Isu-isu yang diangkat Bumi Teater sarat dengan pergulatan manusia dalam meneguhkan kesadaran eksistensial dan upaya menyikapi perubahan abadi. Dengan demikian, kiprah Bumi Teater berupaya menjadikan teater sebagai medium untuk mengaktifkan dan merawat akal sehat masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Minangkabau.
Â
Tidak hanya menimbulkan reaksi emosional, kasus tersebut menyeret pengurus Bumi Teater untuk disidang di LKKAM Padang. Tanpa keahlian dan keluasan pemikiran yang mumpuni, Bumi Teater tidak akan berumur panjang atau padam pada tahun yang sama dengan tahun berdirinya.
Dari Bumi Teater, lahir pula Bumi Seni Rupa (19 November 1976) yang menjaga gawang seni rupa (seni lukis) dan Bumi Sastra (2 Mei 1977) untuk gawang susastra (penulisan kreatif, linguistik, kritik sastra, dan sebagainya). Selanjutnya, lahir pula Bumi Pustaka (1 Februari 1978) di bidang literatur, pengarsipan, dan perpustakaan. Perubahan positif tersebut mengubah nama Bumi Teater menjadi BUMI (teater, senirupa, sastra). Pada 29 Mei 1983, berdasarkan kesepakatan bersama, BUMI (teater, senirupa, sastra) dikukuhkan sebagai Yayasan BUMI. Â
Dalam rentang tahun 1976-1981, Bumi Teater melahirkan sutradara-sutradara yang sangat potensial. Mulai dari A Alin De, Agusfian Iskandar, Armeynd Sufhasril, Asbon Budinan Haza, Aswendi Dahrir, Darvies Rasjidin, Desvita Wardini, Edi Aspar, Edy Utama, Herisman Is, Indra Nara Persada, Muhammad Ibrahim Ilyas, Raffendie Sanjaya, Rizal Tanjung, Syarifuddin Arifin, Zaifan Merry, dan Zirmayanto. Syafril Prel T, Yusril Katil, S Metron Masdison, dan Joe Mirsal (Yumirsal) mencuat pada rentang tahun 1990-2000.
Selanjutnya, Bumi Teater tumbuh terus berkembang dan melintasi gelombang zaman. Sejak tahun 1976 sampai tahun 2006, lebih dari 60 kali pementasan yang berhasil digelar Bumi Teater. Beberapa kali muncul masa vakum dan bersinar kembali. Misalnya, Bumi Teater mengalami kemunduran produktivitas rentang tahun 'akhir 1999 sampai 2005'. Tetapi, kemunduran produktivitas tersebut dipecahkan pementasan Wayang Padang yang diangkat dari karya Wisran Hadi. Â Â Â Â
Bila dicermati, salah satu penyebab maju-mundur produktivitas Bumi Teater adalah berkurangnya pengurus atau anggota yang potensial. Sebagian mengundurkan diri untuk membangun ruang seni yang menjadi minat khusus masing-masing, seperti Armeynd Sufhasril (bersama Suhardiman Jipit, Anita Dikarina, dan Yuhirman) mendirikan Gaung Ekspose Teater, S Metron Masdison yang mendirikan Ranah Teater, dan Alin yang mendirikan Sanggar Dayung-dayung.
Namun, kepulangan Wisran Hadi pada Sang Khalik pada 27 Juni 2011 tampaknya menjadi salah satu puncak krisis di tubuh Bumi Teater. Perubahan tersebut menghadirkan kekosongan di ruang Bumi Teater untuk beberapa lama. Sebab, praktisi-praktisi seni tersebut memiliki karakter (keunikan) istimewa yang tidak mudah digantikan praktisi seni yang lain, baik secara pribadi ataupun karya.
Walaupun beberapa pengurus atau anggota Bumi Teater telah berhasil mendirikan komunitas seni yang eksis, persaudaraan dan komunikasi tetap terjalin, terutama melalui media sosial. Jalinan tersebut membuat komunitas-komunitas seni yang mereka dirikan seolah cabang-cabang dari Bumi Teater. Tidak jarang komunitas-komunitas seni dan praktisi seni yang berakar di BUMI (sastra, senirupa, teater) mengadakan pementasan bersama seperti penyelenggaraan Festival Bumi. Â Â Â