Mohon tunggu...
Sultan Aqlissalam
Sultan Aqlissalam Mohon Tunggu... Lainnya - Makhluk Tuhan yang Sakral

Eksistensi hanyalah konotasi paradoks dari mereka yang mengimani tuhan secara partisan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Eichmann, Banality of Evil dan Kondisi Indonesia Hari Ini; The Human Condition and Reflection on Violence by Hannah Arendt

18 April 2022   16:09 Diperbarui: 18 April 2022   16:24 1294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber by pinterest

Untuk memulai pembahasan kali ini, ditengah-tengah kisruh yang terjadi di negeri tercinta dengan segala kebijakan yang sensasional dan bermodal ala-ala revolusi industry 5.0, izinkan saya mengutip kalimat dari widji. "kemerdekaan itu, nasi dimakan menjadi tai. Kenapa demikian? Tentunya hal tersebut sangat mengundang gelak tawa dan juga emosi, entah dari segi kebijakan, personality atau suguhan-suguhan yang berbau testing the water. 

Siapakah eichmann?

Dalam wikipedia disebutkan bahwa Otto Adolf Eichmann lahir pada 19 Maret 1906 di Solingen Jerman. Beliau adalah Obersturmbannfuhrer(setara dengan letnan kolonel) Schutzstaffel dan Nazi berpangkat tinggi. Karena bakat organisasi dan kecakapan ideologisnya, ia ditugaskan oleh Obergruppenfuhrer Reinhard Heydrich memfasilitasi dan mengatur logistik deportasi massal ke ghetto-ghetto dan kamp konsentrasi di Eropa Timur yang diduduki Nazi. 

Setelah perang ia berjalan ke Argentina menggunakan laisser-passer (sejenis paspor) yang didapatkan secara curang yang dikeluarkan oleh Palang Merah Internasional dan tinggal di sana dengan identitas palsu. Beberapa waktu kemudian atau tepat pada 11 Mei 1960 anggota intel Israel menangkap Adolf Eichmann (seorang tentara Nazi yang melarikan diri di Argentina). 

Ia dibawa ke Israel untuk diadili atas kejahatannya selama perang dunia kedua terkait dengan pembunuhan orang-orang Yahudi di kamp-kamp konsentrasi Jerman.Tugas utamanya sebagai prajurit adalah mengatur transportasi jutaan orang Yahudi dari seluruh Eropa ke dalam kamp-kamp konsentrasi buatan Nazi. 

Dan dalam hal ini, ia menjalankan tugasnya dengan amat baik. Setelah perang usai ia pergi ke Argentina, dan hidup sebagai orang biasa dengan identitas palsu. Konon pemerintah setempat mengetahui hal ini, dan tetap bersikap diam. Pemerintah Israel tidak berhasil melakukan perundingan terkait dengan extradisi tahanan dari Argentina. Intel mereka pun bermain. Setelah Eichmann sampai Israel, pemerintah Israel membuka sebuah sidang publik yang bersifat terbuka.

 Ketika diminta memberikan pendapat tentang persidangan ini, David Ben-Gurion, perdana menteri Israel pada masa itu, berpendapat, bahwa sidang terbuka ini untuk menarik perhatian dunia pada “peristiwa yang paling tragis di dalam sejarah kami, fakta paling tragis di dalam sejarah manusia.”

Kenapa harus Eichmann sebagai salah satu analogi dari keadaan indonesia hari ini?

Hannah Arendt lahir di Hanover, Jerman pada 1906 dan meninggal pada 1975 di New York. Pada tahun 1924, ia belajar di Universitas Marburg, Jerman, dan di sana ia bertemu dengan Martin Heidegger, waktu itu telah menjadi filsuf besar. 

Salah satu tulisannya yang populer ialah Eichmann in Jerusalam, A Report on the Banality of Evil yang merupakan sebuah reportase mendalam terhadap persidangan Eichmannn yang merupakan salah satu aktor kejahatan hak asasi manusia atas tragedi pembantaian orang yahudi(holocaust).

Dalam publikasi hasil laporan terhadap sidang tersebut yang diterbitkan pada 1963 dengan judul Eichmann in Jerusalam, A Report on the Banality of Evil, Arendt sangat terkejut bahwa ternyata sosok dari Eichmann, sebagai salah satu penjahat perang dunia kedua ini adalah orang biasa yang sama sekali tak tampak kejam, sebaliknya dia adalah warga negara yang taat hukum.

Tidak ada tanda-tanda kejahatan dalam dirinya. Ia hanya menjawab pertanyaan dengan baik dan normatif. Rasanya benar seperti yang diungkapkan benhabib bahwa pikiran yang kejam tidak diperlukan untuk melakukan suatu kejahatan yang brutal. Kejahatan yang brutal bisa mengambil rupa wajah orang baik-baik, orang-orang biasa.

Sampai disini mungkin kawan-kawan masih bingung, lagi-lagi kenapa harus Eichmann yang harus menjadi analogi dalam keadaan indonesia hari ini. 

Sederhananya begini, sosok Eichmann yang digambarkan arendt dalam publikasinya tentu mengagetkan banyak pihak yang membacanya, mungkin stigma sebagian masyakarat terkait "penjahat adalah orang yang bertato, yang mempunyai tampang seram dan yang paling intinya adalah urakan. 

Sebetulnya perlu kita sadari dan renungi baik-baik bahwa standar tersebut sudah sangat usang bahkan mungkin primitif. Mari kita ingat baik-baik dari zaman dahulu hingga sekarang, siapa yang paling merugikan masyarakat indonesia? Tidak jauh dan tidak bukan adalah para pemangku kebijakan. 

Kita bisa ingat baik-baik bagaimana lolosnya Ruu yang kemudian menjadi UU dimalam hari dan lain-lain. Sekali lagi saya mengutip benhabib bahwa pikiran yang kejam tidak diperlukan untuk melakukan suatu kejahatan yang brutal. Kejahatan yang brutal bisa mengambil rupa wajah orang baik-baik, orang-orang biasa. Hal tersebut benar adanya dan banyak!

Tapi bukan berarti hal tersebut menjadi glorifikasi, tentu tidak kawan. Hal tersebut hanya menjadi pengingat saja bahwa hal tersebut cenderung lumrah di negara kita ini. 

Banality of Evil dalam konteks indonesia hari ini

Banality of Evil atau banalitas kejahatan yakni suatu situasi, dimana kejahatan tidak lagi dirasa sebagai kejahatan, tetapi sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, sesuatu yang wajar.
Pada dasarnya hal tersebut adalah satu gambaran dimana manusia secara antusias dan sukarela ikut andil dan terlibat dalam kasus tertentu, mari kita ambil seperti contoh kasus pemangkasan vonis koruptor. Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2019-2020 terdapat 134 terdakwa korupsi dibebaskan atau dipangkas hukumannya melalui kasasi atau peninjauan kembali di MA. 

ICW juga merata-ratakan vonis yang diberikan koruptor hanya sekitar hukuman 3 tahun 6 bulan penjara, tergolong vonis ringan. Berikut adalah beberapa nama yang dipangkas masa tahanannya oleh mahkamah agung dan pengadilan tinggi:  mulai dari Djoko Tjandra yang dikabulkan bandingnya oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dan memberikan potongan hukuman 1 tahun atas kasus penghapusan red notice dan pengurusan fatwa MA yang semula 4,5 tahun menjadi 3,5 tahun penjara. , 

kemudian kasus pinangki yang mendapat potongan masa tahanan, semula divonis 10 tahun menjadi 4 tahun dan denda sebesar Rp600 juta dengan subsider enam bulan kurungan. Pinangki menjadi tersangka kasus korupsi pengurusan fatwa bebas Djoko Tjandra di Mahkamah Agung, hingga Lucas yang merintangi penyidikan terhadap Eddy Sindoro, bekas petinggi Lippo Group yang menjadi tersangka penyuap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 

Pengadilan Tipikor Jakarta menghukum si advokat 7 tahun penjara. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memotong hukuman Lucas menjadi 5 tahun penjara. Di tingkat kasasi, MA kembali memangkas hukuman Lucas menjadi tiga tahun penjara. Hal tersebut tentunta menjadi sederetan bagaimana kasus korupsi seolah skandal yang biasa saja (banal). 

awal mulanya korupsi adalah sesuatu yang buruk namun ketika hal tersebut dilakukan secara bersama dan menjadi adat istiadat maka hal tersebut menjadi sesuatu yang biasa saja (banal). Hal ini mengingatkan saya pada Rohaniwan (www.antikorupsi.org). 

Ia memulai penjelasannya dengan mob-rule Aristoteles. Ukuran sebuah kebenaran adalah banyaknya orang melakukan suatu hal yang lambat-laun akan menjadi standar sekaligus aturan. Sebagai banalisme, korupsi pada akhirnya menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah sistem. Semula, pada dirinya sendiri korupsi adalah buruk secara moral. Namun, karena korupsi dilakukan massal dan secara periodik, lama-lama cakupan moralitas korupsi berubah menjadi sesuatu yang dapat dibenarkan paling tidak untuk komunitas mereka (para pelaku).


Kemudian perilaku represif aparat ketika sedang melakukan aksi demonstrasi, lagi-lagi kekerasan menjadi sebuah hal yang biasa saja(banal). Ketika kita kembali lagi pada pijakan mob-rule aristoteles, bahwa ukuran suatu kebenaran adalah banyaknya orang melakukan suatu hal yang lambat laun akan menjadi standar sekaligus aturan. Konsekuensi logisnya adalah hal tersebut kini menjangkiti hampir seluruh aksi demonstrasi.

Seperti yang digambarkan Arendt dalam bukunya yang berjudul Eichmann in Jerusalam, A Report on the Banality of Evil; bahwa ketika seseorang terjangkiti banality of evil, indikasi sederhananya bukanlah dari tampang yang seram atau bahkan berperangai seperti iblis, satu satunya hal yang kurang dari mereka(pelaku) adalah imajinasi, sama seperti eichmann. Mereka bukan orang yang bodoh Yang menjadi “penyakit” utamanya adalah ketidakberpikiran. Tidak berpikir berbeda sama sekali dengan bodoh. 

Orang bisa saja amat cerdas, namun tak menggunakan kecerdasannya itu secara maksimal untuk berpikir secara menyeluruh, berpikir secara sistemik (bukan sistematis).  Dan karena tak berpikir, ia seringkali tak sadar, bahwa tindakannya itu merupakan suatu kejahatan brutal. Maka salah satu hal mendasar yang dibutuhkan untuk menjadi penjahat brutal adalah ketidakberpikiran.

Ketidakberpikiran membuat suatu tindakan menjadi terasa wajar, termasuk tindakan yang mengerikan. Orang-orang biasa seperti Eichmann bukanlah orang jahat atau kejam. Banyak orang menganggap bahwa pelaku kejahatan brutal adalah penjelmaan setan. Wajahnya pasti sangar. Matanya kejam. Badannya besar. Namun faktanya tidaklah seperti itu. Sebaliknya Eichmann adalah orang biasa, cerdas, dan patuh. Tidak ada niat jahat ataupun kejam di dalam dirinya. 

“Ketercabutan dari realitas semacam itu dan ketidakberpikiran semacam itu”, demikian tulis Arendt, “dapat jauh lebih merusak dari semua insting jahat dijadikan satu.. dan semua ini ada di dalam diri manusia.” Inilah yang kiranya menjadi pelajaran dari pengadilan Eichmann di Yerusalem, sebagaimana dianalisis oleh Arendt. Ketidakberpikiran adalah sisi gelap manusia yang menjadi sumber dari lahirnya kejahatan. Inilah kejahatan khas abad keduapuluh yang, menurut Arendt, tidak pernah ditemukan sebelumnya. Saya yakin banyak orang seperti Eichmann. Mereka bukan orang gila. Mereka bukan orang kejam. Mereka hanyalah orang-orang yang amat normal, dan karena normalitasnya, mereka menjadi menakutkan. Mereka adalah orang-orang yang tak berpikir.

Sebuah refleksi atas semua kegaduhan dalam berbagai kebijakan sensasional ala orde paling baru

Setelah pemaparan diatas, bahwa relevansi eichmann dan indonesia hari tentunya sangat banyak memiliki kesamaan. Bagaimana kita bisa melihat sendiri dengan mata kepala kita, bahwa segala kebijakan yang dilontarkan oleh pemerintahan hari terkesan seperti tidak memiliki kepedulian terhadap warga negaranya. 

Bagaimana tidak, dimulai dari presiden sebagai primus interpares yang tentunya memiliki state apparatuse dan semua resource yang dia bisa akses dan semua aparatur pemerintahan yang mempunyai akses terhadap semua kebijakan yang ada di negeri ini.

 Hal-hal semacam minyak yang menjadi salah satu bahan pokok untuk warga negara kita malah hal tersebut awalnya menjadi langka, kemudian harganya menjadi tidak masuk akal, lalu kenaikan bbm pertamax, bukan maksud membela kaum kaya. Tapi dengan naiknya pertamax, bbm pertalite pun ikut langka, dan siapa yang menjadi korban? 

Ya tentunya masyarakat kecil lagi. Ditambah lagi ditengah-tengah  krisis covid yang belum selesai pemerintah malah ingin memindahkan ibu kota dengan Ruu IKN nya yang mana hal tersebut tentunya seperti tidak memiliki sense priority terhadap penderitaan rakyat hari ini. 

Bak seperti terjatuh tangga lalu tertiban batu, lagi-lagi masyarakat indonesia hari harus kembali bergelut dengan opini konyol yang dilontarkan mentri dan para elite politik tentang perpanjangan periode presiden, bukan masalah undang-undangnya bisa di amandemen atau hal-hal lainnya seperti yang diungkap salah satu mentri, tapi apakah wacana perpanjangan periode presiden  tanpa mekanisme pemilihan yang melibatkan rakyat sebagai simbol dari demokrasi ini merupakan salah satu pengkhianatan terhadap rakyat juga? 

Ini bukan hal yang sederhana, karena jika hal tersebut benar-benar terealisasi maka pemerintahan hari ini bukan hanya mengkhianati demokrasi tapi mengesampingkan moral force. Disamping  itu, ada kabar baik bahwa undang-undang tindak pidana kekerasan seksual telah resmi disahkan oleh Dpr, tapi butuh kurun waktu kurang lebih 10 tahun untuk membuat uu itu sah! Apakah itu salah? Tentu tidak, tapi terkesan membuat pelanggaran kekerasan seksual menjadi sesuatu yang biasa saja(banal). 

Dari semua rentetan tersebut saya kira banality of evil dalam kebijakan pemerintahan hari ini sangat jelas. Dimana pemerintahan hari membuat suatu kebijakan yang pada akhirnya merugikan rakyat itu sendiri dan alhasil hal tersebut menjadi biasa saja(banal). 

Karena apa? Lewat mob rule aristoteles kita bisa bahwa bahwa ukuran suatu kebenaran adalah banyaknya orang melakukan suatu hal yang lambat laun akan menjadi standar sekaligus aturan. Hal tersebut menjadi gambaran akan indonesia hari ini, seperti pepatah, seekor monyet ingin menyelamatkan ikan yang dia kita tenggelam, namun setelah menolong ikan yang tenggelam, ikan tersebut mati karena habitatnya memang dalam air. Maksud hati mungkin ini menolong, namun secara mekanisme dan rule of law malah mencekik. Itulah realita yang terjadi hari ini!

Lantas apa yang harus kita lakukan? Jika kita berpijak pada pandangan Arendt dalam 2 bukunya yang berjudul the human condition dan reflection on violence, bahwa kita harus melakukan vita activa kerja, karya dan aksi. Ia memberikan kerangka antropologisfenomenologis yang menunjukkan aspek-aspek kondisi manusia yang berkaitan dengan vita activa (kehidupan aktif)  Arendt mengungkapkan tiga  hal yang saling berkaitan: pelbagai kondisi, aktivitas dan wilayah vita activa. 

Pelbagai kondisi yang ia identifikasi adalah: bumi, kehidupan, keduniawianpluralitas, kelahiran dan kematian. Aktivitasnya adalah kerja, karya dan aksi. Sedang wilayah vita activa adalah ruang publik dan ruang privat. Kehidupan merupakan kondisi yang terkait dengan kerja, keduniawian berkaitan dengan karya dan pluralitas berkaitan dengan aksi. Ketiga aktivitas ini, kerja, karya, aksi, pada gilirannya terkait dengan kondisi eksistensi manusia yang paling umum: kelahiran dan kematian.

Ketiga aktivitas tersebut bersifat otonom, dalam arti memiliki prinsip sendiri dan wujud yang dapat dinilai dengan kriteria yang berbeda. Kerja dinilai dari kemampuannya menopang hidup manusia, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan reproduksi biologis. 

Sedangkan karya dinilai dari kemampuannya untuk membangun dan mempertahankan dunia sesuai dengan manfaat dan kesenangan manusia. Sedang aksi dinilai dari kemampuannya untuk memperlihatkan identitas  pelaku untuk menegaskan realitas dunia, mengaktualisasikan kebebasan manusia, dan memberi makna eksistensi manusia.  Arendt menganggap tiga aktivitas tersebut memiliki nilai penting bagi kesempurnaan hidup manusia, dalam pengertian bahwa  masing-masing memberi kontribusi dalam merealisasikan kapasitas manusia dengan cara khasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun