Berdasarkan skala Fitzpatrick tersebut, sebagian besar masyarakat Indonesia masuk dalam tipe 4, yang berarti memiliki risiko sangat kecil kulit mengalami luka bakar sampai kanker kulit karena berjemur. Selain itu, budaya berjemur masyarakat Indonesia masih berbusana lengkap, bukan seperti masyarakat barat yang berjemur tanpa busana. Hanya sebagian kecil kulit tubuh yang terpapar langsung oleh Matahari, busana dan penutup kepala telah mereduksi sinar Matahari yang sampai ke kulit. Penggunaan sunblock dan kacamata hitam juga lebih menjamin aman ketika berada dalam paparan sinar matahari. Awan pun sering menjadi payung mengurangi radiasi matahari termasuk IUV.
Masyarakat Indonesia tidak perlu takut berjemur. Bisa dilihat para petani yang kerja di ladang terbuka, pegawai proyek konstruksi yang bekerja di luar ruangan dalam kondisi terpapar terik Matahari, dan banyak lagi profesi lain yang bekerja di luar ruangan dalam terik Matahari, mereka tidak ada masalah dengan ancaman luka bakar ataupun kanker kulit. Bahkan badan dan tulang mereka kuat, hanya saja kulit mereka menghitam sebagai tanda respon bahwa kulit mereka tidak sensitif terhadap radiasi matahari.
Berjemur dengan bijak, dengan mempertimbangkan kondisi IUV (pagi, siang, sore, berawan, cerah), lama waktu berjemur, dan jenis kulit, maka Vitamin D akan terbentuk dalam tubuh, bukan hanya covid-19 yang dapat ditangkal tetapi juga penyakit lain, tanpa harus berisiko mengalami luka bakar, munculnya frackles, apalagi kanker kulit dan katarak mata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H