Mohon tunggu...
Sulfiza Ariska
Sulfiza Ariska Mohon Tunggu... Penulis - Halo, saudara-saudara sedunia. Apa kabarmu? Semoga kebaikan selalu menyertai KITA.

Penulis penuh waktu. Lahir di Sumatera Barat dan berkarya di Yogya. Emerging Writer "Ubud Writers and Readers Festival" ke-11. E-mail: sulfiza.ariska@gmail.com IG: @sulfiza_indonesia Twitter: Sulfiza_A

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Revitalisasi Bumi Teater di Era Revolusi Industri 4.0

22 November 2019   23:21 Diperbarui: 25 November 2019   06:39 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pementasan Anggun Nan Tongga karya dan sutradara Wisran Hadi di Taman Ismalil Marzuki Jakarta pada 1994. (Foto: Dok. Bumi)

Bismillahirrahmanirrahim

 Kehadiran kami bukanlah sesuatu yang besar dalam seluruh pengertiannya, dan dari sesuatu yang hadir janganlah banyak mengharap karena mungkin dia tidak mampu memberikan apa-apa. Hanya kehadiran kami akan membuka kemungkinan lagi, apakah kami dapat hadir dalam kehidupan bersama.

Dan bila kami tidak sanggup menghadirkan diri, ini berarti bahwa yang salah adalah niat kami yang mungkin terlalu besar buat dilaksanakan oleh daya hidup kami yang rapuh.

Nafas kami adalah nafas alam. Artinya, kami berusaha menghayati dan memaknai kehidupan di dalam dan di luar diri kami, kemudian menurut kesanggupan kami dan kesempatan yang ada pada kami menyajikan kepada anda untuk sama-sama kita mengarifi makna-makna dari kehidupan ini.

Teater kami adalah teater yang berpijak dan tumbuh di bumi. Tidak ada alasan sedikit pun buat kami mencari bumi yang lain untuk tempat bertolak.

Pertanggungan jawab dari corak dan gaya penyampaian serta sikap, adalah pada Allah subhanahu wata'ala. Karena kami percaya bahwa bumi tempat teater berpijak adalah bumi yang dititipkan Allah pada kami.


Manifes Bumi Teater, Padang, Januari 1976

 

BUMI TEATER merupakan anugerah bagi masyarakat Indonesia khususnya Sumatera Barat. Di bawah payung Bumi Teater, 'seni' khususnya 'teater' memperoleh tempat yang terhormat. Berjejer praktisi seni multidisiplin mengobarkan nyala api seni di Bumi Teater. 

Berkat kiprah Bumi Teater, teater tidak lagi bersifat alternatif hiburan; tetapi menjadi seni unggulan yang menuntun masyarakat untuk membentangkan imajinasi, merekonstruksi mindset hasil bentukan nilai-nilai usang, menyuburkan kesadaran kosmis, mengkritisi adat-istiadat yang kaku, dan menertawakan kehidupan.

Sementara itu, perubahan signifikan tengah terjadi di Era Revolusi Industri 4.0. Teknologi digital menjajah seluruh ruang kehidupan, termasuk ruang-ruang dunia seni di Indonesia. Teknologi digital mengakibatkan dunia banjir informasi, termasuk informasi hiburan.

Sebagai cabang seni yang rentan dinilai sebagai 'hiburan', eksistensi teater sangat terancam redup dan padam di Era Revolusi Industri 4.0. Melalui teknologi digital, jutaan informasi hiburan menyerbu dunia virtual, sehingga membuat masyarakat rentan kebingungan untuk memilih jenis hiburan. Tanpa peran aktif praktisi seni multidisiplin dalam pengembangan teater dengan pemanfaatan teknologi digital; api seni akan redup, sulit menerangi peradaban, dan tersingkir dari panggung kehidupan.

Revitalisasi Bumi Teater bisa menjadi katalisator penting untuk menghidupkan nyala api seni di Era Revolusi Industri 4.0. Bumi Teater dapat mempelopori upaya-upaya untuk meningkatkan nilai jual teater melalui pemanfaatan teknologi digital. Dengan jalan ini, teater khususnya teater-teater yang berakar di Bumi Teater atau lazim disebut "Anak-anak Bumi", bisa memiliki eksistensi yang kokoh dan tetap berada di tempat yang terhormat di Era Revolusi Industri 4.0.        

     

Kiprah Bumi Teater

Bumi Teater berdiri pada 10 November 1976 di Padang. Peresmian Bumi Teater dikukuhkan pementasan Gaung karya/sutradara Wisran Hadi, dramatisasi puisi Zikrullah karya Hamid Jabbar, pembacaan puisi oleh Raudha Thaib dan Abrar Yusra, serta penampilan musik "Trio Keluarga Adam" untuk mengenang 5 tahun kepulangan Hoerijah Adam ke keabadian.  

Pementasan Bumi Teater, 'Anggun Nan Tongga' karya dan sutradara Wisran Hadi di Kuala Lumpur pada 1983. (Foto: Dok. Bumi)
Pementasan Bumi Teater, 'Anggun Nan Tongga' karya dan sutradara Wisran Hadi di Kuala Lumpur pada 1983. (Foto: Dok. Bumi)
Berjejer praktisi seni multidisiplin membidani kelahiran Bumi Teater. Mulai dari Wisran Hadi (penulis naskah drama, dramawan, pelukis, cerpenis/novelis), Hamid Jabbar (penyair, cerpenis), Puti Retno Raudhatujannah Taib (Upita Agustine/Raudha Thaib) (penyair, pelukis), A. Alin De (pelukis, dramawan), dan Herisman Is (pelukis). Darman Moenir (penyair, cerpenis/novelis) dan Harris Effendi Thahar (penyair, cerpenis) menyusul di tahun 1978. Tidak hanya membidani kelahiran Bumi Teater, tetapi para praktisi seni tersebut juga menjadi pengasuh dan menetapkan Wisran Hadi sebagai ketua.  

Wisran Hadi. Sumber: id.wikipedia.org
Wisran Hadi. Sumber: id.wikipedia.org
Penetapan Wisran Hadi sebagai ketua merupakan pilihan yang sangat tepat bagi Bumi Teater. Selain memiliki pengalaman seni multidisiplin---seni rupa, sastra, dan teater---Wisran Hadi memiliki latar belakang akademis yang mumpuni di bidang seni multidisplin. Tidak hanya di Indonesia semata, tetapi Wisran Hadi juga telah menjalani studi di Amerika Serikat.   

Hamid Jabbar. Sumber: viannyvugo.blogspot.com/
Hamid Jabbar. Sumber: viannyvugo.blogspot.com/
Puti Reno Raudaltuljannah Thaib. Sumber: harianhaluan.com
Puti Reno Raudaltuljannah Thaib. Sumber: harianhaluan.com
Sejak berdiri, Bumi Teater secara konsisten menghasilkan karya-karya teater yang 'berkelas'. Tidak kurang dari 60 karya yang dipentaskan Bumi Teater. Karya-karya Wisran Hadi tumbuh subur di Bumi Teater. Tidak hanya di Padang atau Provinsi Sumatera Barat, karya-karya Wisran Hadi dipentaskan Bumi Teater di Taman Ismail Marzuki Jakarta dan kota-kota lainnya. Mulai dari Ring (1976), Malin Kundang (1978), Malin Deman (1978), Perguruan (1978), Puti Bungsu (1979), Imam Bonjol (1980), Pewaris (1981), hingga Dara Jingga (1984), Anggun Nan Tongga (1994), hingga Wayang Padang (2006). Karya-karya tersebut turut mengukuhkan eksitensi Bumi Teater di jagat teater Nasional dan melegenda di Sumatera Barat.         

Bila dicermati, arus rekonstruksi mindset tradisional yang diwariskan praktisi seni Sumatera Barat di Era Pra Kemerdekaan, sangat kuat memengaruhi karya-karya Bumi Teater. 

Isu-isu yang diangkat Bumi Teater sarat dengan pergulatan manusia dalam meneguhkan kesadaran eksistensial dan upaya menyikapi perubahan abadi. Dengan demikian, kiprah Bumi Teater berupaya menjadikan teater sebagai medium untuk mengaktifkan dan merawat akal sehat masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Minangkabau.

 

A. Alin De bersama sahabat. (Posisi Alin De, Dasri al Mubary, Abrar Khairul Ikhrima). Sumber: abrarkhairulikhirma.blogspot.com
A. Alin De bersama sahabat. (Posisi Alin De, Dasri al Mubary, Abrar Khairul Ikhrima). Sumber: abrarkhairulikhirma.blogspot.com
Nyaris seluruh karya yang dipentaskan Bumi Teater bersifat kontroversi karena mengandung gugatan terhadap adat, budaya, dan politik-kenegaraan. Masyarakat tradisional Minang menjadi sorotan penting dalam karya-karya Wisran Hadi. Beberapa karya Bumi Teater dinilai pemberontakan. Misalnya, merekonstruksi mitos Malin Kundang dari durhaka menjadi pribadi yang memiliki akhlak yang baik dan budi pekerti mulia. 

Tidak hanya menimbulkan reaksi emosional, kasus tersebut menyeret pengurus Bumi Teater untuk disidang di LKKAM Padang. Tanpa keahlian dan keluasan pemikiran yang mumpuni, Bumi Teater tidak akan berumur panjang atau padam pada tahun yang sama dengan tahun berdirinya.

Dari Bumi Teater, lahir pula Bumi Seni Rupa (19 November 1976) yang menjaga gawang seni rupa (seni lukis) dan Bumi Sastra (2 Mei 1977) untuk gawang susastra (penulisan kreatif, linguistik, kritik sastra, dan sebagainya). Selanjutnya, lahir pula Bumi Pustaka (1 Februari 1978) di bidang literatur, pengarsipan, dan perpustakaan. Perubahan positif tersebut mengubah nama Bumi Teater menjadi BUMI (teater, senirupa, sastra). Pada 29 Mei 1983, berdasarkan kesepakatan bersama, BUMI (teater, senirupa, sastra) dikukuhkan sebagai Yayasan BUMI.  

Herisman is. Sumber: facebook.com/herisman.is
Herisman is. Sumber: facebook.com/herisman.is
Bumi Teater terus melebarkan sayap dan memberdayakan praktisi-praktisi seni belia yang potensial. Para pendiri dan pengasuh Bumi Teater selalu setia berbagi ilmu dan keahlian. Wajah-wajah baru terus berdatangan di Bumi Teater dan menyemarakkan dunia Bumi Teater. Anggota yang semulanya bejumlah 30 orang meningkat secara signifikan dengan jumlah 300 orang pada 1978. Perkembangan yang menggembirakan tersebut memperlihatkan keberagaman keahlian yang dimiliki pendiri Bumi Teater, upaya untuk mengakomodasi minat spesifik para anggota, memberi rumah bagi seni multidisiplin, dan menyuburkan budaya literasi di Sumatera Barat.        

Dalam rentang tahun 1976-1981, Bumi Teater melahirkan sutradara-sutradara yang sangat potensial. Mulai dari A Alin De, Agusfian Iskandar, Armeynd Sufhasril, Asbon Budinan Haza, Aswendi Dahrir, Darvies Rasjidin, Desvita Wardini, Edi Aspar, Edy Utama, Herisman Is, Indra Nara Persada, Muhammad Ibrahim Ilyas, Raffendie Sanjaya, Rizal Tanjung, Syarifuddin Arifin, Zaifan Merry, dan Zirmayanto. Syafril Prel T, Yusril Katil, S Metron Masdison, dan Joe Mirsal (Yumirsal) mencuat pada rentang tahun 1990-2000.

Selanjutnya, Bumi Teater tumbuh terus berkembang dan melintasi gelombang zaman. Sejak tahun 1976 sampai tahun 2006, lebih dari 60 kali pementasan yang berhasil digelar Bumi Teater. Beberapa kali muncul masa vakum dan bersinar kembali. Misalnya, Bumi Teater mengalami kemunduran produktivitas rentang tahun 'akhir 1999 sampai 2005'. Tetapi, kemunduran produktivitas tersebut dipecahkan pementasan Wayang Padang yang diangkat dari karya Wisran Hadi.       

Bila dicermati, salah satu penyebab maju-mundur produktivitas Bumi Teater adalah berkurangnya pengurus atau anggota yang potensial. Sebagian mengundurkan diri untuk membangun ruang seni yang menjadi minat khusus masing-masing, seperti Armeynd Sufhasril (bersama Suhardiman Jipit, Anita Dikarina, dan Yuhirman) mendirikan Gaung Ekspose Teater, S Metron Masdison yang mendirikan Ranah Teater, dan Alin yang mendirikan Sanggar Dayung-dayung.

Namun, kepulangan Wisran Hadi pada Sang Khalik pada 27 Juni 2011 tampaknya menjadi salah satu puncak krisis di tubuh Bumi Teater. Perubahan tersebut menghadirkan kekosongan di ruang Bumi Teater untuk beberapa lama. Sebab, praktisi-praktisi seni tersebut memiliki karakter (keunikan) istimewa yang tidak mudah digantikan praktisi seni yang lain, baik secara pribadi ataupun karya.

Walaupun beberapa pengurus atau anggota Bumi Teater telah berhasil mendirikan komunitas seni yang eksis, persaudaraan dan komunikasi tetap terjalin, terutama melalui media sosial. Jalinan tersebut membuat komunitas-komunitas seni yang mereka dirikan seolah cabang-cabang dari Bumi Teater. Tidak jarang komunitas-komunitas seni dan praktisi seni yang berakar di BUMI (sastra, senirupa, teater) mengadakan pementasan bersama seperti penyelenggaraan Festival Bumi.     

Pasang-surut gelombang seni tidak menyebabkan Bumi Teater turut tenggelam. Karya-karya Bumi Teater terus ditunggu dan mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia khususnya Sumatera Barat. Potensi Bumi Teater sebaiknya dirawat dan dipelihara dengan serius, terutama dalam meningkatkan nilai ekonomi teater. Agar teater menjadi seni unggulan yang bisa menghidupi kehidupan para praktisinya (pengurus/anggota) dan tidak tersingkir dari panggung Revolusi Industri 4.0.                     

 

Citra Cross Cultural Fertilization dan Rekonstruksi Tradisi dalam Karya Wisran Hadi 

 

Menjauhlah!

Menjauhlah para penjarah, pemecah-belah, dan pengabur sejarah....

— Fragmen narasi Wayang Padang karya Wisran Hadi 


Setelah vakum selama tujuh tahun, Bumi Teater berhasil mementasakan Wayang Padang pada tahun 2006. Wayang sangat identik dengan kesenian yang berakar dari budaya Jawa dan tidak populer dalam masyarakat masyarakat Minang. Dalam ribuan etnis di Indonesia, etnis Minang ikatan primordial yang sangat erat dan rentan menolak invansi yang disertai dominasi budaya lain, termasuk budaya tradisional Jawa. Berdasarkan silsilah sejarah dominasi Jawa terhadap Minang, pementasan Wayang Padang layak untuk ditentang pementasannya khusunya di Padang.  

Pementasan Wayang Padang. Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=wU5BdrSdVvE
Pementasan Wayang Padang. Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=wU5BdrSdVvE
Realitasnya, Wayang Padang dipentaskan Bumi Teater tampil memukau penonton di Taman Budaya Padang pada 3 Juli 2006. Selanjutnya, Wayang Padang dipentaskan di Taman Ismail Marzuki 14-16 Juli 2006. Karya ini semakin mengukuhkan kontrubusi besar Wisran Hadi dalam Cross Cultural Fertilization di dunia teater.      



Wayang Padang berkisah tentang seorang penghulu yang menjual tanah pusaka--berupa persawahan mencakup sawah, air, dan pasir karena beban utang yang semakin tidak terpikul--untuk mendapatkan uang pembeli (uang jemputan) pria bagi keponakan perempuannya yang menjadi perempuan penunggu tanah pusaka. Uang jemputan merupakan salah satu adat yang masih bertahan di Sumatera Barat khususnya daerah Pariaman. Di sisi lain, menjaga harta pusaka (tanah pusaka) merupakan kewajiban dan tidak boleh dijual.       

Petani bersama orang-orangan sawah dalam Wayang Padang. Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=wU5BdrSdVvE
Petani bersama orang-orangan sawah dalam Wayang Padang. Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=wU5BdrSdVvE
Wujud wayang dalam pementasan Wayang Padang tidak berupa wayang yang telah menjadi konvensi Jawa seperti wayang golek atau wayang kulit; tetapi muncul sebagai orang-orangan sawah dengan kepala dari balon yang diberi kemeja dengan rangka dari bambu—tanpa sarung yang disampurkan. Selain itu, muncul pula burung-burung berupa aktris dengan kostum daun-daun pisang, serta petani berupa kerangka bambu dengan kepala balon yang dilengkapi pakaian berupa kemeja bersampirkan sarung. Peran wayang dimainkan aktor-aktor yang bertindak sebagai dalang atau pemeraga wayang.        

Burung-burung dalam Wayang Padang. Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=wU5BdrSdVvE
Burung-burung dalam Wayang Padang. Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=wU5BdrSdVvE
Dalam kisah yang dipaparkan Wayang Padang, petani mengalami kebingungan dan kebimbangan. Mereka dihadapkan dua pilihan yang sama beratnya: memihak penghulu yang akan menjual tanah pusaka untuk menjalankan adat ‘uang jemputan’ atau memihak perempuan yang menjaga tanah pusaka. Kedua pilihan tersebut semakin berat karena sama-sama mengatasnamakan adat. Otoritas penghulu yang dominan; mendorong petani untuk mencari kehidupan baru dan tanah pusaka yang baru. Akhirnya petani menyadari bahwa keberadaan mereka akan selalu terombang-ambing antara harapan untuk tanah pusaka yang baru dan dorongan untuk mempertahankan tanah pusaka.  

Perdebatan penghulu dan keponakannya. Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=wU5BdrSdVvE
Perdebatan penghulu dan keponakannya. Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=wU5BdrSdVvE
Posisi penghulu dalam Wayang Padang merupakan representasi dari pihak pemilik hak otoritas atas adat-istiadat, tetapi menggunakan otoritasnya untuk kepentingan keluarga yang menimbulkan dampak negatif pada petani. Mengapa dia harus menjual harta pusaka? Bukan harta yang lain? Bukankah dalam adat-istiadat Minang terdapat atauran adat ‘Adat basandi syara’ dan ‘Syara’ bersimpul mati, adat bersimpul tarik’? Hal ini menegaskan bahwa bila aturan adat menyulitkan—sepanjang tidak melanggar syara’—sebuah perbuatan, pilihan, atau kebijakan bisa diselenggarakan.

Walaupun Wisran Hadi berkarya—ataupun berdirinya Bumi Teater—jauh sebelum konsepsi CCF digagas, citra CCF sangat kental dalam karya-karyanya yang dipentaskan Bumi Teater. Karya-karya Wisran Hadi selalu anti-mainstream dan mengusik zona nyaman akal sehat masyarakat khususnya masyarakat Minang.     

Cross Cultural Fertilization (CCF) atau Penyerbukan Silang Antarbudaya merupakan gagasan Eddie Lembong. Secara sederhana, CCF dapat didefiniskan sebagai strategi untuk mengadopsi budaya-budaya unggul dari ‘luar negeri’ atau ‘luar budaya kita’ untuk diserbukkan dengan budaya unggul kita.

Wisran Hadi tampaknya memang tidak pernah membicarakan CCF. Tetapi, karyanya mengandung mekanisme CCF. Dalam artian, Wisran Hadi berani mengadopsi seluruh ilmu pengetahuan dan seni yang bisa menyuburkan karyanya terutama teater. Wisran Hadi tidak membatasi latar belakang materi yang diadopsi. Sepanjang materi tersebut bermanfaat—meski berasal dari tatanan kultural yang berseberangan dengan tradisi Minang, Wisran Hadi tidak akan segan-segan mengadopsinya dan menjadikannya sebagai materi unggulan untuk berkarya.

Tidak hanya mengadopsi budaya unggul dari tatanan kultural yang berseberangan jauh dengan budaya Minang, Wisran Hadi juga tidak segan-segan merekonstruksi terhadap tradisi Minang yang diagung-agungkan masyarakat tradisional Minang. Selama berkarya, Wisran Hadi setia menggugat zona nyaman masyarakat. Karya-karya Wisran Hadi selalu mengobrak-abrik nilai-nilai yang mengingat masyarakat Minang secara komunal. Karya-karya Wisran Hadi merepresentasikan upaya pembebasan ‘mindset’  dari kesadaran primordial menuju kesadaran universal.    

Jauh sebelum munculnya Wayang Padang, Wisran Hadi telah mengguncang masyarakat tradisional Minang melalui Malin Kundang yang dipentaskan Bumi Teater tahun 1978. Berbeda dengan legenda yang dipercaya masyarakat trdisional Minang yang menempatkan Malin Kundang sebagai anak durhaka. Alih-alih Malin Kundang menjadi pibadi yang berbakti dalam teater yang dipentaskan atas karya Wisran Hadi.

Malin Kundang karya Wisran Hadi yang dipentaskan Teater Langkah dalam Festival Nasional Wisran Hadi 2018. Sumber: padangkita.com
Malin Kundang karya Wisran Hadi yang dipentaskan Teater Langkah dalam Festival Nasional Wisran Hadi 2018. Sumber: padangkita.com
Dan, bila kita renungkan lebih dalam, Malin Kundang merupakan sebuah legenda yang sarat dengan kekejaman dan tidak layak bagi pertumbuhan mindset anak. Legenda ini rentan menempatkan orangtua menjadi pribadi yang feodal dan berkuasa atas anaknya. Begitu anak tidak bertindak sesuai ekspekstasi orangtua, maka anak tersebut langsung mendapat label ‘durhaka’. Bahkan, anak tersebut ditakut-takuti dengan kutukan menjadi batu sebagaimana Malin Kundang dikutuk ibunya menjadi batu. Apakah layak seorang ibu (orangtua) yang mengutuk anaknya menjadi batu layak dinilai sebagai seorang ibu (orangtua) yang baik?

Revitalisasi Bumi Teater 

Sejak reduksi ilmu pengetahun dari filsafat di awal abad ke-18, seluruh cabang sains di bidang seni berada di zona tidak nyaman, termasuk teater. Teater yang semulanya mendapatkan tempat-tempat terhormat di panggung-panggung kerajaan--termasuk teater Era Yunani Kuno yang dikukuhkan dengan penyelenggaraan Festival Dionysia dan teater Era Kejayaan Romawi yang memengaruhi Zaman Renaissance--mengalami penyempitan definisi yang tidak menguntungkan. 

Di mana teater tidak lebih sekadar seni pertunjukan yang bersifat hiburan dan fiktif. Para tokoh teater yang semulanya mendapat ruang khusus di kerajaan-kerajaan, tersingkir menjadi 'seniman' yang cenderung sulit untuk hidup layak dan sejahtera.   

Di Indonesia Era Pra Kemerdekaan, teater semulanya juga mendapat tempat terhormat. Penyelenggaraannya berfungsi sebagai wahana komunikasi sosial dan medium yang memelihara ilmu pengetahuan (kearifan lokal) dalam memori kolektif masyarakat. Melalui penyelengaraan teater, masyarakat bisa bersosialisasi, saling berinteraksi, dan menguatkan ikatan bantiniah komunal.

Nyaris seluruh teater klasik Era Pra Kemerdekaan Indonesia menjadi ladang yang subur untuk mengukuhkan ikatan persaudaraan komunal, seperti 'randai" dalam khazanah teater tradisional Sumatera Barat. 

Dalam randai diangkat 'kaba' yang mejadi sarana pembentuk memori kolektif dan medium pembentuk proses belajar sosial (social learning process) masyarakat Minangkabau. Melalui wadah 'teater tradisional' beragam seni berkolaborasi, saling melengkapi, dan mendidik masyarakat dengan cara yang penuh adab. Berkat metode tersebut, edukasi di masa lampau menggunakan seni, bukan doktrin dan dogma yang bersifat 'memaksa untuk diterima'--sebagaimana yang kita jumpai dalam pendidikan Era Modern.

Permainan Randai (Foto: sumbar.travel)
Permainan Randai (Foto: sumbar.travel)
Pengaruh reduksi ilmu pengetahuan dari filsafat turut menggerus urgensi teater di Indonesia. Lembaga-lembaga pendidikan berlomba-lomba untuk memajukan sains di bidang ilmu-ilmu pasti, politik, kedokteran, hukum, ekonomi, dan disiplin ilmu yang mendatangkan keuntungan finansial. Tetapi, lembaga-lembaga pendidikan cenderung mengabaikan keberadaan seni khususnya teater.

Dari berbagai definisi konvensional yang menjadi dasar pendidikan seni dalam kurikulum pendidikan formal; terlihat bahwa teater sekadar seni pertunjukan yang menjadi alternatif hiburan yang bisa digantikan dengan jenis hiburan lain; sehingga teater sangat rentan mengalami kemajuan, kemunduran, timbul-tenggelam, redup-menyala, atau padam. Karena itu, para praktisi seni khususnya teater sudah sebaiknya beradaptasi dengan perkembangan zaman untuk menjaga eksistensi teater.

Bahwa di masa sekarang--meski dengan berat hati kita akui--teater harus memiliki 'daya jual'. Daya jual bukan berarti menjadikan teater ekslusif yang hanya bisa dinikmati kaum berada, tetapi menjadikan teater mandiri finansial dan memiliki dana untuk terus berkesenian. Hal ini disebabkan teater tidak selalu bisa mengandalkan pemerintah atau donasi dari donatur yang cenderung bersifat tentatif dan terbatas. 

Sementara itu, dana penyelenggaraan teater akan selalu meningkat seiring dengan peningkatan biaya hidup dari tahun ke tahun. Tanpa adanya upaya untuk membangun kemandirin finansial, teater akan sulit untuk mempertahankan eksistensi di Era Revolusi Industri 4.0.

Oleh karena itu, Bumi Teater sebagai rumah bagi seni multidisiplin di Sumatera Barat khususnya teater, sebaiknya mulai beradaptasi dengan iklim Revolusi Industri 4.0 yang  akrab dengan industri atau upaya meningkatkan teater untuk memiliki nilai ekonomi. Para praktisi seni tidak perlu mengkhawatirkan upaya ini akan menodai kemurnian dedikasi pada seni. Upaya meningkatkan nilai ekonomi teater tersebut terbatas untuk kemandirian finansial dan menjunjung etika bisnis; bukan untuk mengeruk keuntungan materi sebesar-besarnya yang menjadi ciri khas kapitalis yang rakus.

Pada praktiknya, praktisi seni---yang menjaga gawang teater---dapat menghasilkan dua jenis teater berupa: karya komersil dan karya idealis. Praktisi seni bisa menggunakan keahlian teater untuk menghasilkan materi yang bisa dijual dan terus menghasilkan karya sesuai standar ideal teater. Tidak harus sebuah teater yang dijual dalam kemasan digital, melainkan pemanfaatan 'keahlian teater' dalam menciptakan konten digital komersial.                         

Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menjual konten digital di media sosial khusus seperti instagram dan youtube. Banyak netizen berjualan konten yang dihasilkan dari keahlian teater khususnya seni peran. Mimi Peri merupakan salah satu netizen yang sukses menjual konten digital yang identik dengan salah satu keahlian yang muncul dalam teater.

Selain Mimi Peri, muncul pula sosok Mak Beti dan Mak Gardam. Bahkan, bila dicermati, seni peran yang mereka miliki, sebenarnya masih sangat terbatas dan bermutu rendah. Bahkan, ujaran dan tampilan cenderung bermuatan kekerasan dan pornografi. Tetapi, mereka berhasil mengemas seni peran menjadi produk digital komersil dan memiliki daya jual.  

Fenomena digital tersebut semestinya menjadi kajian praktisi Bumi Teater. Alangkah sayangnya bila keahlian teater yang mumpuni sulit meneguhkan eksistensi teater atau memberikan kehidupan yang layak bagi praktisi teater. Di sisi lain, orang (netizen) yang memiliki kemampuan terbatas dalam keahlian teater khususnya seni peran, bisa menjual konten digital hasil dari keahlian teater dan mencapai kebebasan finansial.  

Para praktisi teater bisa membentuk tim yang menghasilkan produk konten digital dan memasarkannya. Dengan ratusan anggota/pengurus teater yang bisa diberdayakan untuk memviralkan, konten tersebut akan cepat memiliki nilai ekonomi. Dengan jalan ini, perusahaan media digital tersebut akan tertarik untuk menjadikan kita sebagai 'influlencer" berbayar. Pendapatan tersebut bisa dijadikan modal untuk menyalakan api seni akan tetap mengalir dan eksistensi teater tetap bisa terjaga, serta praktisi teater bisa hidup layak. Selain upaya tersebut, praktisi teater bisa menjalani profesi lain yang bisa mendukung keamanan finansial, sambil terus menghasilkan karya-karya kreatif di bidang teater.

Parade Teater Naskah Wisran Hadi. Sumber: jendelasastra.com
Parade Teater Naskah Wisran Hadi. Sumber: jendelasastra.com
Pengurus dan anggota Bumi Teater ataupun BUMI (teater, senirupa, sastra) perlu lebih aktif untuk "branding" dan melebarkan "networking" untuk memperluas jangkauan karya. Upaya ini bisa dilakukan dengan mengoptimalkan fungsi media sosial. Informasi mengnai BUMI harus "update" minimal satu konten per hari. Melalui jalan ini, masyarakat dunia virtual mengenal Bumi Teater dan tetap bisa meneguhkan eksistensi teater dalam bentuk pementasan sesuai dengan standar ideal teater.  

Selain itu, sosialisasi dan edukasi urgensi teater perlu terus dikembangkan. Di mana teater memiliki korelasi dengan bidang ilmu-ilmu lainnya--termasuk medis, psikologi, politik, sejarah, sosiologi, dan antropologi--dan memengaruhi perkembangan peradaban modern. Agar masyarakat memahami bahwa teater bukan semata hiburan, tetapi transfer ilmu pengetahuan atau dialog yang disampaikan dengan indah, sehingga membangun kesadaran untuk mewujudkan kemanusiaan.   

Misalnya, kita bisa mengenalkan sosok dramawan Vaclav Havel yang mampu meruntuhkan tirani rejim komunis Cekoslovakia. Berkat teater, Vaclav Havel membangkitkan perlawanan rakyat Cekoslovakia dan menggerakkan Revolusi Beludru atau revolusi tanpa kekerasan dan tetes darah. Dari panggung teater menebarkan amunisi kebangkitan bagi rakyat Cekoslovakia yang ditindas rejim komunis selama empat dekade. Dari panggung teater pula, Vaclav Havel melangkah menuju Istana Presiden dan menjadi presiden yang dicintai rakyatnya sepanjang hidupnya. Semuanya dicapai Vaclav Havel berkat kekuatan teater!       

Vaclav Havel. Sumber: vaclavhavel.cz
Vaclav Havel. Sumber: vaclavhavel.cz
Vaclav Havel bersama rakyatnya. Sumber: vaclavhavel.cz
Vaclav Havel bersama rakyatnya. Sumber: vaclavhavel.cz
Dengan upaya-upaya tersebut, teater khususnya Bumi Teater, memiliki eksistensi yang kuat dan menjadi sumber inspirasi dalam mewujudkan kebebasan finansial berbasis seni. Teater tidak lagi dianggap 'tidak penting' atau alternatif huburan, tetapi sebagai jalan untuk hidup memelihara kemanusiaan dan 'menghidupkan kehidupan'. Praktisi teater pun akan terhindar dari kesulitan ekonomi dan tetap produktif menghasilkan karya-karya teater. Dengan jalan inilah, kita bisa mempertahankan tempat terhormat teater di Era Revolusi Industri 4.0.

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa teater memiliki tempat yang terhormat dalam peradaban masa lampau. Mulai dari Yunani Kuno, Romawi Klasik, dan juga Indonesia Era Pra Kemerdekaan. Teater memiliki fungsi yang sangat besar dalam memelihara ikatan komunal, membentuk memori kolektif, dan meneguhkan integrasi sebuah bangsa. 

Dengan demikian, eksistensi teater harus dilestarikan dan dipertahankan. Musnahnya teater berarti musnahnya salah satu kekayaan budaya Indonesia yang bernilai tinggi.   

Agar eksistensi teater tetap terjaga; perlu adanya upaya untuk 'menjual' teater atau menghasilkan produk bernilai ekonomi dari keahlian teater. Upaya ini menghadirkan konsekwensi bagi praktisi teater untuk mengkaji marketing, teknologi digital, dan industri.  

Praktisi teater tidak perlu merasa malu untuk 'menjual' keahlian teater. Justru kita semestinya harus malu bila tidak bisa mempertahankan eksistensi teater---membiarkan teater timbul-tenggelam, redup, dan padam---atau tidak bisa berbuat banyak ketika muncul praktisi (anggota/pengurus) teater yang menderita kesulitan ekonomi. Dengan demikian, kita bisa kita wujudkan keselarasan bagi praktisi seni (seniman) untuk sukses finansial dan sukses berkesenian (berteater).   

Selain itu, edukasi/sosialisasi yang meningkatkan urgensi teater. Agar teater semakin dikenal dan dicintai masyarakat, serta menjadi bagian dari daya perubahan untuk mewujudkan peradaban yang lebih maju, beradab, dan bermartabat.  

 

Referensi:

[1] CATATAN RINGKAS SEJARAH BUMI TEATER (1)

[2] TEATER DALAM KRITIK oleh Dr. Sahrul N, S.S., M.Si 

[3] Wisran Hadi 

[4] Penyerbukan Silang Antarbudaya oleh Aan Rukmana, dkk. (Elex Media, 2015)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun