhadap konten-konten berbau magis justru mendukung dengan memberikan apresiasi melalui ikut-ikutan melakukan share, comment, like sampai memberi ruang digital untuk berkolaborasi atau menjadikan mereka yang viral dengan konten magisnya sebagai nara sumber. Sehingga pada tataran ini, logika warganet yang notabene sudah berada dikesadaran magis, dijungkir balik hingga kesadaran kritisnya yang masih lumpuh semakin sulit untuk berjalan. Mengapa hal itu mereka lakukan? 

Sederhana jawabnya, karena dengan share, like, comment dan menempatkan orang  yang mengalami fase viral atau konten viral ke dalam kontennya, keterlibatan orang-orang di dalam konten yang dibuat oleh mereka akan mengakumulasi engagement rate akun milik mereka, termasuk pula kemungkinan pencapaian viral dari konten yang dibuat dengan berkolaborasi atau menggunakan konten orang lain yang viral. Suatu aktivitas digital yang identik dengan pansos viral walaupun cenderung tidak akan diakui oleh pembuat konten dengan alasan yang seringkali terdengar klise, "Saya sudah terkenal tidak perlu pansos viral". Seberapa pentingkah viral di dunia digital?   

Pentingnya Viral yang Berdampak Positif 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun