Adapun begitu tidak menjadi keasingan bilamana banyaknya jumlah partai politik dengan dasar agama Islam atau pan-islamisme, layaknya PBB, PKB, maupun PKS. Dengan memiliki fokus tujuan yang berdasarkan agama, para politikus dapat serta-merta mengembangkan dan memenuhi aspirasi mayoritas yang merupakan pemeluk agama Islam.
Namun, hadirnya pengaruh pan-islamisme yang sangat perkasa dapat melahirkan sentimen yang dirasa tidak menguntungkan untuk kelompok-kelompok marjinal atau minoritas. Pengupayaan dalam mencegah terjadinya hal ini, sekaligus untuk semakin merangkul antar golongan, menciptakan partai politik dengan haluan yang mengutamakan asas "nasionalisme" sebagai dasar utama.Â
"Nasionalisme" dalam konteks ini, hanyalah julukan lain bagi paham sekulerisme, yakni mementingkan negara diatas apapun dalam membuat kebijakan, layaknya PDI-P, Demokrat, Golkar, dan lain sebagainya. Menjadinya bersimpangan dengan ideologi pan-islamisme yang meletakkan dasar Islam sebagai fokus utama.
Dengan adanya dua fokus kategori ini, kondisi sosial politik yang diciptakan berupa dilema dalam mengkoordinasi tujuan dan basis pendukung. Pula menghadirkan kebingungan bagi rakyat dalam memilih sebuah partai sebab kesan "semua partai sama saja."
Yang Islam agar dapat merangkul kelompok minoritas, harus bersikap sekuler dalam beberapa hal, seperti mengurangi tendensi syariah dan mengimplementasikan Islam liberal-moderat. Dan sebaliknya dengan yang sekuler, dimana terjadinya pengurangan tendensi sekuler agar mereka dapat merangkul kelompok Islam untuk meraih suara terunggul. Â
Alhasil terciptanya kesan keseragaman dalam spektrum politik yang justru tidak jelas. Tidak ada yang sejatinya kiri atau kanan. Hanya terdapat pemimpin masing-masing partai yang memiliki agenda tersendiri. Yang manakala berpindah kubu jika merasa dirugi atau diuntungkan bagaikan ular. Yang tanpa pendirian bagaikan manusia tanpa tulang punggung.
Jika semua partai ber-ideologi yang sama, maka tidak akan ada fokus yang khusus dalam pemberdayaan. Tidak akan terciptanya sistematika oposisi berupa penentang yang tegas. Hanya tokoh-tokoh partai yang mudah disuap. Bagaikan pragmatis yang paling hina.
Maka apa gunanya berserikat, bila opsi yang diberikan sama saja sifatnya? Seragam. Tanpa beda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H