Dari proyek ini diketahui, tantangan terbesar dalam mengimplementasikan program MBG di lapangan adalah persoalan teknisnya, yaitu memungkinkan atau tidak, terutama dalam hal distribusi untuk anak-anak di seluruh Indonesia.Â
Pilot project makan bergizi yang sudah berjalan selama delapan bulan tersebut merupakan salah satu program percontohan yang memberikan visibilitas terhadap model program MBG yang lebih masif.
Dari aspek teknis dan distribusinya, pilot project ini menemukan kendala pada ketersediaan bahan pangan secara konsisten dari waktu ke waktu. Rantai pasok pangan, terutama pangan lokal harus dijamin terlebih dahulu ketersediaan, infrastruktur, dan transportasinya dari hulu sampai hilir.Â
Dadan Hindayana berencana untuk mengimplementasikan model distribusi pilot project kepada program MBG. Untuk mendukung rencana tersebut, pemerintah, terutama pemerintah daerah dan semua stakeholder eksositem pangan sektor hulu-hilir harus berkolaborasi untuk menjaga rantai pasok pangan agar selalu tersedia dengan dukungan infrastruktur dan transportasi yang memadai.
Selanjutnya pemerintah harus menyediakan SDM untuk menilai standar gizi di lapangan mulai dari menyusun menu makan, memilih pangan bergizi yang layak dan sesuai kebutuhan anak, hingga mengukur kadar makanan untuk sekali makan agar semua nutrisi yang terkandung dalam makanan yang dikonsumsi bisa diserap dengan baik ke dalam tubuh anak-anak.
Pilot Project
Pelajaran penting dari pilot project makan bergizi adalah membangun ekosistem. Di atas lahan seluas 15 hektar di Cibadak, Kabupaten Sukabumi awalnya dikerjakan sebagai proyek uji coba pemupukan.Â
Tujuannya adalah untuk mengurangi penggunaan pupuk NPK yang diimpor sampai sepertiga-nya. Pupuk NPK ini kemudian dikombinasikan dengan PGPR (Plain Gowth Promoting Rhizobacteria) sebagai upaya untuk mewujudkan pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. PGPR sendiri adalah mikroba tanah yang dapat membantu pertumbuhan tanaman.
Hasilnya, padi yang dipanen dari proyek ini tidak dijual, gabahnya dikeringkan lalu dikirim ke penggilingan dan diambil berasnya. Berasnya tidak dijual tetapi dikirim ke unit pelayanan pilot project untuk didistribusikan sebagai bahan pangan bergizi kepada anak-anak. Jadi, beras yang dikonsumsi oleh anak-anak dalam pilot project tersebut berasal dari sawah sendiri. Dari situ mulai terbangun sirkular ekonomi.
Untuk 300 anak diperlukan 200 kilogram beras setiap hari, 350 kilogram daging ayam, 3200 butir telur setiap hari, sayur 350 kilogram setiap hari. Efeknya, petani yang tadinya menanam kangkung yang dijual hanya satu atau dua ikat, permintaannya meningkat. Pembelian meningkat dan pendapatan mereka meningkat signifikan. Tiba-tiba muncul juga agen telur karena kebutuhan telur meningkat tajam.
Dalam proyek percontohan, anak-anak juga diberikan susu. Untuk 3100 anak diperlukan 600 liter susu setiap hari. Kalau produktivitas sapi 10 liter perhari, artinya dibutuhkan 60 ekor sapi untuk memproduksi kebutuhan susu anak setiap hari. Susunya dari sapi lokal yang diternak oleh penduduk setempat. Dalam beberapa waktu ke depan, kebutuhan impor bukan pada susunya, tetapi sapinya saja.