Bagi mereka, membaca Gentayangan berarti menghadapi trauma-trauma masa lalu dan penindasan simbolik yang masih menghantui kehidupan mereka sampai sekarang.
Di antara berbagai rejim pemerintahan di Indonesia, rejim Orde Baru yang paling kronik menggunakan paradigma monolitik sebagai alat kontrol sosial. Paradigma monolitik berupa aturan-aturan otoritatif yang ditebarkan melalui social learning process (proses belajar sosial) dan menuntut 'penyeragaman'.
Kedua proses ini bisa berlangsung di mana-mana. Mulai dari keluarga, lembaga pendidikan formal atau non formal, tradisi dan adat-istiadat, agama, media massa, literatur fiksi ataupun non-fiksi, hingga wacana yang disebarkan tokoh masyarakat atau orang-orang yang memengaruhi opini publik. Masyarakat  yang 'seragam' akan meningkatkan efisiensi fungsi sistem sosial politik dan budaya.
Padahal, perubahan--sebagaimana yang dituturkan Herakleitos dengan pernyataan panta rhei uden menei (semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal tetap)--merupakan kodrat manusia. Di sisi lain, relasi antara fisik dan psikologis manusia dengan realitas sosial; jauh lebih kompleks dan dinamis.
Hal ini mengakibatkan kehidupan manusia jauh lebih kompleks dan tidak bisa diakomodasi pilihan beruwujud aturan-aturan hasil ketetapan pihak otoritatif. Tanpa kebebasan untuk menentukan pilihan pribadi--tentunya disertai upaya untuk menghormati pilihan individu atau komunitas lain---toleransi, keadilan, dan kemanusiaan akan sulit untuk direalisasikan. Kecenderungan potensi paradigma monolitik inilah yang berusaha dipatahkan narasi teks Gentayangan. Â Â
Konsep kehidupan dalam penjara paradigma monolitik tidak akan memberi jaminan terpenuhinya hak asasi dan kebutuhan seluruh individu. Manusia yang tidak terbiasa melihat kerumitan hidup sebagai sebuah petualangan yang harus dihadapi dengan sepenuh hati; akan rentan mengalami ketegangan atau konflik, baik ketegangan (konflik) internal yang terjadi di dalam diri ataupun ketegangan (konflik) dengan lingkungan.
Rejim Orde Baru atau rejim-rejim otoriter tidak akan memberikan Anda pilihan. Semua pilihan sudah ditentukan pihak otoritatif. Hal inilah yang berupaya dipatahkan Cewek Bandel dalam novel Gentayangan. Bahwa semua manusia; termasuk manusia yang 'bandel'; berhak menentukan pilihan dan bertanggung jawab atas pilihan yang diambilnya.
Menuju PencerahanÂ
Terdapat tiga elemen dasar yang mengikat seluruh narasi secara simbolik plot Gentayangan, yaitu: Cewek Bandel, Iblis Kekasih, dan sepatu merah. Dalam paradigma monolitik konvensional di Indonesia, sistem sosial-budaya-politik menuntut semua perempuan (cewek) menjadi baik sesuai dengan norma-norma dan aturan-aturan yang dibentuk pihak otoritatif.
Mayoritas penulis fiksi Indonesia menempatkan tokoh-tokoh perempuan (cewek) baik atau perempuan (cewek) bandel yang akhirnya bertobat dalam karya-karya mereka. Alih-alih, Intan Paramaditha memilih Cewek Bandel sebagai tokoh utama yang mendobrak batasan paradigma monolitik. Â
Dalam masyarakat Indonesia yang didominasi agama Abrahamik, iblis merupakan makhluk dilaknat Tuhan dan berbahaya. Meskipun tumbuh dalam keluarga Muslim, Cewek Bandel menjadikan iblis sebagai kekasih. Sepatu merah memiliki dua elemen berupa sepatu dan warna merah.