Konsumen dalam negeri akan membayar harga barang atau jasa ditambah dengan PDRI, cukai dan bea masuk. Tetapi API akan otomatis memilah uang pajak dari harga barang. Uang pajak masuk ke rekening pemerintah, sedangkan uang pembelian barang atau jasa langsung ke penjual luar negeri. Jika dianggap masih kurang, pemerintah masih dapat menambah objek barang kena cukai, misalnya untuk pembelian game, produk turunan game, judi online, atau kantong plastik, minuman ringan berpemanis, dan kendaraan bermotor sebagaimana yang sekarang juga sedang direncanakan.
Selama format pengenaan pajak digital ini dikemas sebagai pajak atas konsumsi, mestinya tidak akan ada penolakan dari negara domisili perusahaan digital seperti AS. Sedangkan untuk pengenaan pajak penghasilan, sebaiknya Indonesia menunggu hingga komunitas internasional, seperti OECD dan G20, berhasil mencapai kesepakatan tentang formula yang tepat dalam pengenaan pajak digital. Hal ini untuk menghindari aksi retaliasi.Â
Tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan teknologi yang sangat pesat akan pula merubah proses bisnis dunia usaha. Otoritas pajak harus mampu untuk selalu mengikuti perubahan ini. Jangan monoton hanya mengandalkan mekanisme pemungutan pajak yang konvensional dan manual saja. Misalnya bagaimana cara pemanfaatan teknologi blockchain, virtual reality, 3D printing, dan artificial intelligence dalam pengenaan pajak harus mulai dipikirkan. Hal ini dilakukan dengan tetap memegang teguh prinsip pengenaan pajak yang secara tradisional sudah diakui sedari dulu, yaitu netralitas, efisiensi, kepastian, kesederhanaan, dan keadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H