"Saya dulu !" seru Parjan memburu.
Parjan segera naik ke panggung gubuk itu penuh nafsu. Peristiwa terjadi luar biasa, wanita itu tiba-tiba hilang dalam sekejap. Terdengar di tempat itu jeritan dan tangisan yang melengking-lengking. Terlihat di gubuk itu sebuah glondongan kayu tua yang tergeletak sudah cukup lama. Ketiga lelaki itu terperangkap kaku tidak bisa bergerak dan berkata-kata. Mereka berusaha memakai celananya, lalu berlarian tunggang langgang di tengah gelap menjelang waktu maghrib itu.
Selang tiga hari berikutnya mereka bermain ke rumah bu Prawiro di kampung sebelah.
"Tumben main ke sini !" sambut bu Prawiro.
"Iya bu, silaturahmi !" jawab Parjan.
"Apakah ibu mempunyai saudara perempuan di Jakarta ?" tanya Kirno.
"Mengapa kau tanyakan itu ?" tanya bu Prawiro keheranan.
"Tidak apa-apa, hanya ingin tahu aja !" jawab Parjan.
"Ya punya satu saudara perempuan, tetapi sudah meninggal satu bulan lalu !" jawab bu Prawiro agak sedih.
"Sakit apa bu, kok meninggal ?" tanya Parman.
"Ia bunuh diri dengan cara meloncat saat naik kereta api. Itu disebabkan karena ia merasa hidupnya seakan tidak berguna lagi. Ia selalu disingkiri dan dicemooh oleh banyak orang. Ia positif terkena virus HIV, sakit AIDS !" cerita bu Prawiro runtut. Matanya pun berkaca- kaca menahan tangis.