Salah satu tulisannya yang populer ialah Eichmann in Jerusalam, A Report on the Banality of Evil yang merupakan sebuah reportase mendalam terhadap persidangan Eichmannn yang merupakan salah satu aktor kejahatan hak asasi manusia atas tragedi pembantaian orang yahudi(holocaust).
Dalam publikasi hasil laporan terhadap sidang tersebut yang diterbitkan pada 1963 dengan judul Eichmann in Jerusalam, A Report on the Banality of Evil, Arendt sangat terkejut bahwa ternyata sosok dari Eichmann, sebagai salah satu penjahat perang dunia kedua ini adalah orang biasa yang sama sekali tak tampak kejam, sebaliknya dia adalah warga negara yang taat hukum.
Tidak ada tanda-tanda kejahatan dalam dirinya. Ia hanya menjawab pertanyaan dengan baik dan normatif. Rasanya benar seperti yang diungkapkan benhabib bahwa pikiran yang kejam tidak diperlukan untuk melakukan suatu kejahatan yang brutal. Kejahatan yang brutal bisa mengambil rupa wajah orang baik-baik, orang-orang biasa.
Sampai disini mungkin kawan-kawan masih bingung, lagi-lagi kenapa harus Eichmann yang harus menjadi analogi dalam keadaan indonesia hari ini.Â
Sederhananya begini, sosok Eichmann yang digambarkan arendt dalam publikasinya tentu mengagetkan banyak pihak yang membacanya, mungkin stigma sebagian masyakarat terkait "penjahat adalah orang yang bertato, yang mempunyai tampang seram dan yang paling intinya adalah urakan.Â
Sebetulnya perlu kita sadari dan renungi baik-baik bahwa standar tersebut sudah sangat usang bahkan mungkin primitif. Mari kita ingat baik-baik dari zaman dahulu hingga sekarang, siapa yang paling merugikan masyarakat indonesia? Tidak jauh dan tidak bukan adalah para pemangku kebijakan.Â
Kita bisa ingat baik-baik bagaimana lolosnya Ruu yang kemudian menjadi UU dimalam hari dan lain-lain. Sekali lagi saya mengutip benhabib bahwa pikiran yang kejam tidak diperlukan untuk melakukan suatu kejahatan yang brutal. Kejahatan yang brutal bisa mengambil rupa wajah orang baik-baik, orang-orang biasa. Hal tersebut benar adanya dan banyak!
Tapi bukan berarti hal tersebut menjadi glorifikasi, tentu tidak kawan. Hal tersebut hanya menjadi pengingat saja bahwa hal tersebut cenderung lumrah di negara kita ini.Â
Banality of Evil dalam konteks indonesia hari ini
Banality of Evil atau banalitas kejahatan yakni suatu situasi, dimana kejahatan tidak lagi dirasa sebagai kejahatan, tetapi sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, sesuatu yang wajar.
Pada dasarnya hal tersebut adalah satu gambaran dimana manusia secara antusias dan sukarela ikut andil dan terlibat dalam kasus tertentu, mari kita ambil seperti contoh kasus pemangkasan vonis koruptor. Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2019-2020 terdapat 134 terdakwa korupsi dibebaskan atau dipangkas hukumannya melalui kasasi atau peninjauan kembali di MA.Â
ICW juga merata-ratakan vonis yang diberikan koruptor hanya sekitar hukuman 3 tahun 6 bulan penjara, tergolong vonis ringan. Berikut adalah beberapa nama yang dipangkas masa tahanannya oleh mahkamah agung dan pengadilan tinggi: Â mulai dari Djoko Tjandra yang dikabulkan bandingnya oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dan memberikan potongan hukuman 1 tahun atas kasus penghapusan red notice dan pengurusan fatwa MA yang semula 4,5 tahun menjadi 3,5 tahun penjara. ,Â