Hati-hati dengan FOMO! Gejalanya Bisa Picu Maniak GawaiÂ
Oleh: Sultani
Istilah FOMO sudah sangat familiar bagi masyarakat modern, terutama Generasi Milenial dan Generasi Z yang sangat akrab dengan media sosial.
Istilah ini mengacu pada gejala psikologi seseorang yang tidak ingin kehilangan momen apa pun. Orang-orang yang hidup dengan gejala FOMO biasanya selalu berusaha untuk terlihat gaul dan update. Mereka tidak ingin ketinggalan tren, berita, atau apa pun yang lagi ramai dibicarakan (trending topics).
FOMO adalah singkatan dari Fear Of Missing Out, yang berarti kecemasan jika kehilangan momen atau informasi.
Kecemasan ini merujuk pada ketidaknyamanan yang dirasakan seseorang karena takut akan kehilangan atau melewatkan pengalaman, kegiatan, atau informasi yang sedang terjadi.
FOMO bisa memicu seseorang merasa tertinggal dan berpikir bahwa kehidupan orang lain di media sosial lebih menyenangkan dibanding hidupnya sendiri. Itu sebabnya, mereka berusaha mengikuti tren demi terlihat bahagia dan keren.
Istilah FOMO pertama kali diperkenalkan oleh seorang penulis asal Amerika Serikat, Patrick McGinnis.  Dalam artikel "Social Theory at HBS: McGinnis' Two FOs" (2004) memaparkan tentang fenomena dotcom bubble ketika di kuliah di Harvard Business School tahun 2003. Saat itu Patrick beranggapan bahwa tahun itu merupakan era di mana manusia berada di dalam dotcom bubble yang ditandai dengan teknologi dan internet yang sedang berkembang pesat. Internet dan kemunculan Friendster sebagai media sosial paling top masa itu, membuat Patrick berpikir bahwa teknologi memengaruhi manusia untuk live to the full-set alias tidak ingin kehilangan momen apa pun. Dari sinilah istilah FOMO muncul.
FOMO sering kali terkait dengan penggunaan media sosial dan aktivitas online, di mana seseorang khawatir bahwa keputusan untuk tidak terlibat dalam sesuatu akan membuat mereka kehilangan pengalaman yang seru atau penting.
Rasa takut ketinggalan ini mengacu pada perasaan atau persepsi bahwa orang lain bersenang-senang, menjalani kehidupan yang lebih baik, atau mengalami hal-hal yang lebih baik. Karena itulah mereka secara impulsif akan terus menerus mencari validasi lewat unggahan di media sosial.
Pemicu FOMO
FOMO adalah pengalaman yang umum terutama di era digital yang terhubung secara online. Media sosial adalah pemicu utama dari FOMO.
Dengan melihat unggahan teman atau pengguna lain yang menunjukkan kegiatan atau acara yang menyenangkan dapat memicu perasaan FOMO. Apalagi unggahan tersebut menampilkan momen-momen pilihan yang membuat orang lain merasa seperti mereka melewatkan sesuatu.
Selain media sosial, FOMO juga kerap kali dipicu oleh faktor-faktor yang bisa dianggap sepele, yaitu:
#1 Notifikasi dan PembaruanÂ
Pemicu ini masih terkait dengan penggunaan media sosial juga, tapi lebih pada konten yang berisi notifikasi dan pembaruan langsung pada aplikasi media sosial atau grup obrolan. Notifikasi dan pembaruan tersebut bisa membuat seseorang merasa bahwa mereka harus terus-menerus memeriksa atau terlibat agar tidak ketinggalan informasi atau pembicaraan yang sedang berlangsung.
#2 Teknologi dan Ketersediaan Informasi
FOMO juga bisa dipicu oleh kecanggihan fitur-fitur teknologi sekarang. Salah satunya adalah ketersediaan informasi instan dan kemampuan untuk melihat apa yang sedang terjadi di seluruh dunia dalam sekejap. Seseorang bisa saja merasa bahwa mereka harus selalu terhubung agar tidak ketinggalan perkembangan terkini.
#3 Perbandingan Sosial
Kecenderungan untuk membandingkan kehidupan dan pencapaian diri sendiri dengan orang lain di media sosial juga dapat memperkuat perasaan FOMO. Terutama jika orang lain terlihat memiliki pengalaman atau prestasi yang lebih besar atau lebih menarik.
#4 Acara dan Aktivitas Sosial
Takut untuk melewatkan momen bersama teman-teman atau komunitas dapat menjadi pemicu FOMO. Contohnya ketika seseorang tahu bahwa ada acara atau aktivitas sosial yang sedang berlangsung dan mereka tidak dapat berpartisipasi rasa FOMO-nya langsung muncul saat itu juga.
Istilah "maniak gawai" dapat merujuk kepada seseorang yang memiliki obsesi atau kecenderungan yang sangat kuat terhadap penggunaan dan eksplorasi gadget atau perangkat elektronik, seperti ponsel pintar, tablet, laptop, atau perangkat teknologi lainnya. Orang-orang yang dianggap maniak gawai mungkin memiliki ketertarikan yang berlebihan terhadap teknologi, sering kali menghabiskan banyak waktu untuk menggunakan perangkat tersebut, sehingga sulit untuk memisahkan diri dari dunia digital.
Istilah maniak gawai dapat digunakan dengan berbagai konotasi, tergantung pada konteksnya. Dalam kasus-kasus tertentu, "maniak gawai" bisa saja merujuk pada orang-orang yang sangat ahli dalam penggunaan dan pengetahuan teknologi. "Maniak gawai" yang dimaksud dalam artikel ini merujuk kepada orang-orang yang kurang dapat mengendalikan atau mengurangi waktu yang dihabiskan untuk menggunakan gawai.
Gen Z Rawan "Maniak Gawai"?
Generasi Z, yang terdiri dari individu yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, tumbuh dewasa di era di mana teknologi digital dan gawai menjadi semakin mendominasi kehidupan sehari-hari. Ponsel pintar, tablet, dan komputer telah menjadi bagian integral dari kehidupan mereka sejak dini, membuat mereka lebih terbiasa dan cenderung menghabiskan waktu yang lebih banyak di dunia digital.
Gawai sebagai perangkat yang mengakomodasi semua kebutuhan digital Generasi Z dengan sendirinya menjadi perangkat yang paling dekat dengan kehidupan mereka. Bagi Gen Z, gawai tidak sekadar perangkat elektronik fisik yang bisa dibawa ke mana saja. Gawai adalah representasi dari eksistensi, jati diri dan identitas sosial mereka. Karena lewat gawailah eksistensi mereka sebagai makhluk sosial menjadi bermakna.
Dengan kata lain, gawai adalah media fisik yang mengakomodasi eksistensi sosial mereka melalui konektivitasnya dengan berbagai platform media sosial yang populer. Gawai memungkinkan mereka untuk hadir di platform sosial seperti Instagram, Snapchat, dan TikTok, memeriksa notofikasi dan membagikan konten secara terus-menerus, mengakses hiburan digital termasuk streaming video, game online, dan mengakses konten interaktif lainnya.
Media sosial yang sudah populer di kalangan Gen Z menciptakan dorongan untuk terus terlibat dalam interaksi digital melalui gawai. Di sinilah ketergantungan Gen Z terhadap gawai sulit untuk dilepas. Mereka sangat rawan menjadi "maniak gawai" karena kebutuhan untuk selalu terkoneksi, berbagi momen hidup, serta mendapatkan feedback atau validasi dan pengakuan positif dari orang lain di dunia maya.
Kebutuhan untuk mendapatkan validasi dan pengakuan positif dari orang lain secara virtual melalui media sosial dapat mendekatkan Generasi Z kepada gejala FOMO. Dengan kata lain, FOMO sebagai pemicu kecemasan sangat rentan terjadi pada Generasi Z yang kegiatan sehari-harinya sudah menyatu dengan media sosial.
FOMO mendorong Gen Z untuk terus menggunakan gawai sebagai cara untuk tetap terlibat dan terhubung dengan berbagai kejadian dan interaksi sosial. Gen Z selalu merasa bahwa melalui gawai mereka dapat lebih terhubung dengan teman-teman sebaya, mendapatkan dukungan, atau berpartisipasi dalam kegiatan yang sedang tren. Hal ini dapat menghasilkan keinginan untuk selalu mengaktifkan gawai, bahkan hingga tingkat yang berlebihan atau maniak.
Istilah maniak gawai tidak bermaksud untuk menggeneralisir semua Gen Z yang mengalami FOMO. Maniak gawai di sini mengacu pada kondisi ketika perasaan FOMO menjadi dominan dan mengarah pada penggunaan gawai yang tidak sehat atau berlebihan. Ada beberapa tanda "maniak gawai" yang bisa dikenali dari perilakunya.
#1 Sangat bergantung kepada gawai
Perilaku ini merupakan indikasi paling riil yang bisa dilihat secara langsung. Ketergantungan mereka terhadap gawai melebihi kebutuhan apapun. Orang-orang yang maniak gawai akan meras sulit untuk melepaskan diri perangkat mereka, bahkan dalam situasi-situasi di mana penggunaan perangkat seharusnya tidak pantas atau mengganggu. Pasalnya, begitu lepas dengan gawai, mereka merasa terputus dengan dunianya sehingga akan kehilangan informasi atau peristiwa yang harus mereka tahu.
#2 Memakai gawai berlebihan pada malam hari
Perilaku ini menjadi ciri dari Gen Z yang merasa bebas menggunakan gawai pada malam hari. Malam adalah waktu yang paling bebas untuk bermain gawai. Saking asyiknya dengan gawai, mereka sering merasa tidak pernah lelah untuk bermain gawai dan bisa tidak tidur seharian. Mereka tidak peduli bahwa penggunaan gawai yang berlebihan bisa mengganggu pola tidur dan keseimbangan hidup sehari-hari. Mereka juga tidak menyadari bahwa memakai gawai berlebihan pada malam hari akan mengganggu aktivitas belajar di siang hari.
#3 Sulit fokus pada aktivitas lain
Kesulitan fokus ini terutama pada aktivitas non-digital seperti membaca, berkumpul, olahraga, bahkan tidur. Karena sulit fokus biasanya para maniak gawai juga kurang berminat pada kegiatan di luar jaringan digital tersebut. Daripada beraktivitas bersama keluarga atau teman di dunia nyata mereka lebih lebih memilih gawai dan beraktivitas sendirian.
#4 Gejala fisik dan kesehatan yang terganggu
Para maniak gawai biasanya memiliki gangguan pada kebugaran fisik seperti sakit leher, sakit punggung, dan masalah kesehatan lainnya. Penggunaan gawai yang berlebihan dan kurang istirahat membuat mereka juga mudah gelisah, Â dan mudah marah. Gejala ini akan muncul ketika mereka jauh dari gawai atau diminta untuk berhenti menggunakan gawai.
Penting untuk diingat bahwa tanda-tanda ini mungkin bervariasi antar individu dan tidak semua orang yang aktif menggunakan gawai dapat dianggap sebagai "maniak." Bagi sebagian orang, penggunaan gawai yang tinggi mungkin merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari yang sehat, sementara bagi yang lain, itu bisa menjadi masalah yang perlu diperhatikan.
Depok, 05 Januari 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H