Mohon tunggu...
Sulasmi Kisman
Sulasmi Kisman Mohon Tunggu... Administrasi - Warga Ternate, Maluku Utara

http://sulasmikisman.blogspot.co.id/ email: sulasmi.kisman@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Plan de Vida untuk Peternakan Kita

28 Agustus 2022   17:38 Diperbarui: 30 Agustus 2022   04:15 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi peternakan hewan kurban. (Foto: KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO)  

Peternakan dari Masa ke Masa 

Dahulu ketika peradaban masih sangat sederhana. Para pria sibuk bergerilya di hutan, melakukan perburuan untuk mengumpulkan makanan. Sementara di rumah, para wanita duduk menanti hasil perburuan untuk dijadikan makanan.

Di sela-sela penantian, para wanita melihat sisa-sisa makanan berupa biji-bijian yang berserakan telah tumbuh karena diguyur hujan. Dari situ terbersit untuk membenamkannya ke dalam tanah serta mengatur jaraknya. Konon, dari sinilah pertanian mulai dikenal dan dikembangkan.

Hasil perburuan berupa hewan-hewan tidak semuanya dijadikan santapan. Beberapa dipilih dan dipilah untuk dipertahankan. Ada anggota keluarga yang menggunakannya sebagai permainan. 

Lambat laun seiring waktu berjalan hewan yang dipelihara dan dipertahankan itu berkembang biak. Konon dari situlah mulai dikenal peternakan sebagai satu sektor  penyeimbang pertanian.

Referensi lain menyebutkan peternakan dimulai sejak terjadinya domestikasi hewan atau proses budidaya hewan agar hasilnya dapat dimanfaatkan oleh manusia yang konon dimulai tahun 13.000 SM.

26 Agustus diperingati sebagai hari lahir peternakan dan kesehatan hewan di Indonesia. Penetapan ini bermula dari pertimbangan dan kesepakatan para pakar dan berbagai organisasi profesi serta perusahaan di bidang peternakan pada 26 Maret 2003.

Sejak zaman VOC peternakan sudah dikembangkan untuk pemenuhan kebutuhan pemerintah kolonial di nusantara. 

Pada masa itu ternak kuda, kerbau dan sapi sudah dikembangkan. Kuda untuk keperluan tentara kompeni sementara kerbau dan sapi untuk melengkapi kebutuhan konsumsi aparatur VOC di Indonesia.

Ketika Belanda mengambil kendali di nusantara, pelbagai langkah pun dilakukan guna mengembangkan peternakan. 

Tercatat pada 1806, pemerintah Hindia Belanda mendatangkan sapi benggala dari India untuk keperluan perkebunan tebu di Indonesia. Pada tahun 1820 didatangkan dokter hewan, drh. RA Coppicters ke Indonesia untuk pemeliharaan kesehatan hewan.

Medio 26 Agustus 1836, pemerintah Hindia Belanda tercatat pertama kali mengeluarkan ketetapan yang diterbitkan secara resmi melalui plakat (selebaran) terkait larangan pemotongan sapi betina produktif. Momentum inilah yang dijadikan sebagai dasar penetapan hari lahir peternakan dan kesehatan hewan di Indonesia.

Meskipun pengembangan peternakan sudah dimulai pada awal tahun 1830-an akan tetapi pembentukan Jawatan Kehewanan dengan nama Veeartsenijkundige Dienst (VD) baru dibentuk pada 1841. 

Adapun jawatan ini berada di bawah Departemen Dalam Negeri yang kemudian pada 1851 dipindahkan ke naungan militer/kavaleri yang dipimpin oleh Direktur Kebudayaan. Pemindahan ini didasarkan pada Besluit Gubernur Jenderal tanggal 24 Desember 1851 No. 3.

Enam tahun setelahnya, tepat pada 1 Januari 1867 Jawatan Kehewanan berpindah ke naungan Departemen Pendidikan, Kebudayaan dan Kerajinan. 

Pada 1885 kembali berpindah ke naungan Departemen Dalam Negeri. Sedangkan Tahun 1905 Jawatan Kehewanan dilimpahkan ke Departemen Pertanian dan Perdagangan. Keputusannya tertuang dalam Staatblad No. 380 Tahun 1904.

Instansi Jawatan Kehewanan ini terus berkembang dan berkali-kali berubah nama. Hingga akhirnya kemudian berubah menjadi institusi yang dikenal sekarang dengan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Sedikit menengok ke zaman penjajahan Belanda. Di masa itu urusan peternakan terbengkalai, pembinaan peternakan hampir tidak dilakukan. 

Pemerintah Jepang mengganti beberapa nama instansi, Veeartsenijkundeg Institut diubah menjadi Badan Penyelidikan Penyakit Hewan (BPPH). 

Selain itu Sekolah dokter hewan pun diganti nama menjadi Semon Zui Gakko hingga pertengahan 1945 yang menjadi cikal bakal perguruan tinggi kedokteran hewan pada 20 September 1946.

Pada era orde lama, berbagai kegiatan pembangunan peternakan digeliatkan diantaranya Kasimo Plan, kegiatan inseminasi buatan dan menggalakkan semboyan 4 sehat 5 sempurna.

Kasimo plan merupakan rencana tiga tahunan, sejak 1948 hingga 1950 yang bertujuan meningkatkan produksi pangan dengan cara melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian.

Ringkasnya, perencanaan yang dicetus oleh Menteri Persediaan Makanan Rakyat, Ignatius Joseph Kasimo H pada awal kemerdekaan ini terkait dengan pemenuhan kebutuhan makanan pokok rakyat, termasuk daging, telur dan susu.

Plan de Vida untuk Peternakan Kita
Plan de Vida untuk Peternakan Kita

Di era orde lama tepat pada 1950 dibentuk Lembaga Penelitian Peternakan (LPP) di Bogor dengan nama Balai Penelitian Umum (BPU) dan pembangunan Balai Besar Penelitian Veteriner.

Di Baturraden, didirikan Taman Ternak Baturraden yang disusul pembangunan Induk Taman Ternak Padang Mengatas. Pada masa itu dibangun pula sekolah bidang peternakan (SNAKMA) di Bogor dan Malang. 

Ada pula pembangunan koperasi persusuan. Pada 1952 didirikan Perusahaan Negara (Perhewani) dan pembangunan Badan Penyelidikan Penyakit Mulut dan Kuku (BP-PMK) di Surabaya.

Pada era orde baru tepatnya 3 November 1966, struktur organisasi Direktorat Jenderal Kehewanan dibentuk. 

Struktur organisasinya terdiri dari tiga unit eselon II yaitu: Sekretariat Direktorat jenderal; Direktorat Peternakan dan Direktorat Kesehatan Hewan. Pada Januari 1968, Ditjen Kehewanan berubah lagi menjadi Direktorat Jendral Peternakan.

Untuk menyesuaikan dengan UU No. 6 tahun 1967, Direktorat Jendral Peternakan berkembang menjadi: (1) Sekretariat Direktorat Jenderal; (2) Direktorat Keswan; (3) Direktorat Usaha-usaha Peternakan dan (4) Badan Koordinasi Lembaga-lembaga Penelitian dan Pendidikan Peternakan (BKLPP). 

BKLPP mengordinasikan Lembaga Penelitian Peternakan, Lembaga Penelitian Penyakit Hewan, Lembaga Virologi Hewan dan Lembaga Pendidikan dan Kesehatan Hewan yang terdiri dari 2 SNAKMA, di Bogor dan Malang.

Pada Pelita IV, Presiden Soeharto membentuk jabatan baru yakni Menteri Muda Urusan Peningkatan Produk Peternakan dan Perikanan (Menmud UP4). 

Menmud UP4 diharapkan lebih memprioritaskan perhatian pembangunan peternakan. Adapun Menmud yang diangkat adalah Prof. JH Hutasoit. Beliau merupakan mantan Dirjen Peternakan, memiliki kiprah di beberapa lembaga serta merupakan pendiri Fakultas Peternakan IPB. Beliau tercatat pernah menjadi Dekan FAPET IPB.

Susunan organisasi dan tata kerja Ditjen Peternakan ditetapkan pada 1983, sebelum Pelita V dan disempurnakan kembali pada 1990 untuk dapat mengembangkan kegiatan pembangunan Pelita V.

Di era reformasi, tahun 2000 terjadi perubahan nomenklatur struktur organisasi, Direktorat Jenderal Peternakan berubah menjadi Direktorat Jenderal Produksi Peternakan, kemudian tahun 2001 berubah menjadi Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 

Tugasnya dikira sangat sempit karena hanya berkaitan dengan produksi saja. Adapun pengolahan dan pemasaran hasil peternakan ditangani oleh Direktorat Jenderal  Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian.

Tahun 2005 kembali berganti nama menjadi Direktorat Jenderal Peternakan. Tahun 2010 namanya menjadi Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan yang tetap digunakan hingga kini--tidak mengalami perubahan. 

Dari Pandemi hingga PMK 

Euforia hari Peternakan dan Kesehatan Hewan biasanya santer dengan tagline yang menguatkan, seperti: #Peternak Sejahtera, Kesehatan Hewan Terjaga. 

Namun ada berbagai tantangan untuk kesejahteraan dan keterjagaan itu. Wabah Pandemi Covid-19 hingga Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Keduanya menjadi alarm bahwa kondisi peternakan sedang tidak baik-baik saja.

Oleh sebab pandemi covid-19 peternakan di kepulauan berada pada posisi jalan di tempat. lebih khusus untuk peternakan ayam broiler. Hal ini diakibatkan karena peningkatan biaya produksi dan keterbatasan akses bahan baku.

Saat pandemi peternak di daerah mengalami kesulitan untuk mendapatkan DOC (day old chick). Kalaupun ada dalam jumlah yang terbatas serta harga yang merangkak naik. 

Sebelum pandemi misalnya, harga DOC untuk wilayah Maluku Utara antara Rp. 11 ribu hingga Rp. 12 ribu. Sementara saat pandemi harga DOC bisa tembus Rp. 15 ribu.

Pakan juga merupakan bahan yang sulit didapatkan saat pandemi melanda. Sentra produksi pakan yang berpusat di pulau Jawa menjadikan akses tidak mudah didapatkan. Saat pandemi ada kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga lock down yang berimbas pada kesulitan akses di daerah kepulauan.

Beberapa informasi melaporkan bahwa peternak ayam broiler adalah salah satu yang terdampak pandemi. Bahkan banyak yang gulung tikar. Penjualan ayam anjlok 40 persen. 

Permintaan daging ayam menurun selama pandemi (Kata Data.co.id, 2020). Hal ini juga dirasakan hingga ke daerah-daerah. Artinya pandemi covid-19 menghantam dari hulu hingga  hilir.

Baru melewati badai pandemi kini mengalami babak baru PMK. Hal ini dimulai dari laporan media pada 28 April 2022, terdapat kasus yang mirip PMK di Gersik. 

Pada pertengahan Mei juga dilaporkan 598 ternak terjangkit PMK di dua Kabupaten, di sentra sapi di Sumatera yaitu Langkat dan Deli Serdang (Kompas.com, 2022).

Adapula 37 ternak yang terkonfirmasi positif diantaranya 3 ekor kambing dari Wonosobo, 4 ekor sapi dari Rembang dan 14 Sapi dari Banjarnegara serta 16 ekor sapi dari Boyolali. Sampai 22 Mei 2022 data jumlah hewan ternak terdampak wabah PMK sebanyak 5,45 juta ekor. 

Jumlah hewan terdampak tersebar di 16 propinsi termasuk di daerah-daerah yang masih terduga atau masih dalam proses penelitian (positif atau negatif PMK) (Kementan, 2022).

Sumber: databookskatadata.co.id
Sumber: databookskatadata.co.id

Sementara menurut Kata Data per 5 Agustus 2022, jumlah ternak terjangkit PMK berjumlah 464.279 ekor. Dari kasus di atas terhitung 4.834 ekor ternak mati, 7.768 ekor dipotong bersyarat dan sebanyak 286.199 ternak yang dinyatakan sembuh. 

Berdasarkan data persentase tertinggi pada ternak sapi, diikuti oleh ternak kerbau, kambing dan domba. Meskipun begitu, langkah antisipasi pemerintah dan stakeholder terkait sangat cepat. Informasi terakhir pemerintah  telah melakukan vaksinasi pada 1.066.619 ekor hewan ternak.

Estimasi kerugian ekonomi akibat PMK di Indonesia juga dilaporkan Naipospos (2012) dan Sofjan Sudarjat (2015). Kerugian ditaksir sebesar Rp. 9,6 Triliun hingga Rp.15,5 Triliun. 

Data matematis ini belum direkapitulasi dengan besarnya biaya pengendalian, dampak sektor primer, pengolahan dan dampak yang terkait dengan sektor non pertanian dan turisme serta hilangnya peluang perdagangan dan akan terjadi keterperangkapan pangan daging sapi nasional.

Plan de Vida, sebuah Rencana Aksi                                  

Jika bertolak dari dampak pandemi juga PMK, ringkasnya peternakan kita mengalami kendala dari ketersediaan, manajemen dan pemasaran produk. Dari hulu hingga hilir.

Ketersediaan mencakup populasi atau produktivitas dari ternak kita. Peternakan sebagai salah satu sektor penyedia pangan strategis memiliki kaitan erat dengan kondisi perekonomian nasional. Pandemi dua tahun lalu cukup menggoyahkan lini produksi hingga pada basis yang paling bawah: peternakan rakyat.

Selanjutnya terkait dengan manajemen. Babak baru PMK menjadi tantangan tersendiri dalam manajemen kesehatan. Industri hingga peternakan kecil milik keluarga perlu dibekali manajemen biosecurity yang baik. 

PMK bukan sekadar vaksinasi lalu hilang, tetapi adalah tentang pengelolaannya. Selain genetik dan lingkungan faktor manajemen juga memberi sumbangsih besar bagi produktivitas ternaknya. Perlu perhatian yang cukup!

Tentang pemasaran produk, juga menjadi hal yang sangat penting. Sebagaimana pengertiannya, peternakan merupakan kegiatan budidaya untuk mendapatkan nilai ekonomis dari hasil ternak yang dikelola. 

Artinya pemasaran akan menopang keberlanjutan budidaya. Hasilnya juga kait erat dengan kesejahteraan peternak. Jika pemasaran produk mengalami stagnansi, bagaimana nasib peternakan kita nanti?

Rencana aksi diperlukan untuk menguatkan jumlah populasi, manajemen produksi dan pemasaran. Riset dan inovasi mungkin menjadi tawaran yang sederhana yang bisa dilakukan. Hal ini akan berdampak pada pengembangan peternakan kedepannya.

Riset yang dilakukan di awal akan menjadi kompas untuk menentukan langkah perbaikan dari hulu hingga hilir. 

Sementara inovasi juga diperlukan untuk meningkatkan nilai dari produk-produk peternakan yang akan dihasilkan. Atau riset untuk inovasi juga dapat dilakukan agar  mengetahui permintaan pasar. Inovasi produk disiapkan dari hasil riset permintaan pasar.

Hari lahir peternakan dan kesehatan hewan nasional perlu disikapi dengan bijak oleh seluruh pemangku kepentingan. Mengingat produk peternakan adalah pangan strategis penunjang pemenuhan protein untuk kemajuan bangsa. Banyak hal yang dapat dilakukan, tentang riset dan inovasi yang sangat memerlukan adanya semangat kolaborasi.

Alih-alih mengingat tag line #pulih lebih cepat, bangkit lebih kuat maka sudah saatnya kita bergerak untuk mewujudkan peternakan yang berkelanjutan dan bermanfaat untuk semua orang. Atau pada skala kecilnya: #Peternak Sejahtera, Kesehatan Hewan Terjaga. Semoga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun