Mohon tunggu...
Suhut Tumpal Sinaga
Suhut Tumpal Sinaga Mohon Tunggu... Dosen - Mahasiswa

Mahasiswa sekaligus dosen. Pengajar sekaligus pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pajak Transaksi Elektronik

13 Maret 2020   09:50 Diperbarui: 13 Maret 2020   12:05 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rencana Indonesia dalam RUU KFPPP

Pasal 17 ayat (1) huruf (d) RUU KFPPP berencana untuk mengenakan pajak penghasilan atau pajak transaksi elektronik (pajak digital) berdasarkan kehadiran ekonomi signifikan dengan tariff dan dasar pengenaan pajak (DPP) yang akan ditetapkan kemudian oleh Peraturan Pemerintah. Tampaknya Indonesia akan meniru langkah beberapa negara Uni Eropa yang mengenakan pajak digital dengan berbasis kepada penjualan bruto.

Dibandingkan dengan pengenaan pajak berbasis laba netto, mekanisme perhitungan berbasis penjualan bruto memang jauh lebih sederhana. Tetapi sayangnya tidak efisien dan berpotensi menjadi pajak berganda. Pengenaan pajak digital secara sepihak, tanpa konsensus bersama secara internasional, akan meningkatkan risiko terjadi pengenaan pajak berganda. Hal ini akan menjauhkan dari prinsip kepastian dan efisiensi ekonomi. Wewenang penentuan tariff dan DPP yang didelegasikan kepada pemerintah, juga berarti bahwa tariff dan DPP dapat berubah-ubah lebih sering sehingga semakin jauh dari prinsip kepastian usaha.

Perlakuan pajak digital yang berbeda dibandingkan dengan usaha konvensional ini justru bertentangan dengan prinsip kesetaraan perlakuan (level playing field atau prinsip netralitas) yang ingin diusung oleh RUU ini. Karena itu akan berisiko besar mendapat tudingan diskriminatif yang akan mengundang aksi balasan (retaliasi).

Apakah Indonesia sudah siap jika nanti Presiden Trump mengancam akan mengenakan tariff retaliasi atas produk-produk Indonesia? Perancis, Inggris, dan negara-negara Eropa lain saja sudah memikirkan ulang rencana mereka setelah mendapat ancaman AS. Perancis dan Inggris juga berargumen bahwa pengenaan pajak digital mereka hanya bersifat sementara waktu hingga disepakati konsensus bersama secara internasional. Tetap saja tidak mengurungkan ancaman aksi retaliasi dari AS.

Pasal 18 ayat (2) berencana untuk menunjuk platform digital atau penjual luar negeri sebagai pihak yang akan berkewajiban untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas penjualan Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud dan Jasa Kena Pajak (JKP) di Indonesia.

Pengaturan ini membuat mereka seolah sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Tentu mereka akan menjadi PKP tanpa Pajak Masukan sama sekali. Artinya akan ada aliran devisa tambahan ke luar Indonesia setidaknya untuk sementara waktu. Sedangkan ketentuan lain terkait pengenaan PPN tetap mengikuti ketentuan umum menurut UU PPN. Misalnya Pasal 17 ayat (1) huruf (b) tentang pengenaan PPN atas penyerahan BKP atau JKP di dalam daerah pabean dan impor BKP berwujud pada dasarnya masih sama dengan ketentuan PPN yang berlaku selama ini.

Pertanyaannya, apakah ketentuan ini akan berhasil mengumpulkan pajak sebagaimana yang diinginkan? Apakah para pengusaha digital itu akan patuh begitu saja atau akan mencari berbagai cara untuk mengelak dari ketentuan ini? Apakah DJP punya mekanisme yang efektif untuk memaksa mereka patuh? Membuat aturan tentang pajak digital bisa jadi persoalan mudah, tetapi untuk memastikan bahwa pelaksanaannya nanti dapat mencapai tujuan yang diharapkan itu persoalan lain lagi.

Jangankan untuk memajaki platform digital asing, platform digital domestik saja masih sulit untuk dipajaki dengan efektif dan efisien. Kisah tentang Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 210/PMK.10/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik adalah bukti nyata kesulitannya. PMK ini diterbitkan pada Desember 2018 namun kemudian dicabut sebelum sempat berlaku sesuai rencana pada April 2019 karena menimbulkan polemik.

Tantangan utama dalam pengenaan pajak atas transaksi elektronik adalah pembuatan mekanisme dan tata administrasi yang efektif dan efisien. Hal ini mengingat karakter dari transaksi elektronik yang biasa dikenal dengan 5V, yaitu volume (yang sangat besar), velocity (kecepatan yang sangat tinggi), variety (keberagaman), value (nilai dari data), dan veracity (keakuratan). Mekanisme dan tata administrasi yang konvensional dan manual tidak akan mampu lagi menanganinya.

Cara yang tepat menurut saya adalah dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi juga. Ketentuan formal dan materil perpajakannya tidak perlu banyak dirubah supaya bisa menjamin level playing field yang sama (prinsip netralitas). Misalnya untuk mengenakan PPN atas penjualan melalui marketplace. Tidak perlu memaksa marketplace menjadi PKP (jika belum memenuhi kriteria menurut UU PPN) atau memaksa mereka mengumpulkan data dari pedagang daring di marketplace sebagaimana sempat diatur oleh PMK-210. Hal ini hanya akan menambah berat compliance cost saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun