Penulis : Muhammad Satria Akbar*
Edit : Sultan Saiful
Lev Nikolayevich Tolstoy (1828-1910), atau lebih dikenal dengan nama Leo Tolstoy, merupakan seorang penulis besar Rusia yang karya-karyanya sampai saat ini masih dikagumi oleh dunia, khususnya War and Peace dan Anna Karenina.
Meskipun begitu, banyaknya uang serta popularitas yang didapat Tolstoy dari kegiatan menulis tidak selalu memberikan kepuasan dan ketenangan dalam hidupnya.Â
Hal itu terbukti dari depresi yang dialami Tolstoy sebagai akibat dari ingatan akan masa mudanya yang penuh kebejatan serta kurangnya arti kehidupan bagi dirinya (sebagai informasi tambahan, bagi Tolstoy, proses pencarian akan makna kehidupan juga bisa dikatakan sebagai proses pencarian Tuhan). Depresi yang dialami di usia menengah ini bahkan sempat beberapa kali membuat Tolstoy berpikir untuk melakukan bunuh diri.
Tolstoy dibaptis dan dibesarkan dalam keyakinan Kristen Ortodok. Sejak kecil ia diajar dengan keyakinan demikian, begitu pun saat remaja serta di masa muda. Namun ia tidak benar-benar mempercayai apa yang diajarkan kepadanya, melainkan hanya mengandalkan apa yang dinyatakan oleh orang-orang dewasa di sekitarnya.Â
Oleh karena itu, kepercayaannya sangat tidak stabil, sehingga pada usia 18 tahun ia tidak lagi mempercayai apapun yang pernah diajarkan. Ia berhenti berdoa, ke gereja, dan berpuasa atas kemauannya sendiri. Meskipun begitu, ia tetap mempercayai adanya Tuhan, hanya saja ia tidak bisa mengatakan apa itu Tuhan.
Menurut Tolstoy, hilangnya keyakinan dari dirinya terjadi sebagaimana biasa di kalangan orang-orang berpendidikan yang selevel dengannya. Baginya, seseorang hidup berdasarkan prinsip yang bukan hanya tidak memiliki kesamaan dengan doktrin agama, melainkan secara umum menentangnya. Doktrin agama tidak berperan dalam kehidupan.Â
Doktrin agama dikenal jauh dan terlepas dari kehidupan. Doktrin agama diterima berdasarkan kepercayaan yang didukung tekanan dari luar serta dibenahi secara bertahap di bawah pengaruh ilmu pengetahuan dan pengalaman hidup yang sebenarnya bertentangan dengannya.Â
Pernyataan dan pengakuan atas keortodokan umumnya ditemui di kalangan orang-orang yang membosankan, kejam, serta menganggap diri mereka sangat penting. Sebaliknya, kemampuan, kejujuran, keandalan, budi pekerti yang baik, dan sikap moral kerap ditemui di kalangan orang-orang yang tidak beragama.
Seorang lelaki pandai dan jujur berinisial S pernah bercerita kepada Tolstoy bagaimana ia kehilangan keyakinan atas agama. Saat berusia 26 tahun, S dan kakak lelakinya pernah berburu di suatu tempat, yang mana pada malam hari mereka juga menginap di sana.Â
Sebagaimana kebiasaan yang dilakukannya sejak kecil, S berlutut untuk berdoa, sedangkan kakaknya berbaring dan mengawasinya. Ketika S selesai berdoa kemudian merebahkan diri untuk tidur, kakaknya bertanya padanya, "Jadi kau masih melakukannya?" Sejak saat itu, S berhenti berdoa atau pun ke gereja.Â
Saat S menceritakan kisah ini kepada Tolstoy, terhitung sudah 30 tahun S tidak lagi berdoa, tidak menerima Komuni (sebuah prosesi dalam agama Kristen) atau pun pergi ke gereja. S kehilangan keyakinan atas agama bukan semata-mata mengikuti pendirian kakak-kakaknya, bukan pula keinginannya.Â
Keyakinan tersebut hilang hanya karena ucapan kakaknya. Ibarat tekanan sebuah jari pada tembok yang siap runtuh, tembok itu runtuh karena bobotnya sendiri. S menyadari bahwa yang saat itu dilakukannya (berlutut, berdoa, membuat tanda salib) hanyalah kesia-siaan.
Satu-satunya iman yang tinggal di dalam diri Tolstoy, iman yang mendorongnya untuk menyempurnakan diri sendiri, akhirnya terlepas juga, karena ia tidak tahu bagaimana penyempurnaan itu dan apa obyeknya. Ia sudah mencoba untuk menyempurnakan diri sendiri secara rohani. Dipelajarinya apa yang bisa ia pelajari, apapun yang 'dilemparkan' kehidupan padanya.Â
Ia mencoba untuk menyempurnakan hasratnya. Ia buat aturan dan ia coba untuk melaksanakannya. Ia sempurnakan dirinya secara jasmani, mengolah kekuatan dan ketangkasan dengan berbagai macam latihan. Semua ini dianggapnya sebagai usaha mencapai kesempurnaan. Pada awalnya, tentu kesempurnaan moral, namun segera tergantikan dengan kesempurnaan secara umum.Â
Hasrat yang pada awalnya untuk menjadi lebih baik di matanya sendiri maupun di mata Tuhan, terganti untuk menjadi lebih baik di mata orang lain. Hasrat itu kemudian berubah lagi untuk menjadi lebih kuat, lebih terkenal, lebih penting, dan lebih segala-galanya daripada yang lainnya.Â
Tolstoy hanya menghadapi hinaan dan ejekan dari orang-orang di sekitarnya ketika ia mencoba untuk mengekspresikan hasratnya yang baik secara moral. Sebaliknya, ketika ia berhasil menurunkan hasrat moralnya itu, ia disemangati dan dipuji.
Maka inilah yang terjadi pada masa muda Tolstoy selama 10 tahun. Ambisi, cinta kekuasaan, ketamakan, hal-hal yang menimbulkan nafsu berahi, kebanggaan, kemarahan, dan balas dendam -- semua itu dihormati.Â
Tolstoy merasa diterima orang-orang di sekitarnya ketika ia tunduk pada kebejatan-kebejatan itu. Sulit bagi Tolstoy untuk tidak memikirkan masa-masa itu tanpa kengerian, kemuakan sekaligus kepiluan.Â
Apalagi Tolstoy juga pernah bertempur dalam Perang Krim, sehingga ia juga telah membunuh banyak lelaki dan mengajak mereka berduel yang pada akhirnya berujung pembunuhan. Berdusta, merampok, berzina, mabuk-mabukan, memeras tenaga para petani semua kejahatan sudah dilakukan Tolstoy. Terhadap semua itu, orang-orang memujinya dan mereka yang sezaman dengannya dianggap serta menganggap Tolstoy sebagai orang yang bermoral.
Serupa dengan yang terjadi dalam hidupnya, pada masa-masa itu, Tolstoy juga mulai menulis dengan kesombongan, ketamakan, dan kebanggaan. Untuk memperoleh uang dan ketenaran, Tolstoy perlu menyembunyikan kebaikan dan memaparkan kejelekan.
Pada usia 26 tahun, Tolstoy kembali ke Petersburg setelah perang usai dan bertemu para penulis. Mereka menerima Tolstoy sebagai bagian dari mereka serta menyanjungnya. Pada saat itu, Tolstoy telah mengadopsi pandangan-pandangan para penulis tersebut tentang kehidupan. Pandangan-pandangan tersebut benar-benar menghapus upaya Tolstoy sebelumnya untuk membenahi diri.Â
Pandangan-pandangan tersebut justru melengkapi teori yang membenarkan ketidakbermoralan hidup Tolstoy. Pandangan-pandangan itu sendiri adalah hidup secara umum terus berkembang dan dalam perkembangan ini, manusia yang berpikir mempunyai peranan penting, kemudian di antara orang-orang yang berpikir itu, Tolstoy dan kawanannya (para seniman dan penyair) yang berpengaruh paling besar.
Pekerjaan mereka ialah mengajar manusia melalui karya. Pengajaran itu berjalan begitu saja tanpa disadari. Namun untuk yang tidak disadarinya itu, para penulis beserta Tolstoy memperoleh uang. Tolstoy menikmati makanan enak, pondokan, wanita-wanita, pergaulan, serta ketenaran yang menunjukkan bahwa yang diajarkannya itu sangat bagus.Â
Pemaknaan puisi dan perkembangan hidup ini ibarat suatu agama dan Tolstoy merupakan salah satu imamnya. Tolstoy merasa bahwa posisi imam yang dijalaninya sangat menyenangkan dan menguntungkan. Ia jalani masa yang indah ini tanpa meragukan keabsahannya. Namun pada tahun kedua dan khususnya pada tahun ketiga, Tolstoy mulai meragukan kesempurnaan aktivitas ini dan mulai meninjaunya.
Alasan pertama keraguan Tolstoy ialah bahwa para imam dari aktivitas ini sama sekali tidak sesuai dengan diri mereka sendiri. Sebagian mengatakan bahwa mereka ialah guru yang terbaik dan yang paling berguna, sedangkan yang lain mengajarkan yang salah. Namun sebagian yang lainnya juga mengatakan hal yang serupa.Â
Mereka kemudian bertikai, saling mencurangi, dan saling memperdayai. Banyak juga dari mereka yang tidak peduli tentang siapa yang benar dan siapa yang salah, namun yang penting ialah mencapai tujuan masing-masing dengan memanfaatkan aktivitas mereka. Hal tersebut kemudian membuat Tolstoy meragukan keabsahan apa yang dijalankan dan dinikmatinya selama ini.
Mengingat masa itu dan kondisi pikirannya sendiri serta keadaan kawan-kawannya seprofesi, Tolstoy merasa bahwa itu sungguh ironis, menyedihkan dan mengerikan, serta menimbulkan perasaan seakan-akan ia pernah tinggal di rumah sakit jiwa. Ribuan orang yang seprofesi dengannya (termasuk dirinya sendiri) bertikai dan bersikap kasar satu sama lain.Â
Semua menulis karya kemudian mencetaknya untuk melakukan pengajaran kepada orang lain. Semua itu dilakukan tanpa masing-masing dari mereka mau mengakui bahwa sebenarnya mereka tak tahu apapun, bahkan terhadap pertanyaan paling sederhana dalam kehidupan, tentang apa yang baik dan yang buruk. Mereka semua tidak bersedia untuk saling mendengarkan.Â
Sebaliknya, bicara bersamaan, kadang saling mendukung dan memuji agar ganti didukung dan dipuji, kadang juga marah satu sama lain. Masing-masing dari mereka menganggap diri mereka paling benar -- persis seperti yang terjadi di rumah sakit jiwa. Tolstoy kemudian menyadari bahwa apa yang ia dan kawanannya selama ini adalah sia-sia.
Enam tahun kemudian, Tolstoy menikah dan mulai membina sebuah keluarga. Kondisi baru kehidupan keluarga yang bahagia benar-benar mengalihkan Tolstoy dari pencarian akan makna kehidupan secara umum. Seluruh kehidupannya terpusat kepada istri serta anak-anaknya, dan karena itu ia peduli terhadap mata pencahariannya.Â
Upayanya yang berawal dari penyempurnaan diri secara pribadi, kemudian penyempurnaan diri secara umum, kini terganti lagi oleh upaya untuk memastikan keadaan terbaik bagi dirinya maupun keluarganya. Selama masa itu (15 tahun tepatnya), ia tetap menulis karena ia telah merasakan godaan imbalan uang yang melimpah serta pujian atas pekerjaan yang ia sendiri sebenarnya menganggap pekerjaan itu tidak penting.
Namun lima tahun sebelum Tolstoy menulis buku ini, ia mulai merasakan sesuatu yang aneh terjadi pada dirinya. Ia merasakan kebingungan serta terhentinya hidup. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana menjalaninya. Ia merasa tersesat dan menjadi patah semangat. Keadaan ini memang sempat berlalu dan ia kembali bisa menjalani hidup sebagaimana sebelumnya, namun kebingungan ini mulai menghampiri dirinya lagi dan lagi dalam bentuk yang sama.Â
Kondisi itu selalu terekspresikan dalam pertanyaan untuk apa? Akan kemana? Pertanyaan-pertanyaan itu tampaknya sederhana, kekanak-kanakan dan bodoh, tapi begitu ia 'sentuh' dan coba memecahkannya, ia menjadi yakin seketika, bahwa: pertama, pertanyaan-pertanyaan itu tidaklah bodoh, melainkan merupakan yang terpenting dalam kehidupan.Â
Kedua, ia sudah mencoba tapi tak mampu memecahkannya. Kini, sebelum ia melakukan sesuatu, ia harus tahu terlebih dahulu mengapa ia melakukannya.Â
Misalnya untuk apa ia mempertimbangkan rencana pendidikan bagi anak-anaknya, apa lagi yang kemudian terjadi setelah ia memiliki 6.000 desyatinas (sebuah ukuran di Rusia, luasnya sama dengan sekitar 2,7 hektar) di tanah pemerintahan Samara (sebuah kota di Rusia), apa artinya jika ia lebih tenar dari penulis-penulis besar lainnya di dunia, serta apa perlunya secara pribadi mempertimbangkan cara agar para petani menjadi makmur (saat itu Tolstoy bekerja menjadi seorang penengah antara pemilik tanah dan kaum petani). Ia sebenarnya sudah berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, namun tak ada jawaban.
Hidupnya jadi mandeg (stuck). Ia bisa hidup dengan normal, namun ia tak tahu apa yang ia inginkan. Baginya hidup adalah berjalan dan berjalan, sampai ia tiba di tebing curam dan melihat dengan jelas tak ada apa pun di depannya kecuali kehancuran. Tak mungkin baginya untuk berhenti, kembali, dan menghindari kenyataan bahwa hanya akan ada penderitaan dan kematian (pembinasaan sepenuhnya). Pemikiran untuk menghancurkan diri sendiri kini muncul di benaknya.Â
Oleh sebab itu, ia kini menyembunyikan tali dari dirinya sendiri serta berhenti dari kegiatan berburu menggunakan senapan agar ia tak tergoda untuk melakukan bunuh diri. Kini Tolstoy takut hidup, ingin meloloskan diri darinya, tapi anehnya masih juga berharap sesuatu darinya. Semua itu menimpanya di kala ia memiliki segala sesuatu yang orang lain dambakan.
Bagi Tolstoy, kondisi mentalnya menampilkan bahwa hidupnya adalah lelucon yang dimainkan seseorang atas dirinya. Nampak baginya bahwa di suatu tempat ada seseorang yang menghibur dirinya sendiri dengan mengamati bagaimana Tolstoy hidup selama 30 atau 40 tahun: belajar, berkembang, matang dalam fisik dan pikiran kemudian mampu mencapai puncak kehidupan.Â
Tolstoy kemudian berdiri di puncak itu (seperti orang bodoh) melihat dengan jelas bahwa tak ada apapun dan tak akan ada apapun dalam kehidupan. Tolstoy menilai bahwa orang hanya mampu hidup ketika mereka 'mabuk' dengan kehidupan. Begitu mereka sadar, tak mungkin untuk tak melihat bahwa semua itu hanyalah tipuan bodoh dan palsu belaka.
Ada dongeng dari Timur yang diketahui Tolstoy tentang seorang pengembara yang didekati seekor hewan ganas di sebuah daratan. Pengembara tersebut berhasil lolos, namun ia terjatuh ke dalam sebuah sumur mati. Celakanya, di dasar sumur itu terdapat seekor naga yang membuka mulutnya lebar-lebar dan siap menelan si pengembara. Pengembara itu dilema. Ia tak berani memanjat keluar juga tak berani melompat ke dasar. Maka ia merenggut ranting di sebuah celah sumur dan bergantung padanya.Â
Semakin lama ia bergantung, semakin melemah tangannya, dan ia merasa akan segera menyerah terhadap kehancuran yang menunggu baik di bawah maupun di atasnya, namun ia tetap bergantung pada ranting itu. Keadaan diperparah dengan hadirnya dua ekor tikus berwarna putih dan hitam yang menggerogoti ranting tersebut. Pengembara tersebut semakin putus asa namun tetap bergantung pada ranting tersebut. Ia melihat sekitar, ditemuinya tetesan-tetesan madu dan menggapainya dengan lidah kemudian menjilatinya.
Maka seperti itulah hidup Tolstoy di tengah kemandegan. Baginya, naga di dasar sumur adalah kematian yang menunggu dan tak mungkin dihindari. Ranting tersebut adalah masa-masa hidupnya selama ini. Dua ekor tikus putih dan hitam merupakan gambaran dari siang dan malam yang terus mengikis masa hidupnya. Tetesan-tetesan madu tersebut adalah keindahan hidup yang dimilikinya. Menikmati indahnya hidup hanyalah hiburan sementara untuk melupakan kematian yang menunggu. Namun Tolstoy sudah terlanjur mengetahui kematian tersebut, sehingga semanis apapun madu yang menetes, tak lagi ada rasanya.
Merasa bahwa keputusasaan ini tak wajar baginya, Tolstoy mencoba mencari penjelasan atas permasalahan ini di semua cabang ilmu pengetahuan. Lama ia mencari, dirasakan sakit olehnya. Bukan karena ia bosan, namun karena ia tak bisa menemukan jawaban yang diinginkan.
Tak menemukan penjelasan dalam sains, Tolstoy mulai mencari penjelasan dari kehidupan orang-orang di sekitarnya. Ia mulai mengamati bagaimana mereka hidup dan bagaimana sikap mereka dalam menghadapi persoalan hidup yang sedang dialami Tolstoy saat ini. Dari orang-orang di sekitarnya, yang memiliki kesamaan dalam sikap terkait pendidikan dan cara hidup, Tolstoy menemukan empat jalan keluar.
Jalan pertama ialah jalan yang tak memahami bahwa hidup adalah sebuah kemalangan, tak berguna, dan sia-sia. Jalan kedua adalah memanfaatkan hidup sebagaimana adanya tanpa memikirkan masa nanti. Jalan kedua ini sudah tentu tak bisa diambil oleh Tolstoy, karena sebagaimana cerita si pengembara, Tolstoy sudah terlanjur melihat naga di dasar sumur yang siap menelannya.Â
Berlawanan dengan jalan pertama, jalan ketiga memahami bahwa kehidupan adalah kemalangan dan sia-sia, oleh karena itu jalan ketiga ialah mengakhiri kehidupan dengan membunuh diri. Tolstoy bisa memahami jalan ini, namun tetap saja ia tidak melakukan bunuh diri. Jalan keempat ialah menyadari bahwa hidup memang sebuah lelucon bodoh yang dimainkan atas diri manusia, namun tetap menjalani hidup sebagaimana biasanya. Tolstoy merasa jijik dan tersiksa atas jalan keempat ini, namun kenyataannya, keadaannya saat ini adalah demikian.
Kemudian Tolstoy sadar, bahwa ia dan ratusan orang yang sama dengannya bukanlah umat manusia secara keseluruhan. Hal itu menunjukkan bahwa ia belum tahu kehidupan seluruh umat manusia. Mulanya ia berpikir bahwa lingkungan orang-orang kaya terpelajar yang kerap hidup bersenang-senang di mana Tolstoy berada di dalamnya merupakan kehidupan seluruh umat manusia, sedangkan miliaran manusia lainnya yang hidup sederhana, tak terpelajar, dan miskin adalah suatu jenis ternak, bukan manusia.Â
Baginya penilaian itu keliru, karena kenyataannya miliaran orang tersebut tidak sebodoh yang dikira oleh Tolstoy dan orang-orang di lingkungannya. Miliaran orang tersebut telah hidup dan sekarang masih hidup, dan Tolstoy melihat sesuatu yang cukup berbeda. Bagi Tolstoy, mereka bisa terus hidup, bukan karena mereka epikurean (penganut epikureanisme, yaitu sebuah sistem filsafat yang bertujuan membawa manusia keluar dari kegelisahan), karena hidup mereka mengalami lebih banyak kekurangan dan penderitaan dibandingkan kesenangan.
Bagi Tolstoy, pengetahuan rasional yang ditampilkan kaum terpelajar sebenarnya mengingkari makna kehidupan, sedangkan miliaran manusia yang dinilai tak terpelajar menerima makna kehidupan dalam pengetahuan irasional, sehingga mereka bisa menemukan jawaban atasnya. Dan pengetahuan irasional itu adalah keyakinan, keyakinan akan Tuhan, penciptaan alam semesta, setan dan malaikat serta lain-lainnya yang tidak bisa diterima Tolstoy selama ia mempertahankan akal sehatnya.Â
Pengetahuan rasional hanya memberikan pertanda atas pertanyaan yang diajukan Tolstoy, sedangkan jawaban yang diberikan keyakinan atau iman, seirasional apapun, masih memberikan keuntungan, karena jawaban-jawaban tersebut menghubungkan antara yang terbatas dengan yang tidak terbatas. Misalnya, ketika Tolstoy mengajukan pertanyaan: "Bagaimana aku hidup? Menurut hukum Tuhan. Apa hasil nyata dari hidupku? Siksaan abadi atau kebahagiaan abadi. Apa makna dari kehidupan yang tak hancur oleh kematian? Bersatu dengan Tuhan yang abadi: surga".
Oleh sebab itu, Tolstoy akhirnya sampai kepada pengakuan bahwa tidak bisa menganggap pengetahuan rasional adalah satu-satunya pengetahuan, karena seluruh umat manusia yang hidup memiliki pengetahuan irasional (iman) yang memungkinkan mereka untuk tetap hidup. Sebagaimana sebelumnya, iman tetaplah irasional bagi Tolstoy, namun ia juga tak bisa menghindar selain mengakui bahwa pengetahuan yang irasional seperti itu saja mampu memberikan jawaban atas pertanyaan tentang kehidupan beserta konsekuensinya.Â
Pengetahuan rasional telah membawa Tolstoy untuk mengakui bahwa hidup itu tidak berguna sampai Tolstoy ingin menghancurkan hidupnya sendiri. Sekarang bagi Tolstoy, sebagaimana yang lainnya, iman telah memberikan makna kehidupan dan membuat hidup menjadi mungkin. Iman adalah kekuatan hidup. Jika seorang manusia hidup, ia percaya pada sesuatu. Jika ia tak percaya bahwa ada yang dituju dalam hidup, maka ia tidak hidup. Tanpa iman, tidak mungkin bagi seseorang untuk hidup. Tolstoy sadar bahwa memandang hidup sebagai suatu kemalangan dan kesiasiaan adalah bodoh. Jika hidup tidak berguna, mestinya hidup dihancurkan, namun nyatanya Tolstoy tetap hidup.
Setelah mengakui perlunya iman, Tolstoy kemudian mencoba mempelajari berbagai macam keyakinan: Buddhisme, Mohamadanisme, dan Kristianitas. Tolstoy akhirnya berpaling pada Ortodoks. Ia pelajari Ortodoks dari orang-orang terpelajar, para ahli teologi gereja, dan sebagainya yang dianggap berkedudukan tinggi dalam keagamaan. Masih sulit bagi Tolstoy menerima sikap mereka atas keyakinan yang mereka anut, karena hidup mereka tak sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka ajarkan. Mereka hidup dalam kecukupan dan kelimpahan, mencoba untuk meningkatkan atau mempertahankannya. Bagi Tolstoy, hal itu menunjukkan bahwa mereka sama saja seperti Tolstoy yang takut akan penderitaan, kemiskinan, dan kematian.
Tidak mau kembali jatuh ke dalam keputusasaan, Tolstoy mencoba untuk mendekati orang-orang beragama di kalangan kaum miskin, sederhana, dan buta huruf yaitu para peziarah, rahib/biarawan, dan petani. Berbeda dengan orang-orang beragama di lingkungannya, Tolstoy menemukan bahwa seluruh hidup kaum pekerja ini mengokohkan makna kehidupan yang diberikan oleh keyakinan yang mereka anut. Makin dipikirkan, Tolstoy makin yakin bahwa mereka memiliki iman sejati yang memang mereka butuhkan dalam hidup.Â
Seluruh hidup mereka dihabiskan dalam kerja berat dan mereka puas dengan hidup seperti itu, sangat kontras dengan kehidupan orang-orang di lingkungan Tolstoy yang penuh kemalasan, hiburan, dan ketidakpuasan. Jika orang-orang di lingkungan Tolstoy menentang dan mengeluhkan nasib karena perampasan dan penderitaan, kaum pekerja itu menerima penyakit dan duka cita tanpa kebingungan dan penentangan. Mereka hanya diam dengan keyakinan kokoh bahwa semua itu baik.Â
Mereka hidup dalam penderitaan, menerima kematian, dan menderita dengan damai, bahkan dalam kebanyakan kasus dengan senang. Mereka memang kekurangan sesuatu yang bagi Tolstoy dan orang-orang di sekitarnya adalah satu-satunya kebaikan dalam hidup, namun mereka tetap memiliki banyak kebahagiaan. Bagi mereka, suka cita maupun duka cita kehidupan bukanlah sebuah kesiasiaan, melainkan kebaikan.
Mengingat keyakinan yang dulu tidak bisa diterima olehnya, Tolstoy menyadari bahwa dia melakukan sebuah kekeliruan. Pertanyaan akan hidup dan jawaban atasnya yang merupakan kemalangan memang benar, kesalahannya adalah bahwa jawaban itu hanya merujuk kepada hidup Tolstoy, padahal maksudnya ialah merujuk kepada kehidupan secara umum, yang mencakup seluruh umat manusia.Â
Ia memahami bahwa jika ingin bicara soal hidup seluruh umat manusia, maka ia harus benar-benar bicara soal hidup tersebut, bukan hanya hidup sejumlah parasit kehidupan (sebagaimana hidupnya dan hidup orang-orang disekitarnya yang dimanjakan akan hasrat untuk menjadi lebih dalam hal segala-galanya). (Saiful, 2018)
Dapat dikatakan, bahwa kini Tolstoy kembali pada keyakinan akan Tuhan, pada kesempurnaan moral dan pada tradisi yang membawa makna kehidupan. Tapi ada satu perbedaan, dulu itu semua diterimanya tanpa disadari, sedangkan kini ia tahu tanpa keyakinan akan Tuhan (iman), ia tidak bisa hidup.
References
Saiful, S. (2018). Academic English/Teaching English in Academic Context (edited). US: PT. Mandiri Nirizindo Utama CO.,/Createspace.
Tolstoy, L. (2018). A CONFESSION (Sebuah Pengakuan). Surabaya: Ecosystem Publishing.
Hukum Bisnis: Penerapan Hukum Asuransi Kerugian terhadap perlindungan Resiko E-Commerce Berbasis Portal (Indonesian Edition)
S Saiful
PT. Mandiri Nirizindo Utama CO.,/ CreateSpace 1 (1), 65
*Mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia jurusan Sastra Rusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H