Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Balas Budi Politik dalam Narasi Dinasti

29 Desember 2023   17:46 Diperbarui: 29 Desember 2023   17:46 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politik Balas Budi

Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda.

Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Politika yang meliputi; irigasi, transmigrasi dan edukasi (pengajaran dan pendidikan).

Kemudian ketika kebijakan baru politik Belanda dihubungkan dengan pemikiran dan tulisan-tulisan Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya, Van Deventer lalu dikenal sebagai pencetus politik etis.

Secara global politik etis merupakan upaya balas budi yang diciptakan untuk mengganti kerugian masyarakat Hindia Belanda (Indonesia) atas eksploitasi yang dilakukan Belanda. Artinya, politik etis sama dengan politik balas budi.

Selanjutnya disebut bahwa politik balas budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Suatu pemikiran kritik terhadap politik tanam paksa. 

Walaupun demikian, politik tetaplah politik dengan segala intrik yang bisa terjadi di dalamnya. Sebab pada faktanya,  program Trias Politika ketika itu masih cenderung diperuntukkan bagi kemanfaatan kepentingan pemerintah Belanda.

Buktinya, Belanda baru hengkang dari Indonesia sekira 41 tahun kemudian melalui penandatanganan Perjanjian Kalijati antara Belanda dan Jepang  pada 8 Maret 1942. Jauh sesudah pidato Ratu Wilhelmina berkumandang.

Tapi bagi bangsa Indonesia, Trias Politika menjadi semacam pemicu semangat perjuangan nyata, yang kelak menjadi salah satu bekal senjata untuk perjuangan bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah hingga akhirnya memproklamasikan kemerdekaan.

Begitulah sekilas lahirnya istilah politik balas budi. Lantas apa kaitan istilah tersebut terhadap dunia perpolitikan Indonesia? Penjajahan dalam arti sebenarnya kini sudah tidak terjadi lagi di tanah air, tetapi penjajahan dalam bentuk yang lain tak pelak masih eksis dan tetap terjadi.

Politik balas budi yang beranjak dari rasa tanggung jawab moral pemerintah kolonial bagi kesejahteraan pribumi justru seolah menjadi cara agar masyarakat Indonesia memaafkan, memaklumi dan menerima kekuasaan kolonial untuk tetap bercokol di tanah air. Bahkan cenderung meminta masyarakat agar menilai Trias Politika sebagai kebaikan untuk melanggengkan kekuasaan Belanda di Indonesia.

Maka dengan bercermin pada asal usul kemunculan politik balas budi, apa yang terjadi di dunia politik Indonesia sekarang adalah sebaliknya, yakni balas budi politik. Apa bedanya politik balas budi dengan balas budi politik?

Di tengah ramainya narasi politik dinasti atau dinasti politik yang sedang mengemuka dengan segala pro dan kontra yang melingkupinya, pendefinisian politik dinasti atau dinasti politik yang dikatakan memiliki perbedaan, sepertinya menjadi akar masalah sekaligus benang merah untuk bisa menteralisasi kegaduhan yang terjadi akibat adanya pengajuan judicial review yang dikabulkan sebagian hingga kemudian menuai polemik.     

Kritik Ade Armando terhadap gelaran aksi protes mahasiswa di daerah Yogyakarta terkait politik dinasti, yang berujung kecaman dan pelaporan atas dugaan ujaran kebencian sejatinya merupakan peristiwa titik balik bagi semua pihak untuk dapat mendefinisikan kembali apa yang dimaksud dengan dinasti politik atau politik dinasti. 

Sehingga masyarakat bisa memastikan dan membedakan mana pemerintahan yang hadir dan lahir dari politik dan mana pemerintahan yang hadir dan lahir secara turun temurun dari raja-raja, keluarga raja atau disebut dinasti.

Alasan itu pulalah yang membuat kritik Ade Armando yang mengatakan bahwa politik dinasti atau dinasti politik yang terjadi di lokasi mahasiswa berdemonstrasi, justru dinilai tidak tepat sasaran, salah tempat dan keliru makna.

Sebab ditilik secara etimologi, dinasti atau sistem pemerintahan kerajaan semestinya memang tidak dapat dikonotasikan ke dalam makna konteks politik. Meskipun kepala daerah di Yogyakarta tidak dipilih melalui pemilu melainkan garis keturunan, tetapi Yogyakarta sudah lahir dan hadir dalam bentuk pemerintahan secara turun temurun dari raja-raja, yang kemudian mendapat amanat demokrasi.

Sebaliknya, untuk konteks politik, ketika narasi dinasti dibangun ke dalam konotasi politik maka dinasti bisa dimaknakan sebagai dinasti politik atau politik dinasti, yang sebenarnya mengarah pada maksud atau tujuan yang sama.

Melansir pada laman resmi Mahkamah Konstitusi, politik dinasti diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Sedangkan pengertian dinasti politik dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh Hilda Zuhdi merupakan kekuasaan yang didapat dengan cara primitif, karena mengandalkan darah keturunan beberapa orang.

Maka berdasarkan definisi terhadap narasi yang berkembang tentang dinasti, apa yang sedang terjadi pada demokrasi politik Indonesia menjelang berakhirnya masa jabatan presiden yang akan ditentukan pada pemilu di 14 Februari 2024 mendatang dapat disebut sebagai politik dinasti.

Sementara apabila politik dinasti yang dijalankan tiba pada pencapaian maksud dan tujuannya, yaitu meraih kemenangan dan berhasil menduduki posisi sesuai keinginan, di titik inilah narasi dinasti akan terbukti menjelma menjadi dinasti politik. Pertanyaannya, apakah Gibran Rakabuming Raka yang dipasangkan dengan Prabowo Subianto pasti menang?

Balas Budi Politik dalam Narasi Dinasti 

Setelah menelusuri pemahaman tentang politik dinasti dan dinasti politik, kiranya patut dimaklumi ketika akhirnya banyak orang yang awalnya mendukung, kagum, loyal, fanatik bahkan rela pasang badan untuk sang sosok fenomenal, kini marah, kesal, kecewa, tidak terima, sakit hati malah tak sedikit yang mengalami tantrum atas langkah politik yang dipertontonkan oleh Jokowi di Pilpres 2024.

Ada yang mengatakan bahwa Jokowi mengambil langkah politik "jungkir balik" beraroma penghianatan, ada yang menyebutnya akrobatik politik atau ada yang langsung menarasikan langkahnya sebagai politik dinasti atau dinasti politik.  Bagaimana bila ternyata langkah yang diambil sang sosok fenomenal adalah balas budi politik?

Kalau politik balas budi atau politik etis merupakan suatu pemikiran kritik terhadap politik tanam paksa, yang berarti menunjukkan bahwa pemerintah kolonial merasa harus (terpaksa) melakukan suatu kebaikan atas kesalahan atau dosa-dosa yang telah dilakukannya terhadap pribumi.

Maka balas budi politik adalah membayar atas hutang budi atau jasa politik yang pernah diterima oleh seorang politikus, negarawan, teknokrat, legislatif, eksekutif, yudikatif atau sekelompok orang, misalnya partai, pada orang atau kelompok orang yang pernah memberinya budi (kebaikan) atau jasa politik. Karenanya hutang budi atau jasa, tagihan bunganya bisa jauh lebih dahsyat dari hutang pinjol, kartu kredit, rentenir atau semacamnya.        

Balas budi politik atas hutang budi atau jasa politik tidak terlepas dari adanya pengaruh feodalisme, oligarki, presidential threshold 20% dan syarat-syarat pencalonan kedudukan politik yang tidak bisa dipenuhi oleh calon independen di kancah perpolitikan Indonesia, yang tumbuh kembangnya hampir dapat dipastikan tidak dapat disumbat.

Ibarat debitur dengan kreditur atau masyarakat peminjam dengan pinjol dan rentenir, yang tidak pernah bisa dihapus karena saling membutuhkan sebagai rantai ekonomi di bawah pengaruh profit dan kapitalisme, demikian pula budi atau jasa politik yang harus dibayar dengan balas budi politik dalam rantai demokrasi, yang dalam konteks tertulis dapat disebut sebagai kontrak (hutang) politik.  

Balas Budi Politik

Merujuk pada makna balas budi politik, tagihan hutang budi atau jasa tentu sangat berpotensi menimbulkan kepentingan balas budi politik, terutama ketika budi politik atas budi atau jasa yang pernah diterima ternyata menjadi suatu keharusan untuk dibayar karena dianggap kontrak (hutang) politik. Hal itu pada akhirnya menjadi salah satu penyebab timbulnya conflict of interest. Apalagi apabila balas budi politik yang harus dibayar sebagai hutang politik ditagih melalui permintaan jatah politik atas kontrak politik yang telah disepakati.

Di tingkat konstituen atau rakyat, satu contoh balas budi politik dalam realitas demokrasi politik senantiasa terjadi pada saat klimaks demokrasi. Yaitu ketika tim sukses atau tim pemenangan membidik konstituen bimbang atau  undecided voter dengan strategi vote buying di masa tenang.

Biasanya strategi vote buying dilakukan jelang hari pencoblosan melalui serangan fajar dengan memberikan uang tunai, uang digital, bensin, minyak, beras, sembako atau materi lainnya yang mau tidak mau menjadi budi (kebaikan), yang bagi penerima materi vote buying akan menjadi tanggung jawab personal atau hutang budi atau jasa yang harus atau wajib dibayar dengan menjatahkan suaranya pada pemberi vote buying.

Beralih ke proses pencalonan kepala daerah, legislatif hingga presiden dan wakil presiden yang membutuhkan berbagai persyaratan yang sangat sulit dipenuhi jika mengajukan diri melalui jalur independen, maka dukungan atau bantuan pemenuhan syarat kelolosan administrasi pencalonan lewat status keanggotaan partai bahkan rekomendasi atau atas usungan partai politik agar dapat dipastikan melenggang di bursa pencalonan, amat dibutuhkan.  

Namun kelolosan atas dukungan, bantuan, rekomendasi atau usungan partai politik bagi calon tentu saja tidak gratis ketika tiba waktunya nanti sang calon berhasil meraih kemenangan suara. Ada harga yang harus dibayar. Ada hutang yang wajib dilunasi. Ada budi yang mesti dibalas. Ada kontrak yang tidak mungkin terhenti.

Dalam konteks sang sosok fenomenal, sebagian besar masyarakat di dunia politik tahu bahwa Jokowi memulai kiprah politiknya bersama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di Pilkada Solo pada tahun 2005, dan pada tahun 2012 diusung oleh partai yang sama untuk bertarung memperebutkan Jakarta 1 didampingi Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Informasi selanjutnya, diawal pengajuan sosok Jokowi, dikabarkan Megawati Soekarnoputri ragu dan menolak untuk mengusung Jokowi di Pilgub DKI 2012. Prabowo Subianto lalu menjadi sosok yang terus melobi dan meyakinkan Megawati untuk mengusung Jokowi, dan hasilnya Jokowi-Ahok memenangkan Pilkada Jakarta mengalahkan Foke-Nara.

Dengan melihat siapa sosok yang berjasa atau memberi budi di kilas balik kiprah politik kemenangan Jokowi di Pilgub DKI, apakah cara Jokowi memuluskan jalan anaknya, Gibran, masuk ke bursa bacawapres yang dipasangkan dengan Prabowo Subianto sekarang, tepat disebut politik jungkir balik, akrobat politik atau dinasti politik? Jangan-jangan apa yang dilakukan oleh Jokowi lebih tepat disebut balas budi politik!        

Referensi

https://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Etis

https://radarpena.fin.co.id/read/161599/ramai-soal-politik-dinasti-di-media-sosial-berikut-pengertian-politik-dinasti-beserta-contohnya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun