Mungkin karena di kampung, wawasan tentang pakaian adat guru-guru kami masih terbatas sehingga alternatifnya tidak banyak selain pakaian adat daerah sendiri, ditambah dengan beberapa pakaian adat dari kabupaten tetangga seperti Ende-Lio dan Flores Timur.
Sisanya, penentuannya sangat random, berdasarkan koleksi baju adat yang dimiliki orang tua siswa.
Kebetulan kami masih punya keturunan Bugis-Makassar, maka saya ditunjuk untuk memakai baju adat Bugis Makassar. Rekan saya yang perempuan tinggal menyesuaikan dengan baju bodo.
Problem yang saya hadapi setelah itu adalah ukuran topi baju, dan sarungnya yang tidak ada. Karena pada umumnya yang biasa mengenakan baju Bugis ini adalah orang dewasa yang ukurannya bisa tiga kali lebih besar dari badan kepala dan badan saya.
Baca juga:
"Pande Temmo" Tradisi Khatam Quran Masyarakat Bugis-Makassar di Maumere-Pulau FloresÂ
Karena sudah ditentukan harus memakai baju adat Bugis, orang tua saya mau tidak mau harus mengusahakannya sampai dapat.Â
Waktu itu belum ada jasa penyewaan baju adat seperti sekarang, jadi sangat mengandalkan hubungan kekeluargaan. Pakaian Bugis dari saudara dalam satu kampung ukurannya besar-besar semua. Tidak ada satu pun yang bisa mendekati ukuran sekecil badan saya.
Akhirnya harus keluar kampung, pinjam sama temannya kerabat di daerah pemukiman orang-orang Bugis di Magepanda, sekitar 30 kilometer ke arah barat dari kampung saya. Untuk ke sana terpaksa orang tua harus sewa kendaraan.
Beruntung sekali waktu itu, karena ada satu set baju bugis yang baru habis dipakai untuk acara sunatan anak dari temannya kerabat kami ini. Setelah dicoba, meski masih ada longgar-longgar sedikit kami bawa saja. Dan jadilah saya memakai baju adat Bugis ini.
Hari yang dinanti pun tiba, tanggal 17 Agustus di tahun 1980-an awal. Semua anggota kelompok dari sekolah kami sudah dikumpulkan di salah satu rumah kenalan guru kami yang letaknya kurang lebih 300 meter dari pasar rakyat.