[caption caption="Doc: FB Fiksiana Comunity"][/caption]
Kakiku terasa agak dingin. Dari pagi aku masuk ruang ini perasaanku tidak nyaman. Sepertinya aku sedang tidak enak badan. Leher sebelah kiriku agak tegang. Entah masuk angin atau karena bantal terlalu tinggi. Aku buat peregangan tetap saja masih kaku.
Sandaran Hatinya Letto membuatku lebih rileks.
Yakinkah kuberdiri
Dihampa tanpa tepi
Bolehkah aku mendengarmu
Terkubur dalam emosi
Tanpa bisa bersembunyi
Aku dan nafasku merindukanmu
Terpurukku di sini
Terangi dia yang sepi
Dan kutau pasti kau menemani
Dalam hidupku
Kesendirianku
Teringat kuteringat
Pada janjimu kuterikat...
...
“Bu, Ibu...,” suara Vina, muridku yang agak bandel tapi cantik itu, mengagetkanku.
“I...iya, ada apa?” Geragapan aku menjawab sapaannya. Vina tersenyum, meskipun bengal, anak ini perhatiannya luar biasa. Setiap kali bel istirahat berbunyi dia tidak pergi ke kantin seperti teman-temannya. Dia pasti akan lebih suka berbincang-bincang denganku. Bicara ini itu. Kadang-kadang kami tidak berjarak, layaknya sahabat saja. Tidak memandang aku sebagai apa dan dia sebagai apaku. Membagi bekalnya juga cerita-cerita gokilnya.
“Ibu itu kalau melamun tambah cantik!” godanya. Selama ini hanya dia yang bisa membuatku tersenyum. Sejak tragedi pertunanganku yang tragis. Ah... lelakiku.
“Aih..., bisa saja kamu, Vin.”
“Benar kok, Bu.” Desaknya.
***
Cuaca hari ini tidak terlalu cerah, namun sejuk. Membuat rasa kantuk nyaman sekali berumah di mataku. Walau di dalam kelas, aku bertahan dengan mata yang tinggal lima watt. Seperti biasa, pelajaran berjalan lancar. Pelajaran di ruang praktik seperti ini selalu kondusif. Anak-anak sudah terbiasa dengan aturan dan SOP. Aku tinggal mengarahkan sedikit saja.
Alat penyejuk juga kipas angin membuat ruang praktik semakin syahdu. Bulu lenganku merinding berkali-kali. Ah... dingin sekali. Ini pasti karena aku sedang masuk angin, gumamku.
“Ibu sakit, kan,” tiba-tiba Vina berdiri di sampingku.
“Kamu, itu, bikin kaget saja!” dadaku turun naik. Rasanya mau terbang sendiri jantung ini. Sorot mata Vina begitu lembut. Ada sorot yang tak asing di mataku. Tapi sorot mata siapa, di mana aku pernah menemukannya. Setiap kali kuingat, semakin menguat, tapi semakin aku tak mengerti. Semakin kutegaskan pandang matanya, semakin indah saja.
“Kamu! Jangan jahil!” Tiba-tiba seorang anak di ujung sebelah kanan ruangan, dekat kamar mandi, teriak-teriak.
“Ada apa?” bergegas aku menuju arah keributan itu.
“Itu, Bu, Vina jahil. Saya tadi itu sedang membereskan alat-alat yang dipakai malah dia menggelitiki saya. Saya, kan geli, Bu. Saya nggak kuat. Dia itu suka begitu, bu. Bukannya membantu teman-teman, malah suka iseng. Jahil sama teman-teman.” Terang Rio sambil bersungut-sungut di sebelah Vina.
“Oh, ya, ya. Vina, ayo bantu teman-temanmu. Jangan jahil!” perintahku. Meskipun aku sendiri bingung. Sejurus kemudian kubalikkan badan.
V I N A
Berulang kali kupandangi kursiku, Rio, Vina, dan kursi lagi. Maksudnya apa ini? Kenapa aku ngeblank begini, sih? Ah, efek nggak tidur semalam membuat konsentrasiku buy ar.
“Sudah, ayo selesaikan, lalu kita berkemas.” Anak-anak bergegas.
***
Hujan tiba-tiba deras mengguyur. Udara yang tadinya sejuk berubah menjadi dingin. Apalagi ruangan sebesar ini hanya tinggal aku sendiri.
“Anak-anak, ni...!” sembari kubereskan beberapa alat yang belum dimasukkan dalam box, dalam almari.
Blaaarr!
Aku terkesiap. Perasaan tadi pintu kamar mandi sudah ditutup sama anak-anak. Kenapa terbuka dengan keras dan mengenai tembok. Hingga terbanting, menimbulkan suara yang sangat keras. Bulu kudukku meremang. Berjalan pelan aku menuju arah kamar mandi. Kulongokkan kepalaku. Takutnya ada siswa tertinggal di sana.
Nihil.
Pelan-pelan pintu kamar mandi kututup.
Pet!
Tubuhku bergetar. Ribuan semut seperti merayap dari ujung kakiku hingga ujung kepala. Meraba-raba dinding sebelah kiri aku merambat ke arah luar. Listrik padam menjadikan ciut nyaliku.
“Astagfirullah!” pekikku. Bersamaan kilat dan petir menggelegar. Spontan jari telunjuk kiriku aku hisap. Panas. Jari telunjukku seperti terbakar, terkena sengatan. Aku terus mencoba berjalan. Kakiku bagai dibebani berton-ton muatan.
Kilat menyambar-nyambar. Sekilas masih bisa terlihat meja kerjaku. Bergegas kugapai tas di atasnya. Kucari-cari kunci ruangan tak juga kutemukan. Di dalam tas, di saku baju, celana. Di mana?
Tak bisa juga gembok ini kubuka. Masih dengan tangan gemetar kucoba dengan sekuat tenaga. Ternyata ada bekas luka bakar di ujung telunjukku. Seperti terkena sudutan rokok. Rokok? Milyaran pertanyaan memenuhi rongga kepalaku.
Berkilau jari manisku, cincin yang masih melingkar erat di jari manisku aku pegang. Ah... sempat-sempatnya aku timang cincin ini. Hingga aku hampir lupa dengan keadaanku. Di antara terpaan keras angin sore ini, juga deras hujan yang masuk di pintu depan kelasku. Juga panas menyengat di ujung jari ini.
Hampir berhasil.
Klek. Gembok tertutup.
Ada yang mengekor ujung kiri mataku. Seseorang duduk di bangku selasar. Sepintas kulihat. Ujung sepatunya warna coklat. Sepatu coklat! Aku tersentak. Spontan kutengok ke arah sosok yang tenang duduk di ujung lorong.
VINO! Kau!
Tidar, 29092016
Umi Azzura
*Tulisan ini diikutsertakan dalam Event Fiksi Horor dan Misteri Grup Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H