Mohon tunggu...
Sulfiza Ariska
Sulfiza Ariska Mohon Tunggu... Penulis - Halo, saudara-saudara sedunia. Apa kabarmu? Semoga kebaikan selalu menyertai KITA.

Penulis penuh waktu. Lahir di Sumatera Barat dan berkarya di Yogya. Emerging Writer "Ubud Writers and Readers Festival" ke-11. E-mail: sulfiza.ariska@gmail.com IG: @sulfiza_indonesia Twitter: Sulfiza_A

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Petualangan Menuju Pencerahan, Resensi Novel "Gentayangan" karya Intan Paramaditha

30 Agustus 2018   23:30 Diperbarui: 30 Agustus 2018   23:38 1732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul buku: Gentayangan: Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu 

Penulis: Intan Paramaditha

Penyelia naskah: Mirna Yulistianti

Desain sampul: Suprianto

Foto sampul: Ugoran Prasad

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Cetakan I: 16 Oktober 2017

Bahasa: Indonesia

ISBN: 978-602-03-7772-8

Jumlah halaman: 492 halaman

GENTAYANGAN merupakan salah satu karya Intan Paramaditha yang sangat istimewa. Novel yang mengangkat kisah petualangan cewek bandel ini; tidak sekadar menghadirkan keunikan teknik bercerita; tetapi juga menuntun kita menuju 'pencerahan'.   

Intan Paramaditha merupakan seorang akademisi Indonesia yang memiliki dedikasi tinggi di bidang literasi. Pada 2014, Intan Paramaditha meraih gelar doktoral dalam Kajian Sinema dari New York University. Kini, Intan Paramaditha menjadi dosen di bidang media and film studies di Macquarie University, Sydney.

Intan Paramaditha aktif menuangkan pemikiran kritis melalui karya-karyanya, sehingga ia dikenal sebagai salah seorang feminis Indonesia yang produktif menghasilkan karya. Pembaca yang tidak terbiasa dengan teks ilmiah karya Intan Paramaditha; bisa membaca karya fiksi hasil inovasinya. Sebab, karya ilmiah ataupun karya fiksi hasil inovasi Intan Paramaditha, memiliki benang merah yang sama, yaitu memusatkan fokus pada gender, seksualitas, dan politik.       

Intan Paramaditha, pengarang novel Gentayangan. Sumber foto: www.warningmagz.com
Intan Paramaditha, pengarang novel Gentayangan. Sumber foto: www.warningmagz.com
Selain meraih penghargaan, karya-karya Intan Paramaditha juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Jerman. Kumpulan cerpennya yang berjudul Sihir Perempuan terpilih sebagai nominasi dalam Khatulistiwa Literary Award (2005). Cerpen karya Intan Paramaditha yang berjudul Klub Solidaritas Suami Hilang mendapat penghargaan Cerpen Pilihan Kompas 2013. Novel Gentayangan terpilih sebagai Buku Sastra Prosa Terbaik Tempo 2017.    

Hadiah dan Kutukan

Novel Gentayangan karya Intan Paramaditha berkisah tentang tokoh utama yang dinamakan Cewek Bandel yang bersekutu dengan Iblis. Bagi Cewek Bandel, iblis itu bukan hanya pasangan seks yang memenuhi fantasinya, tetapi juga kekasih yang romantis.

Karena itu, ia menamakan iblis tersebut Iblis Kekasih. Iblis Kekasih suka memberikan hadiah. Di antara hadiah-hadiah yang diterima Cewek Bandel, sepatu merah merupakan hadiah yang paling spesial. Sepatu merah tersebut memiliki keajaiban yang memenuhi hasrat Cewek Bandel untuk bertualang.

Namun, Iblis Kekasih menyatakan bahwa sepatu merah tersebut bukanlah hadiah biasa, tetapi juga kutukan. Terdapat dua pilihan yang menyertai hadiah tersebut. Menerima atau menolak. Pilihan pertama: bila menerima hadiah itu, Cewek Bandel akan bisa bertualang. Pilihan kedua: menolak sepatu merah akan membuat Cewek Bandel terhindar dari kutukan, tetapi kehilangan ambisi dan peluang untuk bertualang.

Secara gamblang, bertualang dalam novel Gentayangan berarti berkelana ke New York, perbatasan Tijuana, gereja Haarlem, hingga masjid di Jakarta. Pembaca akan merasakan sensasi imajinatif-emosional para pelancong, turis, dan migran. Tetapi, jangan berharap petualangan dalam Gentayangan penuh dengan kesenangan sebagaimana yang ditulis Trinity dalam serial TheNaked Traveler.

Petualangan dalam Gentayangan berkisah tentang pelarian, pencarian atas rumah, kehilangan, keterasingan, tindakan yang mengerikan, dan upaya untuk berdamai dengan pengalaman-pengalaman traumatis.

Sepatu Merah. Sumber foto: antaranews.com
Sepatu Merah. Sumber foto: antaranews.com
Bayangkanlah bila Anda menjadi seseorang yang diminta Cewek Bandel menentukan pilihan: menerima atau menolak hadiah berupa sepatu merah. Pilihan mana yang akan Anda ambil?

 Kehidupan sebagai Petualangan

 Melalui novel Gentayangan, Intan Paramaditha merumuskan dengan cantik bahwa kehidupan yang sejati adalah petualangan. Mengapa? Manusia tidak hanya memiliki keunikan-keunikan pribadi yang membentuk fisik dan psikologis; tetapi juga dituntut untuk menghadapi tantangan alam yang terus mengalami perubahan; berupa masalah sosial, kesepian, keterasingan, kebingungan, masalah kesehatan, pengalaman-pengalaman traumatis, masa lalu yang pilu, masa depan yang tak tertebak, dan masa kini yang sering kali membosankan. Manusia harus memilih sendiri petualangannya dan bertanggung jawab atas konsekwensi yang ditimbulkan pilihannya.

Selain itu, keistimewaan yang paling mendasar dari novel Gentayangan terletak pada plot dan akhir cerita yang membebaskan diri dari konvensi prosa genre novel di Indonesia. Umumnya, narasi novel membentuk sebuah titik episentrum yang menjadi akhir atau fokus penceritaan.

Bahkan, novel Dadaisme yang terdiri dari puluhan fragmen karya Dewi Sartika -- pemenang utama Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2003 -- tetap memiliki satu akhir cerita sebagai episentrum. Pembaca Dadaisme pun berpotensi besar tidak mengalami distraksi yang luar biasa karena seluruh fragmen diikat secara simbolik oleh kehadiran malaikat bersayap satu bernama Michael.     

Namun, konstelasi narasi novel Gentayangan yang dibangun Intan Paramaditha, memiliki 11 plot dan 15 akhir cerita. Mulai dari halaman 20 pada bab GENTAYANGAN: Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu, pembaca harus bersiap untuk memilih petualangan yang ditawarkan pengarang berupa kombinasi antara plot dan akhir cerita tersebut.

Masing-masing plot Gentayangan akan menuntun pembaca menuju 15 konsekwensi yang menjadi akhir cerita. Meskipun dibaca berulang kali untuk mencapai 15 akhir cerita, pembaca tetap berpotensi besar masuk ke dalam lorong plot yang sudah ditempuh atau kembali ke akhir cerita yang telah dicapai sebelumnya, sehingga bisa menimbulkan puluhan jalur petualangan.

Mematahkan Belenggu Paradigma Monolitik

Salah satu keunggulan novel Gentayangan terletak dari pilihan diksi yang sederhana dan komunikatif, sehingga menyamarkan gagasan besar berupa dekonstruksi paradigma monolitik.

(intanparamaditha.org)
(intanparamaditha.org)
Pembaca yang menjadikan aktivitas membaca sekadar hiburan akan memperoleh tantangan untuk bertualang dan mengulang petualangan; hingga tidak ada lagi bagian bab yang terlewatkan. Akibatnya, pembaca bisa menempuh lebih dari 15 petualangan. Masing-masing pembaca memiliki kecenderungan untuk menempuh petualangan berbeda karena perbedaan pilihan kombinasi plot dan akhir cerita.

Di sisi lain, pembaca yang memiliki minat untuk merelevansikan dunia imajiner yang dibangun teks naratif Gentayangan dengan realitas, berpotensi besar untuk menemukan akar dari persoalan krusial dalam masyarakat yang ditimbulkan pengaruh paradigma monolitik.

Masyarakat yang hidup di bawah pengaruh paradigma monolitik tidak memiliki pilihan selain pilihan yang telah ditentukan pihak otoritatif. Tetapi, Gentayangan menawarkan pilihan! Tidak hanya satu pilihan yang terdapat dalam Gentayangan; melainkan puluhan pilihan yang tercipta dari kombinasi plot dan akhir cerita.

Kesederhanaan diksi mengakibatkan pembaca bisa hanyut di dunia imajiner bentukan narasi fiksi dan menelan bulat-bulat gagasan dekonstruksi paradigma monolitik. Padahal, karya fiksi ini bisa menjadi bacaan yang 'berat' bagi pembaca yang lahir dan tumbuh di lingkungan represif Orde Baru atau pengalaman-pengalaman traumatis yang tersebar di beberapa fragmen.

Bagi mereka, membaca Gentayangan berarti menghadapi trauma-trauma masa lalu dan penindasan simbolik yang masih menghantui kehidupan mereka sampai sekarang.

Di antara berbagai rejim pemerintahan di Indonesia, rejim Orde Baru yang paling kronik menggunakan paradigma monolitik sebagai alat kontrol sosial. Paradigma monolitik berupa aturan-aturan otoritatif yang ditebarkan melalui social learning process (proses belajar sosial) dan menuntut 'penyeragaman'.

Kedua proses ini bisa berlangsung di mana-mana. Mulai dari keluarga, lembaga pendidikan formal atau non formal, tradisi dan adat-istiadat, agama, media massa, literatur fiksi ataupun non-fiksi, hingga wacana yang disebarkan tokoh masyarakat atau orang-orang yang memengaruhi opini publik. Masyarakat  yang 'seragam' akan meningkatkan efisiensi fungsi sistem sosial politik dan budaya.

Padahal, perubahan--sebagaimana yang dituturkan Herakleitos dengan pernyataan panta rhei uden menei (semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal tetap)--merupakan kodrat manusia. Di sisi lain, relasi antara fisik dan psikologis manusia dengan realitas sosial; jauh lebih kompleks dan dinamis.

Hal ini mengakibatkan kehidupan manusia jauh lebih kompleks dan tidak bisa diakomodasi pilihan beruwujud aturan-aturan hasil ketetapan pihak otoritatif. Tanpa kebebasan untuk menentukan pilihan pribadi--tentunya disertai upaya untuk menghormati pilihan individu atau komunitas lain---toleransi, keadilan, dan kemanusiaan akan sulit untuk direalisasikan. Kecenderungan potensi paradigma monolitik inilah yang berusaha dipatahkan narasi teks Gentayangan.   

Konsep kehidupan dalam penjara paradigma monolitik tidak akan memberi jaminan terpenuhinya hak asasi dan kebutuhan seluruh individu. Manusia yang tidak terbiasa melihat kerumitan hidup sebagai sebuah petualangan yang harus dihadapi dengan sepenuh hati; akan rentan mengalami ketegangan atau konflik, baik ketegangan (konflik) internal yang terjadi di dalam diri ataupun ketegangan (konflik) dengan lingkungan.

Rejim Orde Baru atau rejim-rejim otoriter tidak akan memberikan Anda pilihan. Semua pilihan sudah ditentukan pihak otoritatif. Hal inilah yang berupaya dipatahkan Cewek Bandel dalam novel Gentayangan. Bahwa semua manusia; termasuk manusia yang 'bandel'; berhak menentukan pilihan dan bertanggung jawab atas pilihan yang diambilnya.

Menuju Pencerahan 

Terdapat tiga elemen dasar yang mengikat seluruh narasi secara simbolik plot Gentayangan, yaitu: Cewek Bandel, Iblis Kekasih, dan sepatu merah. Dalam paradigma monolitik konvensional di Indonesia, sistem sosial-budaya-politik menuntut semua perempuan (cewek) menjadi baik sesuai dengan norma-norma dan aturan-aturan yang dibentuk pihak otoritatif.

Mayoritas penulis fiksi Indonesia menempatkan tokoh-tokoh perempuan (cewek) baik atau perempuan (cewek) bandel yang akhirnya bertobat dalam karya-karya mereka. Alih-alih, Intan Paramaditha memilih Cewek Bandel sebagai tokoh utama yang mendobrak batasan paradigma monolitik.  

Dalam masyarakat Indonesia yang didominasi agama Abrahamik, iblis merupakan makhluk dilaknat Tuhan dan berbahaya. Meskipun tumbuh dalam keluarga Muslim, Cewek Bandel menjadikan iblis sebagai kekasih. Sepatu merah memiliki dua elemen berupa sepatu dan warna merah.

Pilihan 'kau' pada narasi teks sebagai label tokoh utama menuntun pembaca untuk memahami atau menempatkan diri pada posisi tokoh utama. Hal ini lazim disebut dengan 'memakai sepatu orang lain' sebelum memberi penilaian.

Hal ini merupakan salah satu tantangan bagi pembaca Indonesia yang terbiasa hidup dalam kepungan paradigma monolitik. Di mana penilaian sangat tergantung norma-norma dan aturan-aturan yang dibentuk pihak-pihak otoritatif.   

Di sisi lain, merah pada warna sepatu bukanlah warna semata, melainkan memiliki arti yang politis dalam sejarah Indonesia. Bahwa ketika Orde Baru berkuasa, terjadi politik warna. Warna merah menjadi warna yang dijauhi karena identik dengan PKI. Kebencian (ketakutan) pada warna merah sangat mengakar di masa Orde Baru. Hal ini dimunculkan pada proses penyiksaan yang dilakukan Gerwani terhadap Jendral yang ditawan dan dinilai dibinasakan PKI. Sebelum menyilet wajah sang Jendral, seorang anggota Gerwani ini mengucapkan: "Darah itu merah, Jendral?"

Bahkan, pada era Orde Baru atau tahun 1990-an, tenaga pendidik di lembaga pendidikan konvensional lazim menggunakan tinta merah untuk menulis angka 5 pada rapor anak didik. Angka 5 merupakan angka untuk anak didik yang tidak dinilai tidak bisa memenuhi tuntutan kurikulum khususnya meraih nilai minimal angka 6.  

Hingga sekarang, kebencian atau ketakutan pada PKI masih berkuasa. Hal ini bisa kita cermati dari politik agitasi yang digunakan sebagian partai politik berafiliasi pada fundamentalis radikal. Di mana parpol tersebut membangkitkan kebencian massa terhadap parpol atau politisi yang menjadi rival politiknya.       

Pencerahan. Sumber foto: geotimes.co.id
Pencerahan. Sumber foto: geotimes.co.id
Tiga elemen dasar yang membangun Gentayangan merupakan simbol representatif nilai-nilai atau aturan-aturan intimidatif dalam kesadaran kolektif hasil bentukan paradigma monolitik di Indonesia. Bertualang dalam Gentayangan berarti menantang pembaca untuk menghadapi peristiwa-peristiwa traumatis yang bertebaran nyaris di seluruh framen cerita.

Pilihan Cewek Bandel berada pada tangan pembaca dan terpusat pada hadiah berupa sepatu merah. Menerima sepatu merah berarti 'bertualang bersama Cewek Bandel' atau 'bertualang sebagai Cewek Bandel', tetapi disertai dengan kutukan sebagai konsekwensinya. Menolaknya berarti bebas dari kutukan, pembacaan terhenti pada halaman 20, dan kehilangan kesempatan bertualang. 

Padahal, petualangan merupakan salah satu langkah yang perlu ditempuh manusia untuk memahami dan menemukan kesadaran eksistensial. Ide tentang pencerahan ditemukan Immanuel Kant, filsuf Jerman abad ke-18. Dalam buku yang berjudul Beantwortung der Frage: Was ist Aufklrung? (Jawaban atas Pertanyaan: Apa itu Pencerahan), Immanuel Kant menegaskan bahwa pencerahan adalah keluarnya manusia dari ketidakdewasaan (Ummundigkeit) yang diciptakannya sendiri.

Dalam artian, ketidakdewasaan ditandai dengan tidak adanya kehendak untuk berpikir sendiri. Paradigma monolitik yang dibentuk pihak otortatif mendidik manusia untuk takut untuk berpikir sendiri. Meninggalkan zona aman melalui bertualang akan memberi sugesti kita untuk berpikir sendiri dan meretas kedewasaan.    

Tidak Sendirian dalam Petualangan

Bila kita cermati, mayoritas penulis resensi atau ulasan Gentayangan yang sudah dipublikasikan, memaknai petualangan sebagai hasrat kosmopolit tokoh utama. Hal ini timbul ketika kita memisahkan realitas yang dibentuk teks naratif fiksi dengan realitas empiris. Pembaca yang memisahkan realitas imajiner yang dibentuk 'teks naratif fiksi' dengan 'realitas empiris' berpotensi besar akan menempatkan Gentayangan seperti serial Goosebumps yang juga memiliki format Pilih Sendiri Petualanganmu.        

Namun, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam petualangan Cewek Bandel, memiliki dasar empiris. Misalnya, peristiwa Mei 1998 (hal. 14), peristiwa Lubang Buaya dan PKI (hal. 115), larangan mengucapkan Selamat Natal bagi Muslim (hal. 92), mitos keperawanan (hal. 40), kekerasan pada kelompok LGBT (hal. 150), dan berjejer pertiwa empiris lainnya. Hal ini menimbulkan pembaca yang mengalami pengalaman empiris tersebut mengindikasikan diri dengan tokoh imaji dalam Gentayangan.

Kendati demikian, melalui narasi yang dibentangkannya dalam Gentayangan, Intan Paramaditha tidak memberi penghakiman. Alih-alih tokoh-tokoh yang terlibat berjuang untuk berdamai dengan peristiwa traumatis tersebut, hingga upaya untuk damai meruncing pada jalan buntu. Tindakan-tindakan tersebut lazim terjadi di belahan negara manapun.

Uniknya, Cewek Bandel terus berupaya untuk survive dan melanjutkan perjalanan. Bahkan, ia menjadikan kekasih makhluk yang terkutuk dan ditakuti dalam agama Abrahamik. Tindakan-tindakan yang dipilih Cewek Bandel seolah-olah sesuai dengan rotasi bumi; tidak bisa dihentikan peritiwa apa pun. Ia memeluk seluruh keputus-asaan, kebingungan, ketidakberdayaan, krisis identitas diri, bahaya, hingga menampung depresi yang dialami orang-orang yang dijumpainya dalam petualangan.   

Dengan demikian, pembaca yang menemukan pengalaman empirisnya tertera dalam fragmen petualangan Cewek Baik dalam Gentayangan, bisa mengindentifikasi diri dan menyadari bahwa dirinya tidak seorang diri dalam petualangan. Pembaca memiliki motivasi diri dalam membaca untuk mengenali konflik sosial; bisa memahami kebingungan yang dialami individu yang berada dalam pusaran konflik.

Akan tiba masanya; pembaca yang memisahkan realitas bentukan narasi fiksi dengan realitas empiris; menyadari bahwa peristiwa-peristiwa yang bertebaran dalam narasi Gentayangan merupakan peristiwa memilukan yang terjadi di Tanah Air kita dan banyak yang berupaya untuk binasa dalam proses 'amnesia sosial'. Bahwa Anda tidak seorang diri bertualang untuk menemukan jalan menuju pencerahan.    

Gagasan Besar 

Bisa kita simpulkan bahwa novel Gentayangan merupakan sebuah sumbangan yang berharga di bidang literasi Indonesia. Melalui dunia imajiner yang dibangun teks narasi fiktif Gentayangan, pembaca dituntun untuk terlibat secara emosional dalam mendefinisikan ulang konsep diri, menemukan upaya untuk merumuskan kesadaran eksistensial, dan menemukan keberadaan di hamparan dunia realitas yang dikepung nilai-nilai bentukan pihak otoritatif. 

Dalam novel Gentayangan juga terdokumentasi peristiwa-peristiwa 'masa lalu yang selalu aktual' dan peristiwa-peristiwa global. Tidak sedikit peristiwa tersebut mengandung substansi memilukan dan mengunjang zona aman. Peristiwa-peristiwa tersebut dipaparkan tanpa penghakiman. Alih-alih pembaca merasakan sensasi petualangan menuju pencerahan.  

Dengan demikian, bisa kita kukuhkan bahwa, melalui novel Gentayangan, Intan Paramaditha sebagai pengarang, telah berhasil menawarkan gagasan besar dengan diksi yang sederhana dan komunikatif. Selamat!        

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun