seragam sekolah masih hangat, saya ingin tulis kembali kenangan masa kecil saya di kampung ketika terpilih menjadi salah satu siswa yang menjadi perwakilan sekolah kami dalam karnaval baju adat.
Kebetulan polemikSetting waktu artikel ini adalah tahun 1980-an. Latar belakangnya adalah masyarakat pesisir di Kecamatan Kewapante, Kabupaten Sikka, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Umur saya ketika itu masih di bawah 10 tahun. Kira-kira masih duduk di kelas II atau kelas III SD. Jadi kebayang kan, betapa masih unyu-unyunya saya saat itu.
Di kecamatan kami waktu itu ada 3 SD, yaitu 2 SD di bawah naungan yayasan Katolik, dan 1 SD Inpres. Saya sekolah di SD Inpres ini.
Mengenang kembali peristiwa ini saya tersadar, ternyata tradisi parade pakaian adat Nusantara ini sudah ada sejak dulu.
Setidaknya, dari pengalaman saya sendiri, peristiwa seperti ini selalu identik dengan hiburan yang menyedot perhatian rakyat, dalam hal ini warga yang berasal dari kampung-kampung lain. Biasanya diadakan bersamaan dengan hari-hari besar seperti peringatan kemerdekaan 17 Agustus.
Semarak Perayaan
Semarak perayaan kemerdekaan ini sudah bisa dirasakan sejak awal bulan di mana warga disuruh untuk memasang tiang bendera dari bambu di halaman rumah yang dicat warna putih, dan di ujung bagian atas dicat dengan warna merah.
Bendera kemudian dipasang sampai dengan batas hari yang ditentukan untuk diturunkan.
Sementara rumah-rumah yang berpagar diminta untuk dicat dengan warna merah putih, taman-taman dibersihkan dan diberi hiasan bernuansa merah putih.Â
Ada juga hiasan-hiasan dari kertas minyak yang di dalamnya diisi dengan lampu minyak, sehingga kalau malam hari akan menyala dengan aneka warna. Kampung sudah semarak untuk menyambut hari kemerdekaan.