Namun, melarang calon kepala daerah yang memiliki konflik kepentingan dengan petahana untuk berkontestasi, merupakan tindakan diskriminatif terhadap warga negara untuk mencalonkan diri dan dipilih dalam kontestasi politik.Â
Diskriminasi terhadap calon kepala daerah hanya karena terkait konflik kepentingan dengan petahana, bisa dianggap melanggar hak asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945.
Akibatnya, dinasti politik ini mendapatkan persetujuan sebagai bentuk hak asasi politik setiap warga negara untuk dapat dipilih dan memilih. Apalagi Mahkamah Konstitusi telah membatalkan ketentuan dalam UU Pilkada bahwa calon kepala daerah tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.Â
Putusan MK tersebut telah mengakomodasi hak asasi di bidang partisipasi politik, di mana setiap warga negara memiliki kesamaan hak dalam hukum dan pemerintahan serta kebebasan setiap orang dari perilaku diskriminatif.
Dinasti politik memang rentan memengaruhi dinamika politik dan sosial di suatu negara, karena sering kali dihubungkan dengan korupsi, nepotisme, dan ketidakadilan dalam distribusi kekuasaan.Â
Pada sisi lain, dinasti politik juga bisa memberikan stabilitas dan kontinuitas dalam pemerintahan, serta memanfaatkan pengalaman dan jaringan yang sudah ada untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dengan lebih efektif.
Daniel M. Smith dalam bukunya Dynasties and Democracy: The Inherited Incumbency Advantage in Japan (2018) menulis, meskipun sering kali dipandang negatif, dinasti politik ternyata dapat memberikan kontribusi positif berupa stabilitas politik dan kesinambungan kebijakan, sebagai aset berharga untuk pemerintahan yang efisien dan efektif.Â
Persoalannya, semua efek positif dinasti politik tersebut hanya menjadi instrumen yang menguntungkan bagi anggota dinasti untuk melanggengkan kekuasaan semata. Dinasti politik berhasil memanfaatkan kelembagaan demokrasi untuk memperkuat cengkeraman mereka pada kekuasaan.
Jadi, efek positif yang dihasilkan dari dinasti politik dalam pemerintahan sesungguhnya bersifat semu belaka.Â
Realitanya, semua anggota dinasti politik bersembunyi di balik kebaikan yang mereka tunjukkan untuk menggerogoti demokrasi melalui korupsi dan nepotisme, serta menutup peluang kompetisi dalam pemilihan.