Mohon tunggu...
Sultan Aqlissalam
Sultan Aqlissalam Mohon Tunggu... Lainnya - Makhluk Tuhan yang Sakral

Eksistensi hanyalah konotasi paradoks dari mereka yang mengimani tuhan secara partisan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Eichmann, Banality of Evil dan Kondisi Indonesia Hari Ini; The Human Condition and Reflection on Violence by Hannah Arendt

18 April 2022   16:09 Diperbarui: 18 April 2022   16:24 1294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber by pinterest

kemudian kasus pinangki yang mendapat potongan masa tahanan, semula divonis 10 tahun menjadi 4 tahun dan denda sebesar Rp600 juta dengan subsider enam bulan kurungan. Pinangki menjadi tersangka kasus korupsi pengurusan fatwa bebas Djoko Tjandra di Mahkamah Agung, hingga Lucas yang merintangi penyidikan terhadap Eddy Sindoro, bekas petinggi Lippo Group yang menjadi tersangka penyuap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 

Pengadilan Tipikor Jakarta menghukum si advokat 7 tahun penjara. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memotong hukuman Lucas menjadi 5 tahun penjara. Di tingkat kasasi, MA kembali memangkas hukuman Lucas menjadi tiga tahun penjara. Hal tersebut tentunta menjadi sederetan bagaimana kasus korupsi seolah skandal yang biasa saja (banal). 

awal mulanya korupsi adalah sesuatu yang buruk namun ketika hal tersebut dilakukan secara bersama dan menjadi adat istiadat maka hal tersebut menjadi sesuatu yang biasa saja (banal). Hal ini mengingatkan saya pada Rohaniwan (www.antikorupsi.org). 

Ia memulai penjelasannya dengan mob-rule Aristoteles. Ukuran sebuah kebenaran adalah banyaknya orang melakukan suatu hal yang lambat-laun akan menjadi standar sekaligus aturan. Sebagai banalisme, korupsi pada akhirnya menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah sistem. Semula, pada dirinya sendiri korupsi adalah buruk secara moral. Namun, karena korupsi dilakukan massal dan secara periodik, lama-lama cakupan moralitas korupsi berubah menjadi sesuatu yang dapat dibenarkan paling tidak untuk komunitas mereka (para pelaku).


Kemudian perilaku represif aparat ketika sedang melakukan aksi demonstrasi, lagi-lagi kekerasan menjadi sebuah hal yang biasa saja(banal). Ketika kita kembali lagi pada pijakan mob-rule aristoteles, bahwa ukuran suatu kebenaran adalah banyaknya orang melakukan suatu hal yang lambat laun akan menjadi standar sekaligus aturan. Konsekuensi logisnya adalah hal tersebut kini menjangkiti hampir seluruh aksi demonstrasi.

Seperti yang digambarkan Arendt dalam bukunya yang berjudul Eichmann in Jerusalam, A Report on the Banality of Evil; bahwa ketika seseorang terjangkiti banality of evil, indikasi sederhananya bukanlah dari tampang yang seram atau bahkan berperangai seperti iblis, satu satunya hal yang kurang dari mereka(pelaku) adalah imajinasi, sama seperti eichmann. Mereka bukan orang yang bodoh Yang menjadi “penyakit” utamanya adalah ketidakberpikiran. Tidak berpikir berbeda sama sekali dengan bodoh. 

Orang bisa saja amat cerdas, namun tak menggunakan kecerdasannya itu secara maksimal untuk berpikir secara menyeluruh, berpikir secara sistemik (bukan sistematis).  Dan karena tak berpikir, ia seringkali tak sadar, bahwa tindakannya itu merupakan suatu kejahatan brutal. Maka salah satu hal mendasar yang dibutuhkan untuk menjadi penjahat brutal adalah ketidakberpikiran.

Ketidakberpikiran membuat suatu tindakan menjadi terasa wajar, termasuk tindakan yang mengerikan. Orang-orang biasa seperti Eichmann bukanlah orang jahat atau kejam. Banyak orang menganggap bahwa pelaku kejahatan brutal adalah penjelmaan setan. Wajahnya pasti sangar. Matanya kejam. Badannya besar. Namun faktanya tidaklah seperti itu. Sebaliknya Eichmann adalah orang biasa, cerdas, dan patuh. Tidak ada niat jahat ataupun kejam di dalam dirinya. 

“Ketercabutan dari realitas semacam itu dan ketidakberpikiran semacam itu”, demikian tulis Arendt, “dapat jauh lebih merusak dari semua insting jahat dijadikan satu.. dan semua ini ada di dalam diri manusia.” Inilah yang kiranya menjadi pelajaran dari pengadilan Eichmann di Yerusalem, sebagaimana dianalisis oleh Arendt. Ketidakberpikiran adalah sisi gelap manusia yang menjadi sumber dari lahirnya kejahatan. Inilah kejahatan khas abad keduapuluh yang, menurut Arendt, tidak pernah ditemukan sebelumnya. Saya yakin banyak orang seperti Eichmann. Mereka bukan orang gila. Mereka bukan orang kejam. Mereka hanyalah orang-orang yang amat normal, dan karena normalitasnya, mereka menjadi menakutkan. Mereka adalah orang-orang yang tak berpikir.

Sebuah refleksi atas semua kegaduhan dalam berbagai kebijakan sensasional ala orde paling baru

Setelah pemaparan diatas, bahwa relevansi eichmann dan indonesia hari tentunya sangat banyak memiliki kesamaan. Bagaimana kita bisa melihat sendiri dengan mata kepala kita, bahwa segala kebijakan yang dilontarkan oleh pemerintahan hari terkesan seperti tidak memiliki kepedulian terhadap warga negaranya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun