Pelan-pelan pintu kamar mandi kututup.
Pet!
Tubuhku bergetar. Ribuan semut seperti merayap dari ujung kakiku hingga ujung kepala. Meraba-raba dinding sebelah kiri aku merambat ke arah luar. Listrik padam menjadikan ciut nyaliku.
“Astagfirullah!” pekikku. Bersamaan kilat dan petir menggelegar. Spontan jari telunjuk kiriku aku hisap. Panas. Jari telunjukku seperti terbakar, terkena sengatan. Aku terus mencoba berjalan. Kakiku bagai dibebani berton-ton muatan.
Kilat menyambar-nyambar. Sekilas masih bisa terlihat meja kerjaku. Bergegas kugapai tas di atasnya. Kucari-cari kunci ruangan tak juga kutemukan. Di dalam tas, di saku baju, celana. Di mana?
Tak bisa juga gembok ini kubuka. Masih dengan tangan gemetar kucoba dengan sekuat tenaga. Ternyata ada bekas luka bakar di ujung telunjukku. Seperti terkena sudutan rokok. Rokok? Milyaran pertanyaan memenuhi rongga kepalaku.
Berkilau jari manisku, cincin yang masih melingkar erat di jari manisku aku pegang. Ah... sempat-sempatnya aku timang cincin ini. Hingga aku hampir lupa dengan keadaanku. Di antara terpaan keras angin sore ini, juga deras hujan yang masuk di pintu depan kelasku. Juga panas menyengat di ujung jari ini.
Hampir berhasil.
Klek. Gembok tertutup.
Ada yang mengekor ujung kiri mataku. Seseorang duduk di bangku selasar. Sepintas kulihat. Ujung sepatunya warna coklat. Sepatu coklat! Aku tersentak. Spontan kutengok ke arah sosok yang tenang duduk di ujung lorong.
VINO! Kau!