PEJUANG SEJATI
Sukir Santoso
Teriakan Jepang itu terdengar lagi. Seorang romusha terkapar di atas tanah galian terkena hantaman popor senapan.
"Bakero!" sebuah tendangan mendarat di tubuh romusha itu ketika ia berusaha merangkak bangkit. Kembali ia terguling dan jatuh merosot ke dalam lubang.
Jepang itu berkacak pingang penuh kemenangan melihat romusa tergeletak pingsan.
Melihat kekejaman seperti ini kami tidak bisa berbuat apa-apa. Bila kami berani menolong berarti mala petaka lain akan terjadi. Bisa-bisa kami hantaman popor atau lecutan cambuk bahkan tusukan bayonet. Kami terus menggali meskipun kondisi perut lapar dan badan letih.
Kondisi para romusha di Mbay sangat menderita. Seragam kami terdiri dari baju dan celana yang tidak layak dipakai untuk manusia. Dari karung goni. Goni kasar yang akan membuat kutu kerasan untuk beranak-pinak. Bila dipakai akan terasa gatal.
Makanan kami begitu pula. Dari rebusan ubi ke rebusan ubi. Hanya tiga hari sekali kami diberi ransum nasi dengan lauk ikan asin. Tubuh kami yang dulu kekar dan gemuk, terus bertambah kurus dengan tulang-tulang semakin menonjol.
Kerja kami sedemikian berat. Meskipun badan sudah lemah kami terus dipaksa untuk bekerja siang malam di bawah ancaman lecutan cambuk dan pukulan potongan besi atau popor senapan.
Selama keja paksa di Mbay, sudah banyak para teman romusha yang meninggal. Sebagian meninggal karena sisksaan para tentara jepang karena tertangkap akan melarikan diri. Sebagian lagi tak kuat menerima hantaman dan lecutan cambuk ketika bekerja. Sebagian yang lain karena terserang malaria, desentri atau karena kelelahan dan kelaparan.
Hari itu kami menyelesaikan galian bunker  yang memanjang 28 meteran dengan lebar 2 meter dan kedalaman sekitar 3 meter. Itu merupakan bunker yang ke 8. Bunker yang telah kami buat sebanyak 7 buah dan bunker-bunker itu dihubungkan dengan parit sedalam satu setengah meter.