Walaupun Wisran Hadi berkarya—ataupun berdirinya Bumi Teater—jauh sebelum konsepsi CCF digagas, citra CCF sangat kental dalam karya-karyanya yang dipentaskan Bumi Teater. Karya-karya Wisran Hadi selalu anti-mainstream dan mengusik zona nyaman akal sehat masyarakat khususnya masyarakat Minang.   Â
Cross Cultural Fertilization (CCF) atau Penyerbukan Silang Antarbudaya merupakan gagasan Eddie Lembong. Secara sederhana, CCF dapat didefiniskan sebagai strategi untuk mengadopsi budaya-budaya unggul dari ‘luar negeri’ atau ‘luar budaya kita’ untuk diserbukkan dengan budaya unggul kita.
Wisran Hadi tampaknya memang tidak pernah membicarakan CCF. Tetapi, karyanya mengandung mekanisme CCF. Dalam artian, Wisran Hadi berani mengadopsi seluruh ilmu pengetahuan dan seni yang bisa menyuburkan karyanya terutama teater. Wisran Hadi tidak membatasi latar belakang materi yang diadopsi. Sepanjang materi tersebut bermanfaat—meski berasal dari tatanan kultural yang berseberangan dengan tradisi Minang, Wisran Hadi tidak akan segan-segan mengadopsinya dan menjadikannya sebagai materi unggulan untuk berkarya.
Tidak hanya mengadopsi budaya unggul dari tatanan kultural yang berseberangan jauh dengan budaya Minang, Wisran Hadi juga tidak segan-segan merekonstruksi terhadap tradisi Minang yang diagung-agungkan masyarakat tradisional Minang. Selama berkarya, Wisran Hadi setia menggugat zona nyaman masyarakat. Karya-karya Wisran Hadi selalu mengobrak-abrik nilai-nilai yang mengingat masyarakat Minang secara komunal. Karya-karya Wisran Hadi merepresentasikan upaya pembebasan ‘mindset’  dari kesadaran primordial menuju kesadaran universal.  Â
Jauh sebelum munculnya Wayang Padang, Wisran Hadi telah mengguncang masyarakat tradisional Minang melalui Malin Kundang yang dipentaskan Bumi Teater tahun 1978. Berbeda dengan legenda yang dipercaya masyarakat trdisional Minang yang menempatkan Malin Kundang sebagai anak durhaka. Alih-alih Malin Kundang menjadi pibadi yang berbakti dalam teater yang dipentaskan atas karya Wisran Hadi.
Revitalisasi Bumi TeaterÂ
Sejak reduksi ilmu pengetahun dari filsafat di awal abad ke-18, seluruh cabang sains di bidang seni berada di zona tidak nyaman, termasuk teater. Teater yang semulanya mendapatkan tempat-tempat terhormat di panggung-panggung kerajaan--termasuk teater Era Yunani Kuno yang dikukuhkan dengan penyelenggaraan Festival Dionysia dan teater Era Kejayaan Romawi yang memengaruhi Zaman Renaissance--mengalami penyempitan definisi yang tidak menguntungkan.Â
Di mana teater tidak lebih sekadar seni pertunjukan yang bersifat hiburan dan fiktif. Para tokoh teater yang semulanya mendapat ruang khusus di kerajaan-kerajaan, tersingkir menjadi 'seniman' yang cenderung sulit untuk hidup layak dan sejahtera. Â Â
Di Indonesia Era Pra Kemerdekaan, teater semulanya juga mendapat tempat terhormat. Penyelenggaraannya berfungsi sebagai wahana komunikasi sosial dan medium yang memelihara ilmu pengetahuan (kearifan lokal) dalam memori kolektif masyarakat. Melalui penyelengaraan teater, masyarakat bisa bersosialisasi, saling berinteraksi, dan menguatkan ikatan bantiniah komunal.