Bagaimana tidak, dimulai dari presiden sebagai primus interpares yang tentunya memiliki state apparatuse dan semua resource yang dia bisa akses dan semua aparatur pemerintahan yang mempunyai akses terhadap semua kebijakan yang ada di negeri ini.
 Hal-hal semacam minyak yang menjadi salah satu bahan pokok untuk warga negara kita malah hal tersebut awalnya menjadi langka, kemudian harganya menjadi tidak masuk akal, lalu kenaikan bbm pertamax, bukan maksud membela kaum kaya. Tapi dengan naiknya pertamax, bbm pertalite pun ikut langka, dan siapa yang menjadi korban?Â
Ya tentunya masyarakat kecil lagi. Ditambah lagi ditengah-tengah  krisis covid yang belum selesai pemerintah malah ingin memindahkan ibu kota dengan Ruu IKN nya yang mana hal tersebut tentunya seperti tidak memiliki sense priority terhadap penderitaan rakyat hari ini.Â
Bak seperti terjatuh tangga lalu tertiban batu, lagi-lagi masyarakat indonesia hari harus kembali bergelut dengan opini konyol yang dilontarkan mentri dan para elite politik tentang perpanjangan periode presiden, bukan masalah undang-undangnya bisa di amandemen atau hal-hal lainnya seperti yang diungkap salah satu mentri, tapi apakah wacana perpanjangan periode presiden  tanpa mekanisme pemilihan yang melibatkan rakyat sebagai simbol dari demokrasi ini merupakan salah satu pengkhianatan terhadap rakyat juga?Â
Ini bukan hal yang sederhana, karena jika hal tersebut benar-benar terealisasi maka pemerintahan hari ini bukan hanya mengkhianati demokrasi tapi mengesampingkan moral force. Disamping  itu, ada kabar baik bahwa undang-undang tindak pidana kekerasan seksual telah resmi disahkan oleh Dpr, tapi butuh kurun waktu kurang lebih 10 tahun untuk membuat uu itu sah! Apakah itu salah? Tentu tidak, tapi terkesan membuat pelanggaran kekerasan seksual menjadi sesuatu yang biasa saja(banal).Â
Dari semua rentetan tersebut saya kira banality of evil dalam kebijakan pemerintahan hari ini sangat jelas. Dimana pemerintahan hari membuat suatu kebijakan yang pada akhirnya merugikan rakyat itu sendiri dan alhasil hal tersebut menjadi biasa saja(banal).Â
Karena apa? Lewat mob rule aristoteles kita bisa bahwa bahwa ukuran suatu kebenaran adalah banyaknya orang melakukan suatu hal yang lambat laun akan menjadi standar sekaligus aturan. Hal tersebut menjadi gambaran akan indonesia hari ini, seperti pepatah, seekor monyet ingin menyelamatkan ikan yang dia kita tenggelam, namun setelah menolong ikan yang tenggelam, ikan tersebut mati karena habitatnya memang dalam air. Maksud hati mungkin ini menolong, namun secara mekanisme dan rule of law malah mencekik. Itulah realita yang terjadi hari ini!
Lantas apa yang harus kita lakukan? Jika kita berpijak pada pandangan Arendt dalam 2 bukunya yang berjudul the human condition dan reflection on violence, bahwa kita harus melakukan vita activa kerja, karya dan aksi. Ia memberikan kerangka antropologisfenomenologis yang menunjukkan aspek-aspek kondisi manusia yang berkaitan dengan vita activa (kehidupan aktif)  Arendt mengungkapkan tiga  hal yang saling berkaitan: pelbagai kondisi, aktivitas dan wilayah vita activa.Â
Pelbagai kondisi yang ia identifikasi adalah: bumi, kehidupan, keduniawianpluralitas, kelahiran dan kematian. Aktivitasnya adalah kerja, karya dan aksi. Sedang wilayah vita activa adalah ruang publik dan ruang privat. Kehidupan merupakan kondisi yang terkait dengan kerja, keduniawian berkaitan dengan karya dan pluralitas berkaitan dengan aksi. Ketiga aktivitas ini, kerja, karya, aksi, pada gilirannya terkait dengan kondisi eksistensi manusia yang paling umum: kelahiran dan kematian.
Ketiga aktivitas tersebut bersifat otonom, dalam arti memiliki prinsip sendiri dan wujud yang dapat dinilai dengan kriteria yang berbeda. Kerja dinilai dari kemampuannya menopang hidup manusia, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan reproduksi biologis.Â
Sedangkan karya dinilai dari kemampuannya untuk membangun dan mempertahankan dunia sesuai dengan manfaat dan kesenangan manusia. Sedang aksi dinilai dari kemampuannya untuk memperlihatkan identitas  pelaku untuk menegaskan realitas dunia, mengaktualisasikan kebebasan manusia, dan memberi makna eksistensi manusia.  Arendt menganggap tiga aktivitas tersebut memiliki nilai penting bagi kesempurnaan hidup manusia, dalam pengertian bahwa  masing-masing memberi kontribusi dalam merealisasikan kapasitas manusia dengan cara khasnya.