Hal itu secara tidak langsung menciptakan sebuah komunitas yang membawa nilai-nilai kota ke kampung. Apalagi pemuda dan pemudinya. Tidak lagi memakai celana sontog. Tidak lagi ada perempuan berkebaya.
***
GUNTUR...guntur...guntur. Seorang kernet angkot jurusan terminal Guntur-Sukaregang melambai-lambai. Aku dan Neneng berjalan ke arah angkot berwarna hijau itu. 5 tahun yang lalu aku masih sering naik angkot jurusan Guntur-Sukaregang. Pukul setengah tujuh dari terminal dan sampai ke sekolah sekitar pukul tujuh kurang seperempat. Pintu gerbang dikunci kalau sudah lewat dari pukul tujuh. Biasanya kalau terlambat aku tak masuk. Menunggu waktu istirahat tiba. Ya, pintu gerbangnya pasti akan dibuka. Begitulah seterusnya sampai kelas tiga tingkat atas.
"Kiri mang...!"
Ongkosnya 3 ribu berdua. Kubayar dimuka pak sopir dengan tangan kanan. Biasanya pak sopir juga menerimanya dengan tangan kiri. Aneh. Apa tidak tahu atau pura-pura tidak tahu. Pak sopir kebanyakan mengambil ongkos dari penumpangnya dengan tangan kiri. Ah, itu tidak apa-apa. Mungkin tanggung, karena tangan kanan memegang kemudi stir mobil.
Assalamu'alaikum....?!
Wa'alaikum salam...!!
Aduh si geulis udah datang. Siapa ini teh? tanya bu Ida sambil melirik padaku.
Neneng hanya tersipu malu. Merah wajahnya. Dan, ibunya sudah mengerti. Ia langsung mempersilahkanku untuk masuk ke dalam. Kami mengobrol apa saja dengan kedua orang tuanya. Asyik juga. Ternyata tidak seseram yang aku kira. Arah pembicaraannya ngalor-ngidul. Tidak ada pakem tertentu atau tema pembicaraan khusus seperti yang sering dilakukan peserta seminar.
Aku kaget bercampur gembira. Ya, ibu dan bapak mah tergantung pada si Neneng. Kan yang akan berumah tangga juga si Neneng bukan ibu dan bapak. Tapi, yang terpenting kalian harus siap mengarungi samudera kehidupan ini. Saling mengawasi. Menjaga. Memelihara. Dan, bermusyawarah kala ada persoalan-persoalan yang sedang mengimpit.
"Kalau Ujang udah bulat sebulat-bulatnya untuk lakirabi dengan si Neneng, kapan atuh waktunya?".