Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Memiliki Modal Politik Paling Kuat, Akankah Anies Baswedan Menang Dengan Mudah Dalam Pilgub Jakarta? (Bagian 2)

3 Juni 2024   11:54 Diperbarui: 5 Juni 2024   19:16 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Anies Baswedan dan Joko Widodo (Sumber:bisnis.com)

Tulisan ini adalah bagian kedua dari 3 bagian dengan judul yang sama. Untuk membaca bagian sebelumnya, silakan klik link di bawah ini: 

Memiliki Modal Politik Paling Kuat, Akankah Anies Baswedan Menang Dengan Mudah Dalam Pilgub Jakarta? (Bagian 1)

2. Sosok Antitesis Joko Widodo 

Pencitraan Anies Baswedan sebagai tokoh antitesis Jokowi telah menjadi salah satu strategi politik yang signifikan dalam perjalanan kariernya. Sejak menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies telah memosisikan dirinya sebagai pemimpin dengan gaya dan kebijakan yang berbeda dari Jokowi. Hal ini terlihat dari berbagai kebijakan dan pendekatan yang ia terapkan selama masa kepemimpinannya. Anies dipastikan masih akan memanfaatkan pencitraannya sebagai tokoh yang bertolak belakang dalam gaya kepemimpinan maupun kebijakannya dengan Jokowi ketika maju sebagai kandidat Pilkada 2024 sebagai cagub Jakarta. 

Baca juga:

Anies Baswedan: Antitesis Calon Pengganti Jokowi

Setidaknya, ada tiga strategi yang digunakan oleh Anies Baswedan untuk mencitrakan dirinya sebagai pemimpin antitesis dari Joko Widodo:

a. Kebijakan dan Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan Anies Baswedan selama menjadi Gubernur Jakarta mencerminkan pencitraan dirinya sebagai antitesis Presiden Joko Widodo melalui berbagai kebijakan dan pendekatan yang berbeda. Anies memilih untk lebih fokus pada program berbasis masyarakat, pendekatan humanis, dan kebijakan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Kebijakan ini sangat berkebalikan dengan gaya Jokowi yang menekankan pada pembangunan infrastruktur infrastruktur besar-besaran dan pendekatan teknokratik. 

Fakta-fakta ini menunjukkan bagaimana Anies memosisikan dirinya sebagai alternatif yang berbeda dari gaya kepemimpinan Jokowi, yang dapat menarik dukungan dari kelompok pemilih yang menginginkan perubahan dalam pendekatan pemerintahan.

Selain itu, Anies juga menonjol dengan kebijakan yang lebih fokus pada peningkatan kualitas hidup masyarakat Jakarta melalui pendidikan, penataan ruang kota, dan pendekatan sosial yang humanis. Ini kontras dengan Jokowi, yang lebih dikenal dengan proyek-proyek infrastruktur besar dan gaya kepemimpinan yang populis dan praktis. Pendekatan Anies yang lebih intelektual dan akademis menarik kelompok pemilih yang merasa kebijakan Jokowi terlalu teknokratik dan kurang menyentuh aspek-aspek humanis.

Dalam penanganan banjir, Anies juga memperlihatkan kebijakannya yang tidak selaras dengan program dari pemerintah pusat. Anies mengusung konsep naturalisasi sungai dengan pendekatan ramah lingkungan dan partisipatif, serta mengedepankan penghijauan dan penyerapan air alami. 

Misanya, Anies mengimplementasikan proyek naturalisasi Kali Ciliwung dengan konsep yang lebih berkelanjutan dan melibatkan komunitas lokal. Sementara Joko Widodo mengandalkan proyek-proyek infrastruktur besar seperti pembangunan tanggul dan normalisasi yang menggunakan betonisasi.

Ilustrasi Jak Lingko, integrasi transportasi publik di Jakarta yang digagas oleh Gubernur Jakarta Anies Baswedan (Sumber: Tempo.co)
Ilustrasi Jak Lingko, integrasi transportasi publik di Jakarta yang digagas oleh Gubernur Jakarta Anies Baswedan (Sumber: Tempo.co)

Dalam sektor transportasi publik pun terasa adanya relasi yang saling bertentangan antara Pemprov DKI dengan pemerintah pusat. Anies fokus pada integrasi moda transportasi publik yang ada dan peningkatan aksesibilitasnya melalui program Jak Lingko, yang mengintegrasikan berbagai moda transportasi di Jakarta. 

Contohnya, program Jak Lingko mengintegrasikan angkutan kecil dengan TransJakarta untuk menciptakan sistem transportasi yang lebih terjangkau dan mudah diakses oleh masyarakat. Sementara Jokowi hendak mempercepat pembangunan proyek transportasi massal seperti MRT dan LRT untuk mengatasi kemacetan dan meningkatkan mobilitas.

Dalam menata kota, Anies menolak proyek reklamasi yang dianggap tidak adil bagi masyarakat kecil dan lebih fokus pada penataan kampung dan revitalisasi ruang terbuka hijau. Anies memprioritaskan penataan kampung kumuh melalui program Community Action Plan (CAP) yang melibatkan partisipasi warga. Sementara Jokowi lebih fokus pada pembangunan infrastruktur besar-besaran seperti jalan tol, MRT, LRT, dan proyek reklamasi untuk mengatasi kemacetan dan mendukung pertumbuhan ekonomi dengan pendekatan top-down.

Ilustrasi MRT, transportai massal yang digagas oleh Presiden Joko Widodo (Sumber: Jakartamrt.co.id)
Ilustrasi MRT, transportai massal yang digagas oleh Presiden Joko Widodo (Sumber: Jakartamrt.co.id)

Anies yang dikenal dekat dengan dunia pendidikan memilih pendekatan yang lebih manusiawi dalam menata pendidikan di Jakarta. Dalam aplikasinya, Anies memperkenalkan Kartu Jakarta Pintar Plus (KJP Plus) yang tidak hanya memberikan bantuan pendidikan secara finansial tetapi juga mencakup program pengembangan karakter dan peningkatan kualitas pendidikan. 

KJP Plus tidak hanya memberikan dana bantuan tetapi juga akses ke berbagai kegiatan ekstrakurikuler dan pelatihan keterampilan. Sementara Jokowi memilih untuk fokus pada pembangunan infrastruktur pendidikan dan penyediaan fasilitas pendidikan melalui proyek fisik yang besar, termasuk peningkatan fisik sekolah.

Sedangkan untuk masalah sosial dan kesejahteraan, Anies lebih menekankan pada pendekatan berbasis masyarakat dengan program-program kesejahteraan langsung seperti Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang memberikan akses kesehatan gratis bagi warga miskin. Misalnya program "OK OCE" yang digagas Anies untuk mendorong kewirausahaan lokal, berfokus pada peningkatan ekonomi mikro dan penciptaan lapangan kerja di tingkat komunitas. Jokowi menggunakan pendekatan ekonomi makro dengan pembangunan besar-besaran infrastruktur dan industrialisasi untuk meningkatkan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.

b. Akomodatif Terhadap Kelompok "Anti-Jokowi"

Pencitraan Anies Baswedan sebagai sosok antitesis Jokowi tidak hanya terlihat dari kebijakan-kebijakan dan pendekatan kepemimpinannya, tetapi juga dari dukungan dan aliansi politik yang ia bangun dengan kelompok atau tokoh yang dikenal sebagai "anti-Jokowi". Kelompok-kelompok yang merasa kurang diakomodasi oleh kebijakan Jokowi ini memilih mendukung Anies karena melihat Anies sebagai pemimpin yang bisa memberikan alternatif solusi atas permasalahan yang mereka hadapi, terutama dalam hal kebijakan sosial dan pendidikan.

Pencitraan Anies Baswedan sebagai sosok antitesis Jokowi diperkuat oleh dukungan dari berbagai kelompok dan tokoh yang dikenal kritis atau oposisi terhadap Jokowi. Dukungan dari FPI, PKS, dan kelompok-kelompok Islam konservatif menunjukkan bahwa Anies mampu menggalang aliansi dengan mereka. 

Kalangan yang merasa tidak terakomodasi oleh kebijakan Jokowi ini kemudian menjadikan Anies sebagai pilihan alternatif bagi pemilih yang menginginkan perubahan. Fakta-fakta ini mencerminkan bagaimana Anies berhasil memosisikan dirinya sebagai pemimpin yang berbeda dan menarik dukungan dari basis pemilih yang luas dan beragam.

Berikut adalah beberapa fakta mengenai kelompok atau tokoh yang anti Jokowi menjadi sekutu Anies Baswedan:

  • FPI (Front Pembela Islam)

FPI merupakan salah satu kelompok yang sering berseberangan dengan kebijakan dan tindakan Presiden Jokowi. Anies Baswedan mendapatkan dukungan signifikan dari FPI selama kampanye Pilgub DKI Jakarta 2017. Rizieq Shihab sebagai imam besar  FPI secara terbuka mendukung Anies Baswedan dan aktif mengampanyekan untuk memilih Anies dalam Pilgub DKI Jakarta 2017. Namun, FPI  sendiri lalu dibubarkan oleh pemerintahan Joko Widodo.

  • PKS (Partai Keadilan Sejahtera)

 PKS adalah partai politik yang kerap mengkritik kebijakan Jokowi dan dikenal sebagai oposisi pemerintah. Pada Pilgub DKI Jakarta 2017, PKS adalah salah satu partai utama yang mengusung dan mendukung pencalonan Anies Baswedan bersama Sandiaga Uno.

  • Kelompok-kelompok Islam Konservatif

Berbagai kelompok Islam konservatif yang merasa tidak diakomodasi oleh kebijakan Jokowi juga menunjukkan dukungannya kepada Anies. Banyak ormas Islam konservatif yang terlibat dalam aksi-aksi besar seperti Aksi 212 yang juga menyatakan dukungannya kepada Anies.

Ilustrasi Demo 212 di Jakarta (Sumber: Kompas.com)
Ilustrasi Demo 212 di Jakarta (Sumber: Kompas.com)
  • Figur Publik

Beberapa tokoh bekas pejabat seperti mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, Sudirman Said, yang kecewa dengan kebijakan Jokowi memilih untuk berseberangan dengan pemerintah. Tokoh-tokoh Islam seperti seperti Ustad Abdul Somad dan Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) yang memiliki pengaruh besar di kalangan umat Islam sering kali menunjukkan sikap kritis terhadap pemerintahan Jokowi dan memberikan dukungan moral kepada Anies.

 

c. Retorika dan Kampanye

Retorika adalah seni dan ilmu berbicara secara efektif, terutama dalam meyakinkan atau mempengaruhi audiens. Dalam konteks politik, retorika adalah cara para politisi menggunakan bahasa untuk menyampaikan pesan, membangun citra, dan memengaruhi pemilih untuk mencapai tujuan politik mereka.

Retorika dalam pencitraan politik melibatkan penggunaan kata-kata, gaya bicara, dan strategi komunikasi yang dirancang untuk membentuk persepsi publik tentang seorang kandidat atau pemimpin. Retorika yang efektif disampaikan melalui pesan yang jelas untuk membangun citra kandidat dengan membingkai isu yang menguntungkan kandidat.

Sedangkan kampanye dalam konteks politik adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seorang kandidat untuk mempengaruhi pemilih dan memenangkan pemilihan. Kampanye melibatkan berbagai upaya untuk menyebarkan pesan, visi, misi, serta program kerja calon kepada publik. Kegiatan kampanye meliputi pidato, debat, iklan media, pertemuan dengan konstituen, penggunaan media sosial, dan berbagai bentuk komunikasi lainnya.

Kampanye dan retorika merupakan dua elemen yang  saling melengkapi dan sangat erat kaitannya dalam konteks politik. Retorika adalah alat utama yang digunakan dalam kampanye untuk menyampaikan pesan dan mempengaruhi pemilih. Retorika yang efektif dapat memperkuat kampanye dalam rangka  membangun citra dengan membingkai isu yang menguntungkan kandidat.  

Dalam kampanye politik seperti yang dilakukan oleh Anies Baswedan, retorika memainkan peran kunci dalam menyampaikan visi dan misi yang membedakan dirinya dari lawan politik sekaligus membangun hubungan yang kuat dengan pemilih. Anies sendiri, dalam kampanyenya sering mengedepankan solusi-solusi alternatif untuk permasalahan Jakarta, retorika yang membedakan dirinya dengan Jokowi.

Anies kerap kali memainkan retorika tentang pembangunan berbasis keadilan sosial, partisipasi dan inklusivitas, serta kebijakan berbasis lingkungan dan keberlanjutan. Anies juga selalu mengampanyekan penolakan terhadap proyek reklamasi, program KJP Plus dan dukungan pendidikan, serta pendekatan humanis dalam penataan kota. Dengan retorika dan kampanyenya ini, Anies telah membangun citra dirinya untuk menarik pemilih yang menginginkan perubahan atau pendekatan baru dalam kepemimpinan di Jakarta.

Retorika pembangunan berbasis keadilan sosial misalnya. Anies sering kali menekankan pentingnya pembangunan yang berkeadilan sosial. Dalam berbagai pidato, Anies mengkritik proyek-proyek besar seperti reklamasi pantai yang dianggapnya tidak berpihak kepada rakyat kecil dan lebih menguntungkan pemodal besar. 

Anies selalu menggunakan pernyataan: "Pembangunan harus berpihak kepada semua lapisan masyarakat, bukan hanya kepada mereka yang punya akses dan modal besar," sebagai retorika politik sekaligus pencitraan keberpihakannya kepada warga Jakarta.

Ilustrasi proyek reklamasi Teluk Jakarta yang akan akan dihentikan oleh Anies Baswedan (Sumber: Sindonews.com)
Ilustrasi proyek reklamasi Teluk Jakarta yang akan akan dihentikan oleh Anies Baswedan (Sumber: Sindonews.com)

Taktik yang sama juga diterapkan Anies ketika mengampanyekan penolakan proyek reklamasi selama kampanya Pilgub DKI Jakarta 2017. Anies secara konsisten menunjukkan sikapnya yang menolak proyek reklamasi sebagai salah satu isu utama yang membedakannya dari kebijakan yang diakomodasi oleh pemerintahan sebelumnya, yaitu Gubernur Joko Widodo. Anies selalu menyitir pernyataan yang menjadi retorika untuk mengkritik kebijakan Joko Widodo tersebut. “Proyek reklamasi hanya menguntungkan segelintir orang dan merugikan banyak masyarakat kecil. Kita akan hentikan proyek ini demi keadilan sosial."

Retorika adalah alat penting dalam pencitraan politik yang digunakan Anies Baswedan untuk membentuk persepsi publik terhadap dirinya sebagai antitesis Joko Widodo melalui penggunaan narasi, pesan kampanye, gaya bicara, dan kritik terhadap kebijakan Presiden RI ketujuh itu. Anies memainkan retorikanya sebagai peran kunci dalam membangun citra yang kuat tentang figurnya yang berbeda dari lawan politik, -terutama Joko Widodo-  membangun hubungan yang kuat dengan pemilih, sekaligus meraup dukungan yang luas.

Untuk baca bagian selanjutnya klik saja link ini:

Memiliki Modal Politik Paling Kuat, Akankah Anies Baswedan Menang Mudah Dalam Pilgub Jakarta? (Bagian 3-selesai)

Depok, 3/6/2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun