Mohon tunggu...
Suhut Tumpal Sinaga
Suhut Tumpal Sinaga Mohon Tunggu... Dosen - Mahasiswa

Mahasiswa sekaligus dosen. Pengajar sekaligus pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pajak Transaksi Elektronik

13 Maret 2020   09:50 Diperbarui: 13 Maret 2020   12:05 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Terbit di Kolom Opini Kompas 05/03/2020)

Tidak lama lagi Omnibus Law Perpajakan akan segera terbit. Draft Rancangan Undang-Undang (RUU) dengan nama resmi RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian (KFPPP) ini sudah rampung dan sudah dikirim ke DPR supaya segera dibahas.

Salah satu pengaturan yang baru di dalam RUU ini adalah tentang pemajakan transaksi elektronik. Caranya yaitu dengan menunjuk platform asing atau penjual daring asing menjadi Pemungut PPN dan bagi yang memenuhi kriteria tertentu (significance economic presence) akan dikenai pajak penghasilan. Pada saat yang bersamaan, isu tentang pemajakan transaksi elektronik ini sedang menjadi topik yang hangat di sejumlah negara.

Menjelang akhir Januari lalu, Presiden AS Donald Trump dan Presiden Perancis Emmanuel Macron diberitakan sepakat untuk "gencatan senjata" dari perselisihan akibat rencana pajak digital (Businessinsider, 21/01/2020). Presiden Trump sebelumnya mengancam akan mengenakan tariff sangat tinggi (hingga 100%) terhadap impor mobil, keju, minuman anggur dan barang lainnya dari negara-negara Eropa. Ini sebagai balasan (retaliasi) terhadap rencana beberapa negara Eropa untuk mengenakan pajak digital secara unilateral.

Perancis misalnya, berniat mengenakan pajak tambahan 3% dari penjualan yang dilakukan oleh perusahaan teknologi digital (sehingga populer dikenal sebagai pajak digital). Inggris berencana mengenakan pajak yang mirip sebesar 2% mulai April ini. Italia juga sudah mengumumkan akan mengenakan pajak sebesar 3% dari transaksi internet.

Turki bahkan berencana mengenakan pajak serupa dengan tariff 7,5%. Austria, Spanyol, dan Belgia pun sudah mengumumkan rencana serupa. Meskipun tidak secara spesifik menyasar perusahaan global asal AS, namun tidak bisa dipungkiri banyak di antaranya yang terkena dampak adalah perusahaan yang berbasis di AS, seperti Google, Apple, Facebook, Amazon, Netflix, Uber, AirBnB, dll.

Rencana pengenaan pajak digital secara sepihak ini merupakan wujud dari rasa frustasi negara-negara Eropa karena selama ini para raksasa digital itu begitu leluasa mendapatkan penghasilan di negara mereka dengan hanya membayar pajak terlalu sedikit dibandingkan dengan laba yang mereka raup. Pada tahun 2018, Komisi Eropa melaporkan bahwa perusahaan dengan bisnis model online rata-rata hanya membayar pajak sekitar 9% dari penghasilan (effective tax rate). Jauh lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan konvensional yang sebanding, yaitu rata-rata membayar sekitar 23%.

Para Menteri Keuangan negara-negara Uni Eropa sebenarnya sudah beberapa kali menggelar pertemuan untuk membahas rencana mengenakan pajak digital secara seragam di seluruh 28 negara anggota Uni Eropa. Tetapi sudut pandang dan kepentingan yang berbeda-beda membuat mereka gagal untuk mencapai kesepakatan.

Setidaknya ada empat negara, yaitu Swedia, Finlandia, Denmark dan Irlandia, yang menolak untuk menyepakati konsensus. Karena itu beberapa negara pun berencana untuk mengenakan pajak secara sepihak. Hal ini yang dikhawatirkan akan memicu perang dagang baru dengan melibatkan AS melawan Eropa dan bisa menambah buruk perekonomian dunia yang sedang lesu saat ini akibat perang dagang antara AS melawan Cina yang belum usai.

Selain negara-negara Uni Eropa, sebenarnya beberapa negara lain juga sudah mengenakan pajak atas transaksi digital tanpa mendapat penolakan berarti dari AS. Misalnya India, sejak 2016 sudah mengenakan pajak bernama equalization levy sebesar 6% atas layanan iklan online yang dibayar oleh residen India kepada non-residen yang tidak memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT) di India. Pajak ini dibayar langsung oleh konsumen dalam negeri India kepada pemerintah, sehingga secara substansi lebih merupakan pajak konsumsi daripada sebagai pajak penghasilan (PPh). Australia sejak Juli 2017 mengenakan pajak konsumsi (GST) atas impor barang dan jasa secara digital dengan tariff 10%. Pajak ini wajib dipungut dan disetor oleh platform penjual, atau operator yang ditunjuk oleh platform, tanpa batas minimal omset.

Secara teori ekonomi, sebenarnya beban pengenaan pajak konsumsi dan pajak penghasilan akan ditanggung bersama oleh penjual dan pembeli, secara proporsional tergantung dari elastisitas permintaan dan penjualan. Namun dalam praktiknya, pada umumnya masih menganut bahwa pajak konsumsi adalah merupakan otoritas negara sumber penghasilan, sedangkan pajak penghasilan merupakan otoritas negara domisili. Hal inilah yang membuat pengenaan pajak konsumsi tidak mendapat penolakan, sedangkan pajak penghasilan mendapat ancaman aksi retaliasi.

Rencana Indonesia dalam RUU KFPPP

Pasal 17 ayat (1) huruf (d) RUU KFPPP berencana untuk mengenakan pajak penghasilan atau pajak transaksi elektronik (pajak digital) berdasarkan kehadiran ekonomi signifikan dengan tariff dan dasar pengenaan pajak (DPP) yang akan ditetapkan kemudian oleh Peraturan Pemerintah. Tampaknya Indonesia akan meniru langkah beberapa negara Uni Eropa yang mengenakan pajak digital dengan berbasis kepada penjualan bruto.

Dibandingkan dengan pengenaan pajak berbasis laba netto, mekanisme perhitungan berbasis penjualan bruto memang jauh lebih sederhana. Tetapi sayangnya tidak efisien dan berpotensi menjadi pajak berganda. Pengenaan pajak digital secara sepihak, tanpa konsensus bersama secara internasional, akan meningkatkan risiko terjadi pengenaan pajak berganda. Hal ini akan menjauhkan dari prinsip kepastian dan efisiensi ekonomi. Wewenang penentuan tariff dan DPP yang didelegasikan kepada pemerintah, juga berarti bahwa tariff dan DPP dapat berubah-ubah lebih sering sehingga semakin jauh dari prinsip kepastian usaha.

Perlakuan pajak digital yang berbeda dibandingkan dengan usaha konvensional ini justru bertentangan dengan prinsip kesetaraan perlakuan (level playing field atau prinsip netralitas) yang ingin diusung oleh RUU ini. Karena itu akan berisiko besar mendapat tudingan diskriminatif yang akan mengundang aksi balasan (retaliasi).

Apakah Indonesia sudah siap jika nanti Presiden Trump mengancam akan mengenakan tariff retaliasi atas produk-produk Indonesia? Perancis, Inggris, dan negara-negara Eropa lain saja sudah memikirkan ulang rencana mereka setelah mendapat ancaman AS. Perancis dan Inggris juga berargumen bahwa pengenaan pajak digital mereka hanya bersifat sementara waktu hingga disepakati konsensus bersama secara internasional. Tetap saja tidak mengurungkan ancaman aksi retaliasi dari AS.

Pasal 18 ayat (2) berencana untuk menunjuk platform digital atau penjual luar negeri sebagai pihak yang akan berkewajiban untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas penjualan Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud dan Jasa Kena Pajak (JKP) di Indonesia.

Pengaturan ini membuat mereka seolah sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Tentu mereka akan menjadi PKP tanpa Pajak Masukan sama sekali. Artinya akan ada aliran devisa tambahan ke luar Indonesia setidaknya untuk sementara waktu. Sedangkan ketentuan lain terkait pengenaan PPN tetap mengikuti ketentuan umum menurut UU PPN. Misalnya Pasal 17 ayat (1) huruf (b) tentang pengenaan PPN atas penyerahan BKP atau JKP di dalam daerah pabean dan impor BKP berwujud pada dasarnya masih sama dengan ketentuan PPN yang berlaku selama ini.

Pertanyaannya, apakah ketentuan ini akan berhasil mengumpulkan pajak sebagaimana yang diinginkan? Apakah para pengusaha digital itu akan patuh begitu saja atau akan mencari berbagai cara untuk mengelak dari ketentuan ini? Apakah DJP punya mekanisme yang efektif untuk memaksa mereka patuh? Membuat aturan tentang pajak digital bisa jadi persoalan mudah, tetapi untuk memastikan bahwa pelaksanaannya nanti dapat mencapai tujuan yang diharapkan itu persoalan lain lagi.

Jangankan untuk memajaki platform digital asing, platform digital domestik saja masih sulit untuk dipajaki dengan efektif dan efisien. Kisah tentang Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 210/PMK.10/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik adalah bukti nyata kesulitannya. PMK ini diterbitkan pada Desember 2018 namun kemudian dicabut sebelum sempat berlaku sesuai rencana pada April 2019 karena menimbulkan polemik.

Tantangan utama dalam pengenaan pajak atas transaksi elektronik adalah pembuatan mekanisme dan tata administrasi yang efektif dan efisien. Hal ini mengingat karakter dari transaksi elektronik yang biasa dikenal dengan 5V, yaitu volume (yang sangat besar), velocity (kecepatan yang sangat tinggi), variety (keberagaman), value (nilai dari data), dan veracity (keakuratan). Mekanisme dan tata administrasi yang konvensional dan manual tidak akan mampu lagi menanganinya.

Cara yang tepat menurut saya adalah dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi juga. Ketentuan formal dan materil perpajakannya tidak perlu banyak dirubah supaya bisa menjamin level playing field yang sama (prinsip netralitas). Misalnya untuk mengenakan PPN atas penjualan melalui marketplace. Tidak perlu memaksa marketplace menjadi PKP (jika belum memenuhi kriteria menurut UU PPN) atau memaksa mereka mengumpulkan data dari pedagang daring di marketplace sebagaimana sempat diatur oleh PMK-210. Hal ini hanya akan menambah berat compliance cost saja.

Bagaimana Solusinya?

Jika pada artikel saya di harian Kompas (29/01/2019) saya mengusulkan agar menunjuk marketplace sebagai wajib pungut PPh PP nomor 23/2018, maka sekarang saya mengusulkan agar DJP membuat suatu protokol komunikasi atau interface di setiap aplikasi dan alamat web yang melakukan transaksi secara daring di Indonesia. Protokol ini, sering dikenal sebagai application programming interface (API), akan menjadi semacam pintu yang menghubungkan setiap aplikasi dan alamat web dengan server milik DJP secara otomatis.

API ini harus terhubung langsung dengan server DJP, jangan melalui pihak ketiga lagi. Dengan demikian tidak perlu menambah beban pengusaha dengan menunjuk mereka menjadi BUT, PKP, atau sekedar jadi pemungut atau pengumpul data. Dengan API ini, DJP dapat mengenakan pajak apapun yang diinginkannya (tentu yang tidak bersifat diskriminatif). Beban DJP untuk melakukan administrasi dan pengawasan pun dapat diminimalkan.

Misalnya untuk pengenaan PPN atas penjualan BKP di dalam daerah pabean melalui online marketplace semacam Bukalapak, Tokopedia, Youbli, dll. Protokol API akan otomatis memungut PPN dan membuat Faktur Pajak atas setiap transaksi yang dilakukan oleh merchant. Data faktur pajak ini akan otomatis masuk ke server DJP melalui API dan akan disandingkan nanti dengan SPT yang dilaporkan oleh merchant ke DJP.

Jika merchant mengaku bahwa dirinya tidak memenuhi syarat sebagai PKP (saat ini omset kurang dari 4,8 miliar setahun), maka sesuai dengan ketentuan Pasal 16F UU PPN bahwa pembeli bertanggungjawab secara renteng atas pembayaran pajak. Dengan demikian transaksi tetap dikenakan PPN, tetapi uang pajak yang dibayar pembeli akan langsung disetor ke rekening pemerintah di bank tanpa melalui rekening merchant. Hal ini akan membuat prinsip netralitas lebih terjamin.

Begitu juga dengan transaksi melalui online retail semacam Mizanstore, Mensrepublic, Brodo, dll. Protokol API akan otomatis mengirimkan data transaksi penjualan yang terjadi sehingga tidak ada ruang bagi Wajib Pajak untuk menyembunyikan omsetnya. PPN tetap dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh penjual sebagaimana mekanisme umum.

Data transaksi yang dikumpulkan lewat protokol API ini juga akan bermanfaat untuk pengawasan data omset yang dilaporkan Wajib Pajak dalam SPT PPh, baik untuk transaksi yang dilakukan melalui online marketplace maupun online retail. Khusus untuk Wajib Pajak yang dikenakan PPh Final 0,5% berdasarkan PP nomor 23 tahun 2018, protokol API dapat berfungsi secara tuntas.

Artinya bahwa PPh akan dipungut dari setiap transaksi secara otomatis dan uang pajak yang dibayar akan disetor secara langsung ke rekening pemerintah di bank. Jadi Wajib Pajak PP-23 ini tidak perlu lagi menghitung dan membayar pajak nya yang terutang setiap bulan. Prinsip kepastian dan kesederhanaan pun terpenuhi. Pengusaha dapat fokus kepada usahanya tanpa dibebani oleh kewajiban administratif pajak yang rumit. Otomatis kepatuhan Wajib Pajak pun akan tercapai 100%.

Pengenaan pajak atas transaksi JKP melalui internet secara domestik semacam Sribulancer, Sejasa, Gojek, dll. juga tidak menjadi masalah. Mekanisme pengenaan PPN dan PPh nya sama saja seperti transaksi BKP di atas. Dalam hal terdapat penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh, misalnya PPh 21 atau PPh 23, maka protokol API pun dapat digunakan. Hal ini juga dapat diterapkan untuk memotong pajak penghasilan dan memungut PPN pada aplikasi pinjaman online semacam Amartha, Modalku, Uang Teman, dll.

Kemudian untuk pengenaan pajak atas transaksi dari luar negeri. Ketentuan legal dan materialnya tetap sama dengan transaksi konvensional yaitu Pasal 4 ayat (1) UU PPN yang menyatakan bahwa PPN dikenakan atas impor BKP, BKP tidak berwujud, dan JKP. Penjual dari luar negeri tidak wajib menjadi PKP (jika tidak memenuhi syarat sebagai BUT) dan tidak ada batas minimal transaksi untuk dikenakan pajak (aturan de minimis).

PPN impor ini, sebagaimana pada transaksi impor konvensional, dikenakan sekaligus dengan pajak dalam rangka impor (PDRI) lainnya yaitu PPN, PPnBM, PPh Pasal 22 impor, ditambah cukai dan Bea Masuk. Protokol API harus mampu mengidentifikasi setiap jenis barang dan jasa, jenis pajak yang terutang, dan kelompok tarifnya.

Konsumen dalam negeri akan membayar harga barang atau jasa ditambah dengan PDRI, cukai dan bea masuk. Tetapi API akan otomatis memilah uang pajak dari harga barang. Uang pajak masuk ke rekening pemerintah, sedangkan uang pembelian barang atau jasa langsung ke penjual luar negeri. Jika dianggap masih kurang, pemerintah masih dapat menambah objek barang kena cukai, misalnya untuk pembelian game, produk turunan game, judi online, atau kantong plastik, minuman ringan berpemanis, dan kendaraan bermotor sebagaimana yang sekarang juga sedang direncanakan.

Selama format pengenaan pajak digital ini dikemas sebagai pajak atas konsumsi, mestinya tidak akan ada penolakan dari negara domisili perusahaan digital seperti AS. Sedangkan untuk pengenaan pajak penghasilan, sebaiknya Indonesia menunggu hingga komunitas internasional, seperti OECD dan G20, berhasil mencapai kesepakatan tentang formula yang tepat dalam pengenaan pajak digital. Hal ini untuk menghindari aksi retaliasi. 

Tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan teknologi yang sangat pesat akan pula merubah proses bisnis dunia usaha. Otoritas pajak harus mampu untuk selalu mengikuti perubahan ini. Jangan monoton hanya mengandalkan mekanisme pemungutan pajak yang konvensional dan manual saja. Misalnya bagaimana cara pemanfaatan teknologi blockchain, virtual reality, 3D printing, dan artificial intelligence dalam pengenaan pajak harus mulai dipikirkan. Hal ini dilakukan dengan tetap memegang teguh prinsip pengenaan pajak yang secara tradisional sudah diakui sedari dulu, yaitu netralitas, efisiensi, kepastian, kesederhanaan, dan keadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun