Uang untuk Skincare atau Untuk Nasi: Ironi Masyarakat Konsumtif
Oleh: Sultani
Di tengah perbincangan tentang kebijakan harga beras yang naik, muncul suatu paradoks menarik dalam pola konsumsi masyarakat. Saat harga beras merangkak naik, sering kali masyarakat merespons dengan protes keras. Namun, ketika harga produk skincare melonjak atau rokok semakin mahal, reaksi masyarakat cenderung lebih tenang.Â
Paradoks ini membawa kita pada pertimbangan yang mendalam tentang nilai-nilai yang mendasari pilihan konsumsi individu. Apakah memprioritaskan kilauan kulit dengan menggunakan skincare yang mahal lebih penting daripada memastikan ada makanan di meja yang cukup untuk keluarga? Apakah kesempurnaan penampilan lebih berharga daripada keberlangsungan hidup?
Mengapa harus skincare yang dijadikan sebagai bahan pembanding untuk menyoroti protes masyarakat terhadap kenaikan beras yang terkesan mendadak tersebut? Karena skincare merupakan representasi produk konsumtif yang paling banyak digemari sehingga harganya mahal sekali pun tetap dibeli tanpa protes.
"Harga beras naik ribut, dunia serasa mau kiamat, tapi harga skincare naik yang tidak ada kaitannya dengan kehidupan, diam saja."
Masih ingat dengan potongan pernyataan sarkas ini? Pernyataan ini keluar dari mulut Dedi Mulyadi, mantan Bupati Purwakarta melalui kanal Youtube-nya, Kang Dedi Mulyadi Channel, pada Minggu, 25 Februari 2024. Pernyataan ini ditanggapi netizen dengan sikap pro-kontra sehingga membuat produk skincare dan beras menjadi viral lantaran menjadi isu yang paling ramai dibicarakan di dunia maya.
Politikus Partai Gerindra ini tidak hanya membandingkan beras dengan skincare, tetapi membandingkan juga kepanikan warga soal kenaikan harga beras dengan kenaikan harga rokok, baju, handphone, motor, hingga harga mobil. Dia mengatakan, ketika harga barang-barang tersebut naik, warga diam saja, tidak mau meributkannya. Sebaliknya, begitu harga beras naik, Â ributnya luar biasa (bloombergtechnoz.com, Dedi Mulyadi Singgung Harga Beras Vs Skincare, Sebut Mau Kiamat, 27/2/2024)
Pernyataan Dedi Mulyadi tersebut merupakan reaksi sekaligus kritik terhadap respons masyarakat yang dianggap lebay dengan kenaikan harga beras yang terjadi beberapa hari setelah Pilpres dan Pemilu 2024. Respons berupa protes dan kepanikan yang muncul secara spontan dari masyarakat tersebut sangatlah ironis, karena beras adalah bahan dasar makanan pokok orang Indonesia, yaitu nasi.
Dedi lantas menyindir sikap masyarakat Indonesia yang dianggap sebagai pemburu beras, akan tetapi tidak pernah menghargai keberadaan sawah. Masyarakat yang selalu ribut ketika harga beras naik, tapi tidak pernah menghargai petani. Ironisnya, ketika harga barang-barang konsumtif yang menyenangkan diri sesaat naik, tidak ada protes atau kepanikan sama sekali.
Skincare dan Kebutuhan Instan
Perilaku konsumtif masyarakat dalam memilih skincare atau barang-barang konsumtif lainnya daripada memenuhi kebutuhan pokok mencerminkan adanya ketidakseimbangan dalam nilai-nilai dan prioritas.Â
Ketidakseimbangan tersebut bersemayam dalam persepsi individual tentang kesenangan sebagai hasrat yang harus segera dipenuhi. Artinya, kecenderungan untuk mengutamakan pemenuhan keinginan yang menyenangkan diri akan lebih diprioritaskan ketimbang kebutuhan pokok.
Skincare merupakan produk perawatan kulit yang kalau digunakan secara rutin dan benar akan menghasilkan manfaat membuat kulit menjadi bersih dan sehat. Skincare juga merupakan cara perawatan kulit pada bagian wajah atau bagian tubuh lainnya. Banyak wanita yang terprovokasi oleh persepsinya sendiri tentang kecantikan yang bisa didapat dari skincare.
Karena itu, banyak wanita menjadikan skincare sebagai suatu kebutuhan yang wajib dan menjadi aktivitas yang rutin dilakukan. Bahkan, mereka membeli produk perawatan kulit ini secara berlebihan tanpa mempertimbangkan apa yang mereka butuhkan. Kebiasaan ini berlangsung terus-menerus sehingga menjadi perilaku konsumtif.
Beberapa hasil penelitian mengungkapkan, tingkat penjualan produk skincare, baik lokal maupun luar negeri mengalami pertumbuhan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir ini.Â
Data dari Kementerian Perindustrian Republik Indonesia (Kemenperin.go.id) menunjukkan tren yang cukup fenomenal terkait popularitas skincare di Indonesia.  Pertumbuhan industri kosmetik terus meningkat terhitung mencapai 7 persen pada 2019 dan pada 2020 mencapai 9 persen.
Salah satu pendorong pertumbuhan industri kosmetik tersebut adalah perubahan gaya hidup kaum hawa di Indonesia seiring dengan meningkatnya penggunaan skincare.Â
Dilansir dari Liputan6.com, ternyata skincare yang paling banyak digunakan konsumen di Indonesia pada 2020 adalah serum wajah lokal , krim, dan pembersih wajah.
Data tersebut mengungkapkan bahwa pesatnya pertumbuhan produk skincare menunjukkan adanya perubahan dalam perilaku konsumennya. Wanita yang membeli produk skincare semakin banyak. Perilaku mereka dalam membeli skincare saat ini tidak lagi berdasarkan kebutuhan, melainkan hasrat serta kepuasan untuk memenuhi keinginannya.
Perilaku Konsumtif
Seseorang yang melakukan pembelian produk konsumtif --seperti skincare---hanya berdasarkan hasrat untuk memenuhi keinginannya secara terus-menerus, dapat dikatakan sebagai perilaku konsumtif. Perilaku konsumtif itu didorong oleh keinginan mengonsumsi suatu barang secara berlebih atas dasar keinginan dan kesenangan sesaat.Â
Orang yang konsumtif, perilaku konsumsinya sudah tidak lagi didasarkan pada alasan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia secara rasional. Pola konsumsinya dimanfaatkan sebagai cara untuk memuaskan keinginan aktualisasi diri yang tidak masuk akal, seperti peningkatan status sosial, prestise, kelas, gaya, dan citra diri.
Orientasi perilaku konsumtif biasanya diekspresikan melalui penggunaan produk yang dianggap mahal untuk mendukung gaya hidup yang didorong oleh rasa senang, mencapai kepuasan, dan kenyamanan fisik yang tinggi.Â
Pemicunya adalah gaya belanja yang didorong oleh perkembangan mode atau tren, membeli barang-barang kesenangan secara berlebihan meskipun di luar kemampuan.Â
Puncak dari perilaku konsumtif adalah ketika seseorang tidak dapat mengontrol apa yang dia butuh untuk dibeli, tidak bisa melihat barang berdasarkan fungsinya, mudah tergoda atau tertarik dengan produk fashion yang digunakan orang lain dan selalu ingin mengikuti tren.
Perilaku konsumtif ditopang oleh tiga aspek utama, yaitu impulsif, irasional, dan boros. Aspek impulsif mengacu pada kondisi di mana seseorang melakukan pembelian berdasarkan hasrat yang datang secara tiba-tiba. Aspek irasional mengacu pada kondisi di mana seseorang membeli suatu produk tidak berdasarkan pertimbangan dari segi manfaat atau kegunaan dari produk tersebut. Aspek boros mengacu pada perilaku seseorang yang menghamburkan banyak uang tanpa alasan yang jelas (Latifa, 2021).
Skincare dan produk konsumtif lainnya merupakan barang-barang kebutuhan terkait penampilan yang berorientasi pada pencitraan diri. Orang-orang yang merasa bisa mempercantik diri atau menambah rasa percaya diri dengan barang-barang tersebut pasti akan membelinya berapa pun harga yang ditawarkan. Keinginan untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasan dari barang-barang tersebut menuntun perilakunya untuk membelanjakan uang mereka tanpa kontrol. Padahal, tanpa disadari, perilaku konsumtif ini hanya memberi kesenangan dan kebahagiaan yang semu akibat pembeliannya yang berlebihan.
Kulit Glowing Atau Nasi yang Cukup?
Semua pengguna skincare pasti mengharapkan kulit yang glowing setelah memakai produk kecantikan yang populer ini. Mereka sudah terprovokasi oleh penampakan kulit para influencer yang putih, bening, mulus, dan bersinar yang memancarkan pesona kecantikan paling maksimal. Siapa yang tidak mau memiliki kulit glowing dan wajah cantik seperti mereka?
Pikiran inilah yang selalu menggoda para wanita untuk memakai perawatan kulit supaya penampilan dan citra diri mereka berubah menjadi lebih cantik. Keinginan inilah yang mendorong mereka menjadi konsumtif dan irasional ketika digoda oleh produk skincare yang lebih bagus dan lebih mahal.
Narasi bahwa kulit wanita otomatis berubah menjadi glowing karena memakai produk skincare mampu menggeser cara berpikir rasional dalam menentukan skala prioritas kebutuhan manusia. Masyarakat lebih memprioritaskan investasi dalam perawatan kulit ketimbang memastikan kebutuhan pokok terpenuhi. Dengan kata lain, memenuhi hasrat menjadi cantik dan glowing menjadi pilihan utama daripada menyediakan beras yang cukup untuk kebutuhan makan sekeluarga.
Membandingkan harga skincare yang mahal dengan kenaikan harga beras memang tidak sepadan tingkatannya, karena beras merupakan komoditas kebutuhan pokok rakyat yang tata niaganya berada di bawah kendali pemerintah.Â
Pemerintah selaku pemegang otoritas hajat hidup orang banyak harus memastikan bahwa harga beras yang ditetapkan harus terjangkau dan bisa dibeli oleh seluruh rakyat Indonesia.
Persoalan besar terkait kebutuhan beras di Indonesia adalah, bahwa penduduk Indonesia terus bertambah, lahan pertanian kita terus terkikis oleh pengembangan pemukiman penduduk, pengembangan lahan industry dan pengembangan sarana fasilitas umum.Â
Generasi muda kita banyak yang telah meninggalkan profesi orang tua di bidang pertanian dan beralih ke bidang jasa dan industry, oleh karenanya tidak aneh manakala di masa masa mendatang kebutuhan pangan, terutama beras terus menjadi perhatian yang serius dari pemerintah.
Supaya harga beras bisa dikendalikan secara efektif, pemerintah selalu memastikan stok beras di Bulog saat ini aman. Pemerintah juga masih mampu melakukan bargaining (tawar-menawar) dengan petani dan pengusaha beras yang kondisinya tidak sekuat pengusaha industri lain. Jika persediaan beras di Bulog menipis, atau produksi beras rendah, pemerintah akan mengimpor beras guna mengatasi kenaikan harga dan kekurangan stoknya.
Sebuah pertanyaan klasik tentang harga beras yang selalu muncul adalah: "Berapa harga beras yang ideal?" Pemerintah mempunyai beberapa metode untuk menetapkan harga beras sehingga bisa ideal untuk seluruh kalangan masyarakat.Â
Pertama, pendekatan berdasarkan daya beli mayoritas masyarakat yang berpendapatan rendah. Rumus harga dengan metode ini akan menghasilkan harga beras yang murah sekali sehingga mereka mampu membeli beras dan memasaknya menjadi nasi.
Kedua, penetapan harga beras berdasarkan kebijakan pemerintah. Pendekatan ini masih berpedoman pada kemampuan masyarakat dalam rangka menetralisir kondisi sosial atau politik sebagai ekses kenaikan harga beras. Kebijakan pemerintah dalam soal harga beras selalu mempertimbangkan kestabilan sosial politik, jangan sampai terjadi gejolak politik atau kriminalitas kalau harga beras dinaikkan melebihi kemampuan masyarakat.
Ketiga, penetapan harga berdasarkan analisis hasil petani sebagai produsen beras. Biasanya harga beras yang ditetapkan mempertimbangkan hitungan besaran biaya sewa lahan tanam, biaya pembelian bibit, biaya tenaga kerja, biaya pupuk, biaya pembelian obat tanaman, pajak, hingga margin yang akan diperoleh. Metode ini kurang populer karena para petani menggunakan lahan sendiri, sementara pendapatan dari harga beras yang ditetapkan tidak bisa impas untuk menutupi biaya produksinya.
Untuk diketahui, BPS telah mencatat kenaikan harga beras sudah menjala ke-268 daerah di Indonesia menjelang puasa dan lebaran 2024. Harga beras terus bergerak naik dan kini berada di kisaran antara Rp15.000 hingga Rp19.000 (cnnindonesia.com, Dedi Mulyadi Sindir Warga Ribut Harga Beras Naik, Skincare Naik Diam, 27/2/2024).
Dari fenomena kenaikan harga beras dan protes masyarakat terungkap, komoditas pangan memberi sumbangan terbesar pada garis kemiskinan di Indonesia. BPS mencatat garis kemiskinan mencapai 73 persen di perkotaan dan 76,08 persen di perdesaan. Komoditas beras sendiri menyumbang garis kemiskinan terbesar yakni hingga 19,35% di perkotaan dan 23,73% di perdesaan. Karena itu lonjakan harga beras dipastikan menyeret banyak orang Indonesia menjadi semakin miskin.
Sindiran Dedi Mulyadi soal skincare merupakan gambaran atas realita pendapatan masyarakat yang masih rentan terhadap instabilitas harga barang kebutuhan pokok seperti beras.Â
Kalau masyarakat sampai berteriak harga beras kemahalan, itu menandakan ada biaya yang harus dipangkas dari pendapatan mereka agar tetap bisa membeli beras sebagai bahan baku nasi. Boleh jadi, biaya yang terganggu itu adalah uang untuk membeli skincare sebagai kebutuhan yang tidak boleh dipangkas apalagi dihapus dari daftar belanja bulanan keluarga.
Depok, 7 Maret 2023
Referensi
Latifa, Azriani. Et. al. Perilaku Konsumtif Pembelian Produk Perawatan Kulit (Skin-care) ditinjau dari Kontrol Diri pada Anggota Komunitas Arisan Bhayangkari. Jurnal Psikologi Terapan [JPT], Vol 4, No. 2 (2021): 72-81 DOI: https://doi.org/10.29103/jpt.v4i2.10210
 uad.ac.id, Harga Beras Mahal? 12/10/2024
 bloombergtechnoz.com, Dedi Mulyadi Singgung Harga Beras Vs Skincare, Sebut Mau Kiamat, 27/2/2024
 cnnindonesia.com, Dedi Mulyadi Sindir Warga Ribut Harga Beras Naik, Skincare Naik Diam, 27/2/2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H