Tapi, bagaimana dengan hari esok? Kala ibunya Neneng Fatonah meminta kepastian dariku. Aku akan menjawab apa?
Maaf masih menganggur bu! atau berkilah, nanti menunggu beres kuliah, tanggung satu semester lagi, bu.
Tak bisa tenang hati ini. Seakan beban itu makin memberati kepala. Pusing. Aku pusing menjadi-jadi. Halah.., kok ndak bisa tidur begini. Utang ke si Aa warung sudah ku bayar. Kendati belum lunas. Minimalnya tidak sebesar seperti hari kemarin. Wajar kalau tidak bisa tidur juga. Tapi ini. Soal dipanggil calon mertua. Kok bisa-bisanya aku tidak bisa tidur. Ngeyel banget sih!
Tak ingat apa-apa. Akhirnya aku tertidur juga.
***
MATA merah, badan lemah, mulut selalu menguap. Mahasiswa hilir-mudik. Terus kupandangi satu persatu untuk menghilangkan rasa suntuk. Menunggu sang kekasih yang mengajakku pergi ke rumah ibunya di Garut. Neneng pun datang karena telah sedari tadi dia mengajakku untuk bertemu di depan wartel kampus.
"A..., kok kayak yang malamnya begadang. Mata A merah tuh!", ujarnya sambil menunjukkan bahwa dimataku ada sesuatu.
Hehe..!
"A..., naik apaan kita ke Garutnya?", tanya Neneng manja.
"Ya..., naik bus atuh. Emangna bade papah wae?"
"Ih si Aa mah meuni kitu". Matanya memancarkan bahwa ia sudah tak sabar ingin sampai di Garut.
Sudah lima tahun Neneg Fatonah hidup di Bandung. Tapi, ia lahir di Garut kota, tepatnya daerah Bentar Hilir. Karuan saja, ingin bertemu dengan orang tuanya yang telah terlebih dahulu kembali ke Garut dan mengenalkan lelaki pujaannya. Aku si perjaka dari Kampung di daerah pelosok Kabupaten Garut. Terpencil dari keramaian, namun masyarakatnya sudah akrab dengan kehidupan kota. Sebab, masyarakat di kampungku itu banyak yang berprofesi sebagai tukang pangkas rambut. Mereka urban ke kota-kota besar mendagangkan jasanya.