Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Pilkada 2024 dan Bayang-bayang Dinasti Politik

23 Mei 2024   15:33 Diperbarui: 30 Mei 2024   07:00 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Calon Kepala Daerah. (Sumber: KOMPAS/DIDIE SW)

Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2024 sudah didesain akan diselenggarakan secara langsung dan serentak di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota di seluruh Indonesia. 

Ini merupakan perhelatan kontestasi politik lokal yang fantastis karena berlangsung secara masif di 545 daerah otonom pada waktu yang bersamaan. 

Pilkada 2024 akan menjadi catatan pertama dalam sejarah tentang keberhasilan pemerintah memobilisasi semua pemilih di seantero negeri untuk berpartisipasi memberikan suara untuk menentukan pemimpin mereka ke depan.

Di balik gempita Pilkada 2024 tersebut  hadir juga calon-calon kepala daerah yang akan bertanding untuk mendapatkan dukungan terbesar dari rakyat supaya bisa meraih jabatan tertinggi di daerahnya, yaitu gubernur, bupati, atau walikota. 

Agar bisa menghasilkan kepala daerah yang berkualitas, partai politik telah menjaring tokoh-tokoh lokal potensi untuk diadu di laga pemilihan yang puncaknya akan terjadi pada 27 November. 

Dalam proses penjaringan calon kepala daerah inilah perhatian masyarakat terpusat kembali pada calon-calon yang memiliki hubungan kekerabatan dengan kepala daerah petahana karena fenomena ini kerap muncul dalam pilkada. 

Para calon kepala daerah yang memiliki hubungan kekerabatan dengan petahana inilah yang biasa mewarnai isu dinasti politik dalam pilkada selama ini.

Apakah kandidat Pilkada 2024 masih akan diwarnai dengan dinasti politik? Menurut saya, iya. Karena calon kepala daerah yang akan  bertarung nanti pasti ada yang memiliki hubungan kekerabatan dengan kapala daerah petahana. Masuknya calon kepala daerah berlatar dinasti politik ini kebanyakan melalui partai politik. 

Proses seleksi calon yang akan diusung adalah hak prerogatif partai. Pada titik yang sama, partai sebagai pemegang kunci dalam proses seleksi calon juga memiliki motif untuk menjadi pemenang dalam pilkada. 

Dalam konteks memenangkan calon, parpol akan menyelaraskan potensi kandidat dengan kepentingannya dalam pilkada.

Proses seleksi kandidat ini sendiri merupakan tahapan krusial dalam proses politik, karena pemilihan calon yang tepat akan menjadi input dari proses pilkada yang panjang. 

Dalam proses inilah motif dan kepentingan partai akan bertemu dengan ambisi calon sekaligus kepentingan petahana untuk melanggengkan kekuasaan. 

Pada posisi inilah hubungan kekerabatan antara kandidat dengan petahana dijadikan faktor utama dalam proses penentuan calon kepala daerah dari partai politik.

Hubungan kekerabatan yang dimiliki dengan petahana dinilai memiliki kesempatan untuk memperoleh jumlah suara yang lebih tinggi. Kekerabatan ini memiliki kemampuan untuk memanfaatkan keuntungan yang diwariskan guna meraup dukungan yang lebih besar dari rakyat dengan memanfaatkan nama besar petahana. 

Pengusungan calon kepala daerah melalui hubungan kekerabatan dengan petahana atau yang dikenal sebagai dinasti politik ini  kemudian menimbulkan pro kontra dalam kehidupan berdemokrasi.

Pro-Kontra Dinasti Politik 

Dinasti politik merujuk pada fenomena di mana kekuasaan politik secara berkelanjutan dipegang oleh anggota-anggota dari keluarga yang sama, dengan cara meneruskan posisi politik dari satu generasi ke generasi berikutnya. 

Kekerabatan dalam politik ini berakar pada kekuatan ekonomi, pengaruh sosial, dan akses ke jaringan politik yang luas, yang terjadi di berbagai tingkat pemerintahan daerah maupun nasional. 

Dinasti politik ternyata tidak dimonopoli oleh negara-negara yang menganut sistem kerajaan atau monarki saja, tetapi bisa juga muncul dalam sistem pemerintahan demokrasi modern.

Pertanyaannya adalah apakah fenomena dinasti politik yang selalu muncul dalam kontestasi politik di Indonesia selama ini tidak menciderai prinsip-prinsip demokrasi yang dianut oleh Indonesia sebagai negara modern? Sampai sejauh mana praktik dinasti politik bisa ditolerir dalam sebuah sistem politik yang demokratis?

Potensi dinasti politik mencederai sistem pemerintahan demokrasi itu sudah pasti melalui rusaknya sendi-sendi demokrasi pada pemerintahan daerah. 

Namun, melarang calon kepala daerah yang memiliki konflik kepentingan dengan petahana untuk berkontestasi, merupakan tindakan diskriminatif terhadap warga negara untuk mencalonkan diri dan dipilih dalam kontestasi politik. 

Diskriminasi terhadap calon kepala daerah hanya karena terkait konflik kepentingan dengan petahana, bisa dianggap melanggar hak asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945.

Akibatnya, dinasti politik ini mendapatkan persetujuan sebagai bentuk hak asasi politik setiap warga negara untuk dapat dipilih dan memilih. Apalagi Mahkamah Konstitusi telah membatalkan ketentuan dalam UU Pilkada bahwa calon kepala daerah tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. 

Putusan MK tersebut telah mengakomodasi hak asasi di bidang partisipasi politik, di mana setiap warga negara memiliki kesamaan hak dalam hukum dan pemerintahan serta kebebasan setiap orang dari perilaku diskriminatif.

Ilustrasi dinasti politik dalam Pilkada (Sumber: Antaranews.com)
Ilustrasi dinasti politik dalam Pilkada (Sumber: Antaranews.com)

Dinasti politik memang rentan memengaruhi dinamika politik dan sosial di suatu negara, karena sering kali dihubungkan dengan korupsi, nepotisme, dan ketidakadilan dalam distribusi kekuasaan. 

Pada sisi lain, dinasti politik juga bisa memberikan stabilitas dan kontinuitas dalam pemerintahan, serta memanfaatkan pengalaman dan jaringan yang sudah ada untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dengan lebih efektif.

Daniel M. Smith dalam bukunya Dynasties and Democracy: The Inherited Incumbency Advantage in Japan (2018) menulis, meskipun sering kali dipandang negatif, dinasti politik ternyata dapat memberikan kontribusi positif berupa stabilitas politik dan kesinambungan kebijakan, sebagai aset berharga untuk pemerintahan yang efisien dan efektif. 

Persoalannya, semua efek positif dinasti politik tersebut hanya menjadi instrumen yang menguntungkan bagi anggota dinasti untuk melanggengkan kekuasaan semata. Dinasti politik berhasil memanfaatkan kelembagaan demokrasi untuk memperkuat cengkeraman mereka pada kekuasaan.

Jadi, efek positif yang dihasilkan dari dinasti politik dalam pemerintahan sesungguhnya bersifat semu belaka. 

Realitanya, semua anggota dinasti politik bersembunyi di balik kebaikan yang mereka tunjukkan untuk menggerogoti demokrasi melalui korupsi dan nepotisme, serta menutup peluang kompetisi dalam pemilihan.

Pilkada merupakan sarang bagi keluarga para politisi yang sudah punya kekuasaan untuk bertarung demi melanggengkan kekuasaannya melalui pewarisan kekuasaan kepada penerusnya, yaitu kerabat sendiri. 

Apalagi pilkada dengan jangkauan politiknya berskala lokal sehingga memungkinkan keluarga-keluarga yang berpengaruh di dalam daerahnya akan terus bertarung demi kekuasaan.

Lahirnya putusan MK yang melegalkan praktik politik dinasti di Indonesia harus disikapi dengan kritis, karena kekhawatiran terhadap tumbuhnya dinasti politik secara masif  bisa saja semakin sulit dikendalikan. 

Faktanya, pasca lahirnya putusan MK tersebut, fenomena politik dinasti telah meningkat tajam dari tahun 2015 ke tahun 2020. Tahun 2015 diketahui terdapat 52 calon kepala daerah yang memiliki hubungan kekerabatan dengan petahana. Dalam Pilkada 2020 sebanyak 158 calon diketahui berafiliasi dengan kepala daerah petahana.

Bayang-bayang Dinasti Politik

Dinasti politik bisa diartikan sebagai kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih memiliki hubungan darah atau kekerabatan, di mana rekrutmen politik dan sirkulasi kekuasaan hanya berputar pada kerabat dan keluarga petahana. 

Regenerasi politiknya pun lamban dan lebih mengutamakan ikatan genealogis ketimbang merit sistem yang berbasis prestasi. Tujuannya adalah melanggengkan kekuasaan dalam satu keluarga saja.  

Model dinasti politik ini hidup pada zaman kerajaan sehingga praktiknya sekarang dianggap kuno atau primitif. Meski demikian, dinasti politik ternyata banyak digandrungi oleh para penguasa modern yang hidup di alam demokrasi sekarang. 

Fenomena ini marak kembali ketika sistem pemerintahan Indonesia menganut pemilihan kepala daerah langsung tahun 2005, di mana sejumlah kepala daerah berhasil memperkuat kedudukan mereka melalui dinasti politik.

Daerah-daerah yang dikenal begitu kental dengan praktik dinasti politiknya akan memiliki kepala daerah yang berkuasa penuh selama 2 periode kemudian diteruskan oleh kerabatnya melalui pilkada. 

Sebut saja Banten yang berhasil mempertahankan dominasi kekuasaan di tangan keluarga Ratu Atut, Gubernur Banten yang menjabat dari 2007 hingga 2015 (dua periode). 

Selain Banten, di Pulau Kalimantan ada di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat. Sementara di Sulawesi, Sumatera, Maluku, dan Papua juga mencatat munculnya penguasa-penguasa lokal dengan dinasti politiknya masing-masing.

Meskipun selalu dikritik dan dikecam oleh publik, fenomena dinasti politik tetap saja mencuat. Data terakhir dalam Pilkada serentak 2020 mengungkapkan, 55 pasangan calon kepala daerah dari 124 kandidat (44 persen) yang tercatat dalam sistem informasi dan rekapitulasi KPU ternyata terafiliasi dengan dinasti politik pejabat dan mantan pejabat. 

Tren politik kekerabatan ini menunjukkan munculnya gejala patrimonial lama yang dibungkus dengan strategi baru atau neopatrimonialistik.

Menurut Dosen Ilmu Politik Fisipol UGM, A.G.N. Ari Dwipayana, dinasti politik sekarang disebut neopatrimonial karena dulu pewarisan kuasa ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural. 

Patrimonialistik terselubung dalam jalur prosedural, seperti anak atau keluarga para elite masuk partai politik sebagai institusi yang disiapkan.

Fenomena dinasti politik pasti menghambat konsolidasi demokrasi. Partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi gagal mempromosikan prinsip-prinsip demokratis dalam kontestasi politik karena tidak mampu mengadang dinasti politik. 

Alih-alih mengoptimalkan fungsi kelembagaannya dalam rangka konsolidasi demokrasi, partai politik justru menjadi agen dari dinasti politik itu sendiri.

Dari semua penjelasan tersebut, dinasti politik yang marak di Indonesia ternyata bukan sekadar fenomena biasa, tetapi juga sudah menjadi tradisi, bahkan strategi. 

Semua itu bermuara pada upaya untuk melanggengkan kekuasaan. Upaya untuk melanggengkan kekuasaan melalui dinasti yang akan membayang-bayangi kita dan menjadi tren politik setelah Pemilihan Presiden 2024.

Depok, 23/5/2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun