Pada akhirnya Mariana harus menerima kenyataan bahwa bayi kembarnya lumpuh. Mariana berteriak histeris dan meronta-ronta sampai ia harus ditolong beberapa orang suster. Bahkan Mariana harus diberi obat penenang.
Di tengah kegalauan itu seorang suster senior selalu datang menemani, mengusap kepala Mariana dan memberi ucapan-ucapan yang menyejukkan hatinya. Namun Mariana belum bisa menerima sepenuhnya takdir. Setiap malam ia menangis. Kadang ia tidak mau menyusui kedua bayinya sehingga bayi itu menangis sepanjang malam.
Dokter yang menangani persalinan Mariana mencoba memberi penjelasan kenapa ia melahirkan bayi lumpuh. Mendengar itu, Mariana bukannya diam. Ia malah berteriak histeris. Menyesali dirinya yang tidak merawat kesehatannya secara maksimal pada waktu hamil.
Mariana terdiam saat dokter pergi. Air matanya ia susutkan dengan kedua tangannya lalu memandang langit-langit kamar yang berwajah muram. Kembali Mariana berteriak lebih keras sehingga suaranya terdengar di kamar perawatan sebelahnya. Seorang suster datang dan mendapati Mariana sedang mengusap-usap matanya dengan kasar, seolah-olah berusaha menggerus rasa sesal yang terlanjur menyampir di kedua bahunya. Suster itu hanya memberinya minum. Mariana pun tenang.
Setelah suster itu pergi, Mariana kembali berteriak-teriak.
"Mereka bukan anakku! Mereka bukan anakku!"
Teriakan itu mengundang seorang wanita paruh baya dari kamar perawatan sebelah. Ia mencoba masuk menemui Mariana.
"Pergi! Pergi!"
Namun wanita itu bersikap tenang menghadapi Mariana. Ia mencoba tersenyum mendekati Mariana.
Mariana mulai tenang.
"Nak. Semua manusia punya ujian, diberi apa yang tidak bisa ia terima. Seperti kamu, Nak. Mungkin kamu tidak menerima kedua bayimu saat ini, tetapi kamu harus yakin, kedua anakmu itu adalah anugerah di kemudian hari. Rawatlah dengan baik dan sabar, ya, Nak." Tangan wanita itu terus mengelus kepala Mariana. Kehangatan menjalari tubuh Mariana.