Mohon tunggu...
A. Sukma Asar
A. Sukma Asar Mohon Tunggu... Penulis - Telah menulis beberapa cerpen dan buku fiksi.

Seorang ibu rumah tangga yang menyukai dunia literasi. Hobi ini terus ia cintai sampai sekarang. Beberapa cerpen telah tayang di media Fajar dan telah menelurkan buku fiksi dan cerita anak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Filosofi Tampah

26 Juni 2024   13:00 Diperbarui: 26 Juni 2024   13:08 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


FILOSOFI TAMPAH

Cerpen A. Sukma Asar

Mariana berurai air mata sejak duduk di deretan depan sebuah auditorium gedung mewah. Kedua tangannya serupa ayam jago saling beradu sementara dadanya terasa dipenuhi debaran. Mariana merasa tidak pantas duduk sederet dengan para pejabat teras negeri ini.

Pelan-pelan Mariana mengambil sehelai tisu di tas selempangnya. Air mata yang terus menganak sungai di pipinya masih mengaduk-aduk perasaannya. Ia harus hentikan sebelum acara di panggung dimulai.

Mariana sedikit gelisah. Ia merasa dua orang di dekatnya sedang memerhatikannya. Tersiar bau wangi mahal melintas di area penciumannya.

Mariana risih. Ia sebenarnya ingin pindah duduk di bagian belakang saja. Tetapi ia khawatir semua yang ada di situ telah diatur posisinya dengan nomor masing-masing. Karena waktu ia masuk gedung, di pintu lobi ia diberi kertas kecil seukuran kartu domino. Ia ditanya tujuannya apa. Mungkin petugas itu awalnya tidak mengira, bahwa Mariana yang berpenampilan sangat sederhana itu akan masuk di auditorium mewah. Apalagi acara di dalam berkelas, acara para bintang dan pemenang kompetisi bergengsi. Setelah menjawab pertanyaan sang petugas, tiket Mariana malah ditukar.


"Ibu duduk paling depan, ya," kata petugas tadi.

Mariana tersentak. Dengan pandangan yang tidak percaya ia melangkah ragu ke dalam auditorium. Di sana Mariana kembali bingung. Dilihat begitu, seseorang berpakaian seragam hitam mendekati Mariana dan meminta kertas kecil di tangannya. Petugas itu pun terkejut. Sambil memerhatikan kertas kecil di tangannya, petugas berseragam itu lantas memandang Mariana beberapa jenak. Sedikit mengernyitkan dahi. Meskipun pada akhirnya ia mempersilakan Mariana duduk.

"Bapak dan ibu sekalian. Acara akan segera dimulai."

Debar masih dirasakan Mariana meskipun tak menyangkal ada kehangatan tebal yang membalut jiwanya. Ini karena dua anak perempuannya yang duduk di panggung sana.

Beberapa menit kemudian, nama Mariana disebut. Kedua tangannya sekarang serupa salju abadi di puncak Himalaya. Ia merasa dipilin rasa kikuk.

Seorang berseragam tadi mendekati Mariana dan menuntunnya ke panggung. Dua perempuan cantik sedang menunggunya di rostur masing-masing sambil memegang piala.

Mariana berusaha tenang. SsIa berlutut di depan kedua anak perempuan itu bergantian, menciumi keningnya dan memeluknya erat. Hatinya sedang dibuai haru.

"Terima kasih, Tirta," katanya sambil memeluk perempuan bermata bola indah itu.

"Terima kasih, Bulan," katanya lagi kepada perempuan berambut ikal itu.

Mariana berdiri. Ia diharuskan memberi ucapan sepatah dua kata. Ia diberi mikrofon.

"Hanya Tuhanlah yang memberiku bahagia seperti saat ini. Ini anugerah Tuhan kepada Tirta dan Bulan." Mariana mengakhiri sambutannya. Kini wanita berumur empat puluh lima tahun itu merasa dirinya ringan tanpa beban. Saat Mariana ingin turun dari podium, ia ditahan oleh pembawa acara. "Sebentar, Bu."

Mariana lalu dibimbing agar berada di antara Tirta dan Bulan.

Seorang bapak yang berpakaian rapi dari tempat duduk paling depan berjalan menuju panggung. Ia lalu menerima sebuah papan kecil seukuran TV 14 inchi untuk diberikan kepada Tirta dan Bulan. Di papan itu bertuliskan nominal angka lima puluh juta untuk hadiah Tirta dan Bulan.

Menjelang sinar matahari melemah, ketiganya diantar pulang oleh panitia acara. Jarak kota dengan rumahnya yang jauh membuat Tirta dan Bulan tertidur. Mariana sungguh bersyukur. Sambil menikmati perjalanan, sebuah kenangan berharga sedang berkelindang dalam ingatannya.

*

Lima belas tahun yang lalu. Mariana tidak tahu, apakah ia harus bahagia atau sedih ketika mendapati buah hatinya lahir tidak sempurna. Menurut dokter yang membantu persalinannya, bayi kembar itu tertular cerebral palsy akibat infeksi rubella dari ibunya semasa hamil.

Pada akhirnya Mariana harus menerima kenyataan bahwa bayi kembarnya lumpuh. Mariana berteriak histeris dan meronta-ronta sampai ia harus ditolong beberapa orang suster. Bahkan Mariana harus diberi obat penenang.

Di tengah kegalauan itu seorang suster senior selalu datang menemani, mengusap kepala Mariana dan memberi ucapan-ucapan yang menyejukkan hatinya. Namun Mariana belum bisa menerima sepenuhnya takdir. Setiap malam ia menangis. Kadang ia tidak mau menyusui kedua bayinya sehingga bayi itu menangis sepanjang malam.

Dokter yang menangani persalinan Mariana mencoba memberi penjelasan kenapa ia melahirkan bayi lumpuh. Mendengar itu, Mariana bukannya diam. Ia malah berteriak histeris. Menyesali dirinya yang tidak merawat kesehatannya secara maksimal pada waktu hamil.

Mariana terdiam saat dokter pergi. Air matanya ia susutkan dengan kedua tangannya lalu memandang langit-langit kamar yang berwajah muram. Kembali Mariana berteriak lebih keras sehingga suaranya terdengar di kamar perawatan sebelahnya. Seorang suster datang dan mendapati Mariana sedang mengusap-usap matanya dengan kasar, seolah-olah berusaha menggerus rasa sesal yang terlanjur menyampir di kedua bahunya. Suster itu hanya memberinya minum. Mariana pun tenang.

Setelah suster itu pergi, Mariana kembali berteriak-teriak.

"Mereka bukan anakku! Mereka bukan anakku!"

Teriakan itu mengundang seorang wanita paruh baya dari kamar perawatan sebelah. Ia mencoba masuk menemui Mariana.

"Pergi! Pergi!"

Namun wanita itu bersikap tenang menghadapi Mariana. Ia mencoba tersenyum mendekati Mariana.

Mariana mulai tenang.

"Nak. Semua manusia punya ujian, diberi apa yang tidak bisa ia terima. Seperti kamu, Nak. Mungkin kamu tidak menerima kedua bayimu saat ini, tetapi kamu harus yakin, kedua anakmu itu adalah anugerah di kemudian hari. Rawatlah dengan baik dan sabar, ya, Nak." Tangan wanita itu terus mengelus kepala Mariana. Kehangatan menjalari tubuh Mariana.

"Terima kasih, Bu," katanya lemah.

Tak terasa waktu berjalan. Usia kedua buah hati Mariana sudah dua tahun. Mariana memberi mereka nama Tirta, artinya air penyejuk dan Bulan artinya penerang di malam hari.

Mariana terus mengasuh kedua puterinya dengan sabar. Ucapan-ucapan wanita di rumah sakit terus mengiang-ngiang di area pendengarannya seolah-olah menjadi alarm bagi hidup Mariana yang kadang masih labil.

"Terima kasih orang baik," gumam Mariana setiap ia mengingat wanita itu. Kadang Mariana merindukan dan ingin sekali bertemu kembali dengan wanita yang pernah mengobati kekosongan hatinya. Namun ia tidak tahu ke mana harus ia cari.

Melihat kenyataan kedua puterinya, Mariana kadang putus asa. Kesulitan keuangan membuatnya harus meredam keinginannya berobat ke dokter. Mariana hanyalah seorang penjual makanan di depan rumahnya. Air matanya sering berserak dalam sunyi, tak mampu ia retas saat melihat Tirta dan Bulan tidak dapat berjalan normal.

Hal yang dilakukan Mariana adalah sabar melatih anaknya duduk tegak dan melatih otot lengan dan jari-jarinya. Ia hanya ingin agar kedua anaknya mempunyai keterampilan berguna dalam perjalanan hidupnya kelak.

Setiap hari Mariana mengamati pertumbuhan anaknya dan mempelajari bidang apa yang menjadi minat Tirta dan Bulan.

Memasuki usia empat tahun, Tirta sudah memperlihatkan tanda-tanda ia berminat di seni lukis. Sedangkan Bulan sangat menyukai jika dibacakan dongeng. Di saat kekuatan jari-jari anak-anak itu sudah bisa digunakan, Mariana harus menguras tabungannya untuk membelikan kebutuhan kedua anaknya. Dibelikannya Tirta peralatan melukis yang sederhana, juga Bulan dibelikannya buku bacaan bekas.

Setiap malam Mariana membacakan dongeng atau cerita anak pada kedua anaknya. Tetapi ia selalu bingung setiap mengingat celebral palsy. Bahkan melafazkan saja susah. Apalagi mengerti.

Mariana terus mengusahakan penyembuhan kedua anaknya dengan ramuan dari dedaunan di hutan dan mencari orang pintar di desa tetangganya.

Setiap malam Mariana tiada lelah mengajarkan anaknya baca tulis meskipun tubuhnya sering kuyu. Beruntunglah otak anak-anaknya sehat sehingga mudah menerima pelajaran yang diberikan Mariana.

Sembilan tahun kemudian.

Tirta dan Bulan sudah menjadi siswa SMP Panca Sakti. Mereka adalah anak-anak yang cerdas dan rendah hati. Keterampilan yang diajarkan ibunya sejak balita mengantar keduanya menjadi anak-anak hebat yang berprestasi.

Tirta terus mengasah kemampuannya menjadi seorang pelukis dan Bulan pun kini telah menjelma menjadi seorang penulis buku di usianya yang masih belia.

Ketika ada kompetisi nasional, keduanya sangat berambisi ikut serta. Mariana hanya bisa memberi doa bagi kedua anaknya. Alhasil, Tirta dan Bulan menjadi juara dan mewakili sekolah mereka untuk berkompetisi di ajang internasional.

Air mata Mariana serupa hujan, jika ia tidak menerima takdir Tuhan atas keberadaan Tirta dan Bulan, mungkin ia akan menjadi orang yang kufur nikmat.

Tetapi beruntunglah di kamar perawatannya dulu seorang wanita mau mengajak dirinya menjemput semua takdir Tuhan dengan hati lapang.

"Terima kasih orang baik," ucap Mariana sekali lagi.

*

Tiba di rumah, Mariana tak dapat menahan diri. Ia bergegas membawa Tirta dan Bulan ke dinding di depan kamarnya. Air matanya berserak tak ia peduli.

"Daeng! Anak-anak kita telah memberiku kebahagiaan. Ini piala mereka." Sepuluh jemarinya mengusap foto buram Darming, suaminya.

***

Bionarasi:

Seorang ibu rumah tangga yang menyukai literasi sejak masih sekolah hingga sekarang. Ia telah menulis cerpen dan menghasilkan buku solo. Belajar untuk tulisan lebih baik adalah prinsipnya. Penulis tinggal di kota Makassar. Bisa disapa di medsos: fb : Sukma Akbar, IG : A._Sukma_Akbar

Makassar, 19 Juni 2024.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun