Mohon tunggu...
Sultan Saiful
Sultan Saiful Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer

Pendidikan UNIVERSITY, LOVED TO TRAVEL AND READ SOME BOOKS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tinjauan Sosiologi Karya Leo Tolstoy Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Akan Datang

28 Juni 2019   22:07 Diperbarui: 7 Juli 2019   23:55 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun lima tahun sebelum Tolstoy menulis buku ini, ia mulai merasakan sesuatu yang aneh terjadi pada dirinya. Ia merasakan kebingungan serta terhentinya hidup. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana menjalaninya. Ia merasa tersesat dan menjadi patah semangat. Keadaan ini memang sempat berlalu dan ia kembali bisa menjalani hidup sebagaimana sebelumnya, namun kebingungan ini mulai menghampiri dirinya lagi dan lagi dalam bentuk yang sama. 

Kondisi itu selalu terekspresikan dalam pertanyaan untuk apa? Akan kemana? Pertanyaan-pertanyaan itu tampaknya sederhana, kekanak-kanakan dan bodoh, tapi begitu ia 'sentuh' dan coba memecahkannya, ia menjadi yakin seketika, bahwa: pertama, pertanyaan-pertanyaan itu tidaklah bodoh, melainkan merupakan yang terpenting dalam kehidupan. 

Kedua, ia sudah mencoba tapi tak mampu memecahkannya. Kini, sebelum ia melakukan sesuatu, ia harus tahu terlebih dahulu mengapa ia melakukannya. 

Misalnya untuk apa ia mempertimbangkan rencana pendidikan bagi anak-anaknya, apa lagi yang kemudian terjadi setelah ia memiliki 6.000 desyatinas (sebuah ukuran di Rusia, luasnya sama dengan sekitar 2,7 hektar) di tanah pemerintahan Samara (sebuah kota di Rusia), apa artinya jika ia lebih tenar dari penulis-penulis besar lainnya di dunia, serta apa perlunya secara pribadi mempertimbangkan cara agar para petani menjadi makmur (saat itu Tolstoy bekerja menjadi seorang penengah antara pemilik tanah dan kaum petani). Ia sebenarnya sudah berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, namun tak ada jawaban.

Hidupnya jadi mandeg (stuck). Ia bisa hidup dengan normal, namun ia tak tahu apa yang ia inginkan. Baginya hidup adalah berjalan dan berjalan, sampai ia tiba di tebing curam dan melihat dengan jelas tak ada apa pun di depannya kecuali kehancuran. Tak mungkin baginya untuk berhenti, kembali, dan menghindari kenyataan bahwa hanya akan ada penderitaan dan kematian (pembinasaan sepenuhnya). Pemikiran untuk menghancurkan diri sendiri kini muncul di benaknya. 

Oleh sebab itu, ia kini menyembunyikan tali dari dirinya sendiri serta berhenti dari kegiatan berburu menggunakan senapan agar ia tak tergoda untuk melakukan bunuh diri. Kini Tolstoy takut hidup, ingin meloloskan diri darinya, tapi anehnya masih juga berharap sesuatu darinya. Semua itu menimpanya di kala ia memiliki segala sesuatu yang orang lain dambakan.

Bagi Tolstoy, kondisi mentalnya menampilkan bahwa hidupnya adalah lelucon yang dimainkan seseorang atas dirinya. Nampak baginya bahwa di suatu tempat ada seseorang yang menghibur dirinya sendiri dengan mengamati bagaimana Tolstoy hidup selama 30 atau 40 tahun: belajar, berkembang, matang dalam fisik dan pikiran kemudian mampu mencapai puncak kehidupan. 

Tolstoy kemudian berdiri di puncak itu (seperti orang bodoh) melihat dengan jelas bahwa tak ada apapun dan tak akan ada apapun dalam kehidupan. Tolstoy menilai bahwa orang hanya mampu hidup ketika mereka 'mabuk' dengan kehidupan. Begitu mereka sadar, tak mungkin untuk tak melihat bahwa semua itu hanyalah tipuan bodoh dan palsu belaka.

Ada dongeng dari Timur yang diketahui Tolstoy tentang seorang pengembara yang didekati seekor hewan ganas di sebuah daratan. Pengembara tersebut berhasil lolos, namun ia terjatuh ke dalam sebuah sumur mati. Celakanya, di dasar sumur itu terdapat seekor naga yang membuka mulutnya lebar-lebar dan siap menelan si pengembara. Pengembara itu dilema. Ia tak berani memanjat keluar juga tak berani melompat ke dasar. Maka ia merenggut ranting di sebuah celah sumur dan bergantung padanya. 

Semakin lama ia bergantung, semakin melemah tangannya, dan ia merasa akan segera menyerah terhadap kehancuran yang menunggu baik di bawah maupun di atasnya, namun ia tetap bergantung pada ranting itu. Keadaan diperparah dengan hadirnya dua ekor tikus berwarna putih dan hitam yang menggerogoti ranting tersebut. Pengembara tersebut semakin putus asa namun tetap bergantung pada ranting tersebut. Ia melihat sekitar, ditemuinya tetesan-tetesan madu dan menggapainya dengan lidah kemudian menjilatinya.

Maka seperti itulah hidup Tolstoy di tengah kemandegan. Baginya, naga di dasar sumur adalah kematian yang menunggu dan tak mungkin dihindari. Ranting tersebut adalah masa-masa hidupnya selama ini. Dua ekor tikus putih dan hitam merupakan gambaran dari siang dan malam yang terus mengikis masa hidupnya. Tetesan-tetesan madu tersebut adalah keindahan hidup yang dimilikinya. Menikmati indahnya hidup hanyalah hiburan sementara untuk melupakan kematian yang menunggu. Namun Tolstoy sudah terlanjur mengetahui kematian tersebut, sehingga semanis apapun madu yang menetes, tak lagi ada rasanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun