Melalui novel Gentayangan, Intan Paramaditha merumuskan dengan cantik bahwa kehidupan yang sejati adalah petualangan. Mengapa? Manusia tidak hanya memiliki keunikan-keunikan pribadi yang membentuk fisik dan psikologis; tetapi juga dituntut untuk menghadapi tantangan alam yang terus mengalami perubahan; berupa masalah sosial, kesepian, keterasingan, kebingungan, masalah kesehatan, pengalaman-pengalaman traumatis, masa lalu yang pilu, masa depan yang tak tertebak, dan masa kini yang sering kali membosankan. Manusia harus memilih sendiri petualangannya dan bertanggung jawab atas konsekwensi yang ditimbulkan pilihannya.
Selain itu, keistimewaan yang paling mendasar dari novel Gentayangan terletak pada plot dan akhir cerita yang membebaskan diri dari konvensi prosa genre novel di Indonesia. Umumnya, narasi novel membentuk sebuah titik episentrum yang menjadi akhir atau fokus penceritaan.
Bahkan, novel Dadaisme yang terdiri dari puluhan fragmen karya Dewi Sartika -- pemenang utama Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2003 -- tetap memiliki satu akhir cerita sebagai episentrum. Pembaca Dadaisme pun berpotensi besar tidak mengalami distraksi yang luar biasa karena seluruh fragmen diikat secara simbolik oleh kehadiran malaikat bersayap satu bernama Michael. Â Â Â
Namun, konstelasi narasi novel Gentayangan yang dibangun Intan Paramaditha, memiliki 11 plot dan 15 akhir cerita. Mulai dari halaman 20 pada bab GENTAYANGAN: Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu, pembaca harus bersiap untuk memilih petualangan yang ditawarkan pengarang berupa kombinasi antara plot dan akhir cerita tersebut.
Masing-masing plot Gentayangan akan menuntun pembaca menuju 15 konsekwensi yang menjadi akhir cerita. Meskipun dibaca berulang kali untuk mencapai 15 akhir cerita, pembaca tetap berpotensi besar masuk ke dalam lorong plot yang sudah ditempuh atau kembali ke akhir cerita yang telah dicapai sebelumnya, sehingga bisa menimbulkan puluhan jalur petualangan.
Mematahkan Belenggu Paradigma Monolitik
Salah satu keunggulan novel Gentayangan terletak dari pilihan diksi yang sederhana dan komunikatif, sehingga menyamarkan gagasan besar berupa dekonstruksi paradigma monolitik.
Di sisi lain, pembaca yang memiliki minat untuk merelevansikan dunia imajiner yang dibangun teks naratif Gentayangan dengan realitas, berpotensi besar untuk menemukan akar dari persoalan krusial dalam masyarakat yang ditimbulkan pengaruh paradigma monolitik.
Masyarakat yang hidup di bawah pengaruh paradigma monolitik tidak memiliki pilihan selain pilihan yang telah ditentukan pihak otoritatif. Tetapi, Gentayangan menawarkan pilihan! Tidak hanya satu pilihan yang terdapat dalam Gentayangan; melainkan puluhan pilihan yang tercipta dari kombinasi plot dan akhir cerita.
Kesederhanaan diksi mengakibatkan pembaca bisa hanyut di dunia imajiner bentukan narasi fiksi dan menelan bulat-bulat gagasan dekonstruksi paradigma monolitik. Padahal, karya fiksi ini bisa menjadi bacaan yang 'berat' bagi pembaca yang lahir dan tumbuh di lingkungan represif Orde Baru atau pengalaman-pengalaman traumatis yang tersebar di beberapa fragmen.