Mohon tunggu...
Sulfiza Ariska
Sulfiza Ariska Mohon Tunggu... Penulis - Halo, saudara-saudara sedunia. Apa kabarmu? Semoga kebaikan selalu menyertai KITA.

Penulis penuh waktu. Lahir di Sumatera Barat dan berkarya di Yogya. Emerging Writer "Ubud Writers and Readers Festival" ke-11. E-mail: sulfiza.ariska@gmail.com IG: @sulfiza_indonesia Twitter: Sulfiza_A

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Revitalisasi Bumi Teater di Era Revolusi Industri 4.0

22 November 2019   23:21 Diperbarui: 25 November 2019   06:39 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pementasan Anggun Nan Tongga karya dan sutradara Wisran Hadi di Taman Ismalil Marzuki Jakarta pada 1994. (Foto: Dok. Bumi)

Perdebatan penghulu dan keponakannya. Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=wU5BdrSdVvE
Perdebatan penghulu dan keponakannya. Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=wU5BdrSdVvE
Posisi penghulu dalam Wayang Padang merupakan representasi dari pihak pemilik hak otoritas atas adat-istiadat, tetapi menggunakan otoritasnya untuk kepentingan keluarga yang menimbulkan dampak negatif pada petani. Mengapa dia harus menjual harta pusaka? Bukan harta yang lain? Bukankah dalam adat-istiadat Minang terdapat atauran adat ‘Adat basandi syara’ dan ‘Syara’ bersimpul mati, adat bersimpul tarik’? Hal ini menegaskan bahwa bila aturan adat menyulitkan—sepanjang tidak melanggar syara’—sebuah perbuatan, pilihan, atau kebijakan bisa diselenggarakan.

Walaupun Wisran Hadi berkarya—ataupun berdirinya Bumi Teater—jauh sebelum konsepsi CCF digagas, citra CCF sangat kental dalam karya-karyanya yang dipentaskan Bumi Teater. Karya-karya Wisran Hadi selalu anti-mainstream dan mengusik zona nyaman akal sehat masyarakat khususnya masyarakat Minang.     

Cross Cultural Fertilization (CCF) atau Penyerbukan Silang Antarbudaya merupakan gagasan Eddie Lembong. Secara sederhana, CCF dapat didefiniskan sebagai strategi untuk mengadopsi budaya-budaya unggul dari ‘luar negeri’ atau ‘luar budaya kita’ untuk diserbukkan dengan budaya unggul kita.

Wisran Hadi tampaknya memang tidak pernah membicarakan CCF. Tetapi, karyanya mengandung mekanisme CCF. Dalam artian, Wisran Hadi berani mengadopsi seluruh ilmu pengetahuan dan seni yang bisa menyuburkan karyanya terutama teater. Wisran Hadi tidak membatasi latar belakang materi yang diadopsi. Sepanjang materi tersebut bermanfaat—meski berasal dari tatanan kultural yang berseberangan dengan tradisi Minang, Wisran Hadi tidak akan segan-segan mengadopsinya dan menjadikannya sebagai materi unggulan untuk berkarya.

Tidak hanya mengadopsi budaya unggul dari tatanan kultural yang berseberangan jauh dengan budaya Minang, Wisran Hadi juga tidak segan-segan merekonstruksi terhadap tradisi Minang yang diagung-agungkan masyarakat tradisional Minang. Selama berkarya, Wisran Hadi setia menggugat zona nyaman masyarakat. Karya-karya Wisran Hadi selalu mengobrak-abrik nilai-nilai yang mengingat masyarakat Minang secara komunal. Karya-karya Wisran Hadi merepresentasikan upaya pembebasan ‘mindset’  dari kesadaran primordial menuju kesadaran universal.    

Jauh sebelum munculnya Wayang Padang, Wisran Hadi telah mengguncang masyarakat tradisional Minang melalui Malin Kundang yang dipentaskan Bumi Teater tahun 1978. Berbeda dengan legenda yang dipercaya masyarakat trdisional Minang yang menempatkan Malin Kundang sebagai anak durhaka. Alih-alih Malin Kundang menjadi pibadi yang berbakti dalam teater yang dipentaskan atas karya Wisran Hadi.

Malin Kundang karya Wisran Hadi yang dipentaskan Teater Langkah dalam Festival Nasional Wisran Hadi 2018. Sumber: padangkita.com
Malin Kundang karya Wisran Hadi yang dipentaskan Teater Langkah dalam Festival Nasional Wisran Hadi 2018. Sumber: padangkita.com
Dan, bila kita renungkan lebih dalam, Malin Kundang merupakan sebuah legenda yang sarat dengan kekejaman dan tidak layak bagi pertumbuhan mindset anak. Legenda ini rentan menempatkan orangtua menjadi pribadi yang feodal dan berkuasa atas anaknya. Begitu anak tidak bertindak sesuai ekspekstasi orangtua, maka anak tersebut langsung mendapat label ‘durhaka’. Bahkan, anak tersebut ditakut-takuti dengan kutukan menjadi batu sebagaimana Malin Kundang dikutuk ibunya menjadi batu. Apakah layak seorang ibu (orangtua) yang mengutuk anaknya menjadi batu layak dinilai sebagai seorang ibu (orangtua) yang baik?

Revitalisasi Bumi Teater 

Sejak reduksi ilmu pengetahun dari filsafat di awal abad ke-18, seluruh cabang sains di bidang seni berada di zona tidak nyaman, termasuk teater. Teater yang semulanya mendapatkan tempat-tempat terhormat di panggung-panggung kerajaan--termasuk teater Era Yunani Kuno yang dikukuhkan dengan penyelenggaraan Festival Dionysia dan teater Era Kejayaan Romawi yang memengaruhi Zaman Renaissance--mengalami penyempitan definisi yang tidak menguntungkan. 

Di mana teater tidak lebih sekadar seni pertunjukan yang bersifat hiburan dan fiktif. Para tokoh teater yang semulanya mendapat ruang khusus di kerajaan-kerajaan, tersingkir menjadi 'seniman' yang cenderung sulit untuk hidup layak dan sejahtera.   

Di Indonesia Era Pra Kemerdekaan, teater semulanya juga mendapat tempat terhormat. Penyelenggaraannya berfungsi sebagai wahana komunikasi sosial dan medium yang memelihara ilmu pengetahuan (kearifan lokal) dalam memori kolektif masyarakat. Melalui penyelengaraan teater, masyarakat bisa bersosialisasi, saling berinteraksi, dan menguatkan ikatan bantiniah komunal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun