Mohon tunggu...
Muhammad Suhud
Muhammad Suhud Mohon Tunggu... -

Lahir di Aceh, 18 Juni 1966, alumni Fakultas Ekonomi, UIA Jakarta. Sejak tahun 1990 bekerja di sebuah NGO Nasional, Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita, saat ini sebagai Manajer Sekretariat dan Koordinator Divisi Audio Visual. Sudah banyak memproduksi video untuk pemberdayaan masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kematian Itu Pasti Datang...

4 Oktober 2012   04:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:17 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siang itu HP-ku berdering, “Assalamu’alaikum, Hud, ini ada yang mau ngomong” kata kakaku Darsiah yang biasa kami sapa Yu Yah.

Aku mencoba menerka, siapa gerangan yang mau bicara. Selagi aku berfikir tiba-tiba suara telepon sudah berganti.

“Assamu’alaikum...” terdengar lirih suara itu.

“Wa’alaikumsalam, Subhanallah... Neng. Kamu sudah bisa bicara. Alhamdulillahirobbil’alamin” jawabku.  “Kakang seneng banget mendengar suaramu”.

Aku memang sangat bahagia mendengar suara itu. Bagaimana tidak, Ganeng  adikku yang nama aslinya adalah Suarsono, sudah 5 hari tidak sadar dan sudah dinyatakan koma di ruang ICU RSU Takengon, karena penyakit Hepatitis B, ternyata sudah sadar dan bisa bicara denganku.

“Kakang sudah pesen tiket pesawat, lusa Insya Allah kita bisa ketemu”. Kataku menambahkan.

“Kakang sampe cuti kerja mau pulang? Nggak usah ngerepotin kang. Insya allah aku segera sembuh kok”, kata adikku terbata-bata.

“Nggak apa-apa, kakang sudah niat kok mau pulang bezuk kamu. Seharusnya sudah sejak tiga hari lalu. Tapi karena aku juga sakit, jadi diundur pulangnya”. Kataku menjelaskan.

Sudah sekitar seminggu memang aku meriang, badanku panas dingin dan batuk. Selain itu, dua dari tiga anakku juga meriang, bahkan Nadif si bungsu sudah 2 minggu batuk. Sudah ke dokter dan minum beberapa merek obat batuk anak, tapi belum sembuh juga.

Alhamdulillah, lega hatiku mendengar adikku sudah sehat kembali, walau masih terbaring lemah di ruang ICU. Kemudian aku juga menulis doa melalui wall Facebook-ku “Ya Allah sembuhkanlah adik kami Suarsono yang saat ini telah mulai pulih kesadarannya. Aku sangat merindukannya. Segarkanlah badanku yang sedang meriang ini, agar aku bisa segera pulang untuk bertemu dengannya. Sehatkan juga istri dan anak-anakku semua. Amiin ya Rabbal Alamiin”.

Siang itu aku bisa lebih tenang mengerjakan tugas-tugas kantor, hampir setiap jam aku kontak kakak dan adik adikku yang menjaga di RS via telepon maupun SMS untuk menanyakan perkembangan Ganeng.

Sore hari pulang kerja aku berobat ke dokter, berharap agar saat aku pulang ke Aceh lusa, badanku sudah fit dan batukku reda. Maklum perjalanan Jakarta-Takengon (Aceh Tengah) adalah perjalanan panjang yang melelahkan, 2,5 Jam penerbangan Jakarta-Medan ditambah dengan 11 jam Medan-Takengon dengan bus malam.

Sesuai anjuran dokter, hingga di rumah aku langsung meminum obat, setelah istirahat cukup, 3 jam kemudian aku minum lagi obat tersebut. Alamdulillah setelah tidur semaleman, bangun pagi badanku sudah lebih sehat.

Sebelum berangkat kerja, aku sempatkan telepon ke Bahar, adik yang persis dibawahku, Bahar mengabarkan kalau Ganeng, masih tetap sehat, namun agak sedikit lemas, mungkin karena pengaruh obat, aku berangkat kerja lebih tenang pagi itu.

Siang sambil bekerja di kantor, aku cek lagi perkembangan Ganeng, Yu Yah mengabarkan kondisi Ganeng agak melemah lagi, bicaranya mulai meracau. “Ya allah sehatkanlah kembali adikku seperti kemarin, angkatlah semua penyakitnya. Agar ia dapat berkumpul kembali beserta keluarganya dan keluarga besar kami semua”. Aku tak pernah berhenti berdoa untuk kesembuhan adikku.

Aku takut sekali kehilangan adikku, seperti yang kualami kemarin malam. Waktu aku bersepeda dengan anakku Nadif yang berusia 6 tahun. Kami mengayuh sepeda masing-masing mendaki gunung. Ransel berisi perlengkapan dan pakaian ganti Nadif tergantung di pundakku. Diatas gunung itu aku memandikan Nadif dibawah air pancuran yang sangat jernih dan dingin. Setelah menggantikan pakaiannya, kami kembali naik sepeda menuruni gunung. Tak berapa lama kami tiba di sebuah gedung yang amat luas, didalamnya sedang berkumpul keluarga besarku di kampung, menyaksikan bertunjukan tarian, yang bernuansa antara irama padang pasir dan melayu. Diiringi nyanyian suara laki-laki yang sangat merdu dan indah sekali, sangat selaras dengan tariannya.

“Ya Allah itu kan suara Ganeng, dia sedang sakit, tapi bisa bernyanyi seindah itu”, kataku bertanya pada orang-orang yang sedang menyaksikan pertunjukan itu.

“Ya kang itu memang suara Ganeng, dia nyanyi sambil duduk, kata Mar, adik iparku. Kesana saja kang” katanya.

Aku kedepan menghampiri Ganeng, dia duduk membelakangiku, sambil terus bernyanyi. “Ya Allah Ganeng, kamu sudah sembuh dan bisa nyanyi, aku kangen banget... Aku ingin memelukmu melepas rinduku...”

Dia menoleh padaku sejenak, aku memeluknya... Namun saat aku peluk tiba-tiba Ganeng menghilang dari hadapanku, aku menangis histeris, “Neng, Ganeng.... kamu dimana. Aku ingin memelukmu...” Aku terus menangis, “Aku nggak mau kehilanganmu..... Aku kangen kamu” aku menjerit histeris.

“Wis kang, jangan nangis, Ganeng ada kok, dia ndak pergi...” kata Mar

“Ia tapi mana Ganeng...” aku terus menangis tersedu-sedu, semua saudaraku yang ada di ruangan itu menghibur dan mencoba mendiamkan tangisku. Tapi aku tak bisa berhenti. Tangisku semakin kencang. Aku belum siap kehilangan adikku.

“Pa…Pa.., Papa bangun... badan Papa panas, mimpi ya...” Dalam setengah sadar, terdengar istriku membangunkan aku.

Tangisku tak berhenti... “Aku mimpi kehilangan Ganeng.. aku tidak mau kehilangan dia”. Walau sudah terbangun dari tidur, aku tak bisa menghentikan tangisku. Aku terus menangis meraung-raung di malam sepi itu.

“Mana HP-ku totong telepon Imbar, mungkin dia sedang jaga Ganeng di RS, tanyakan kabar Ganeng sekarang” kataku memohon pada istriku.

Ternyata malam itu Imbar, adik bungsuku yang persis dibawah Ganeng sedang istirahat di rumah, yang jaga di RS giliran Bahar. Sambil terus menangis aku telpon Bahar “Gimana kabar Ganeng Har” kataku setelah terlepon tersambung.

Alhamdulillah sudah sehat kok Kang, ini sedang tidur pules dia, tadi sudah shalat Isya” kata Bahar mengabarkan.

Tit-tit-tit suara khas peralatan ICU terdengar sayup-sayup di antara suara Bahar. “Alhamudulillah, aku khawatir sekali. Barusan aku mimpi Ganeng, tapi saat ku peluk dia hilang” kataku, sambil terus sesenggukan.

“Tidak apa-apa kang, Insya Allah Ganeng akan selalu sehat. Mudah-mudahan itu cuma mimpi” Kata Bahar menenangkan aku.

Jawaban Bahar memang menyejukkan, tapi tangisku tak terhenti, backsound ruang ICU itu, selalu menghantuiku. Sambil terus menangis, aku beranjak ke kamar mandi. Berwudhu dan shalat Malam. Sambil terisak aku selesaikan shalat malam 2 rakaat, dan berdoa, memohon kesembuhan untuk adikku, tanpa sadar aku menangis lagi. “Ya Allah semoga ini hanya mimpi. Sayangilah tiga putrinya yang masih kecip-kecil, mereka belum siap kehilangan ayahnya. Sembuhkanlah adikku, agar ia bisa kembali berkumpul bersama keluarganya kembali. Amin ya Rab”.

Saat aku mengingat mimpi itu, mataku kembali basah, padahal aku sedang bekerja di depan komputer kantor. Tiba-tiba suara HP-ku berdering, dag-dig-dug, aku angkat telepon itu...

“Hud apakah tiket pesawatmu bisa dimajukan pulang siang ini ?” kata Yu Yah di ujung telepon. Jantungku berdegup kencang “Ya Allah, gimana perkembangan Ganeng Yu” tanyaku cemas.

“Kondisinya memburuk lagi” kata Kakakku di ujung telepon.

“Ya ya aku usahakan. Mudah-mudahan masih ada tiket pesawat. Saat sedang mencoba merubah jadwal, aku berfkir, waktu sudah menujukkan jam 14.00.  Jika pesawat ada, aku harus pulang dulu dari kantor ke rumah, untuk mempersiapkan pakaian. Pejalanan pulang 2 jam, lalu aku ke bandara, paling cepat 2 jam. Jadi jam 18.00 sampai bandara. Jika terbang jam 19.00, jam 21.30 baru sampai medan. Padahal jam 20.00 bus malam terakhir ke Medan-Takengon.  Akhirnya aku urungkan merubah jadwal. Aku selalu memantau perkembangan Ganeng, semoga perkembangan kesehatannya semakin membaik.

Tepat jam 7 saat makan malam, HP-ku berdering, jantungku berdegub kencang. “Assalamualikum Kang Suhud..” terdengar suara Bahar di ujung telepon. “Ga usah sedih ya Kang, yang sabar... Ganeng sudah pergi mendahului kita...” Innalillahi wa innaillaihi rojiun...serasa disambar petir aku meneriman kabar itu.

Aku tak sanggup menyelesaikan makan malam itu, aku lemas, mataku basah, aku merasa bersalah mengapa aku tidak pulang setelah mimpi itu. Jika saja aku pulang, tentu masih sempat melihat Ganeng. Atau jika saja tadi aku sudah bawa pakaian ke kantor, dan langsung ke bandara, ketika medapat kabar kondisi Ganeng terus menurun, tentu saat ini aku sudah berada di Medan, besok paginya aku bisa mengantarkan ke pemakaman.  Aku tak dapat menahan tangisku, yang terus meraung-raung bagai anak kecil. Anak-anak dan istriku yang menyaksikan semua menangis, mereka tak sanggup mendiamkan tangisku. Bahkan ketika Om-ku menelpon menanyakan kepastian Ganeng telah meninggal dunia, aku menjawab sambil tersedu-sedu. Malam itu sambil terus terisak, aku mempersiapkan pakaian dan tas yang akan kubawa pulang ke kampung halaman besok pagi.

Jam 11.30 aku berangkat menuju terminal Rawamangun, selanjutnya menuju Bandara Seokarno Hatta dengan bus Damri. Aku telepon Yuk Yah, yang mengabarkan proses pemakaman almarhum baru saja selesai. Aku ikhlas, walau tidak bisa bertemu Ganeng, paling tidak aku bisa pulang menghibur keluarga, melihat pusara, berdoa dan menaburkan kembang dipusara adikku.

Di perjalanan sambil mengisi waktu, aku mengupdate status FB-ku “Dinda, maafkan aku yang tak sempat meghantarkanmu menemui Sang Khalik. Masih terngiang suara paraumu nan lemah kemarin diujung telepon. Ternyata itu suara terakhirmu. Selamat jalan dinda. Aku segera pulang tuk menabur kembang di pusaramu. Doaku tak terputus mengiringi tidur abadimu….”

Tiba di terminal keberangkatan Bandara aku bergegas turun dari Damri dan masuk ke ruang check in, gelap dan panas, ternyata Bandara mati lampu. Penumpang semakin banyak berdatangan, sehingga semakin sesak. Proses check in belum bisa dilaksankan karena komputer mati dan tidak terhubung ke server.

Tak sabar aku menunggu, padahal aku sudah ingin cepat pulang. Setelah delai 1 jam akhirnya aku bisa terbang juga, hingga tiba di Medan dua jam kemudian. Jam 20.15 bus malam PMTOH yang membawaku ke Takengon berangkat.

Sepanjang perjalanan aku sulit tertidur, banyak sekali kenangan-kenangan manis bersama Ganeng, dari mulai kecil, masa sekolah, hingga dia menyusulku mengadu nasib ke Jakarta. Panggilan Ganeng adalah pemberian Mbah Muchlan, salah satu ulama dan guru ngaji di desa kami, yang sudah kami anggap sebagai orang tua kami. Ganeng itu berasal dari Jenong, karena jidat Warsono yang waktu kecil agak melebar dan menyembul. Sehingga kami semua, bahkan orang sekampung semua memanggil Ganeng. Kecuali teman-teman sekolah dan kerjanya yang memanggil Warsono.

Saat Ganeng sekolah di STM Langsa Aceh Timur, yang juga merupakan sekolah almamaterku, aku membantu membiayai sekolahnya yang ku kirimkan melalui wesel pos dari Jakarta, tidak rutin setiap bulan memang, karena keadaanku yang waktu itu belum mapan. Jika ada permasalahan dalam pekerjaan dan kehidupannya, Ganeng juga selalu menyampaikan dan mendiskusikannya padaku.

Dua tahun sebelum Ganeng kembali ke Takengon memboyong keluarganya, karena rasionalisasi di perusahaan tempatnya bekerja, Ganeng tertarik dengan aktifitas jamaah tablik. Ketertarikan inilah yang membuat Ganeng berubah menjadi religius, rajin mengikuti pengajian dimanapun berada, bahkan hingga menginap di Masjid berhari-hari. Pakaiannya pun kemudian berubah, lebih sering menggunakan baju koko dan gamis. Rajin membaca buku-buku tentang Islam, sehingga menjadi mubaligh yang mengisi ceramah dan khutbah Jum’at di beberapa masjid. Kini istri dan anak-anaknya juga sudah mengenakan cadar. Gita, putri pertamanya juga di sekolahkan di pesantren. Itu adalah caranya untuk menegakkan syariat Islam, yang dimulai dari diri dan keluarganya.

Tidak sampai setahun setelah pulang ke kampung halaman, Ganeng mengikuti seleksi PNS di Aceh Tengah, alhamdulillah diterima dan di tempatkan di SMP Negeri di desa kami sebagai bendahara. Selama bekerja di kantornya, Ganeng selalu mengenakan kopiah untuk melengkapi seragam coklat PNS-nya.

Semua kenangan itu kini membayang lagi, melintas di hadapanku, seakan baru saja terjadi. Tak terasa air mataku menetes membasahi pipi.

Untuk mengisi perjalanan itu juga aku membuka akun Facebook di tabletku, karena kangen dengan Ganeng yang tak terbendung, aku mencoba membuka wall-nya yang bernama Ahmad Ridwan Al Biusi, dan membaca statusnya satu persatu yang semuanya bernuansa religius dan nasehat Islami. Aku tertegun dengan salah satusnya yang tertulis  ‎"Mati itu pasti datang...yang jadi masalah apa yang sudah kita persiapkan jika ia datang dengan tiba-tiba....." sambil gemetar tanganku lalu menulis komentar “Adikku, kini engkau telah benar-benar pergi untuk selamanya, meninggalkan kami semua. Engkau telah benar-benar mempersiapkannya menghadap sang khalik. Semoga amal kebaikanmu selama hidup mendapat pahala tak terhingga dan mendapat tempat yang paling mulia di sisi-Nya. Amin”

Setelah shalat subuh, aku berganti menaiki bus kecil di terminal Takengon menuju kampung halaman Burni Bius. Udara sejuk kota dingin itu menembus jacket yang ku kenakan, terasa sampai ke tulang. Setelah beberapa bangku penumpang terisi, bus kecil itu melaju meningalkan kota.

Setelah 1 jam perjalanan, matahari pagi baru saja muncul dari celah bukit ketika bus kecil itu berhenti di depan rumahku. Ransel pakaian dan sedikit oleh-oleh aku tenteng masuk ke rumah. “Assalamu’alaikum” ucapku ketika tepat di pintu rumahku yang tidak tertutup. Mamakku muncul dari dapur sambil menjawab “Waalaikum salam, alhamdulillah Hud kamu sudah datang”. Tanpa berucap lagi, aku langsung memeluk Mamakku yang sudah terlihat lebih tua dibanding kepulanganku satu setengah tahun lalu. Saat itu aku pulang bersama istri dan anak-anakku karena Bapak yang sangat kami cintai meninggalkan kami untuk selamanya.

“Maafkan aku Mak, yang tidak bisa merawat saat Ganeng sakit, bahkan menghantarkan ke pemakamanpun aku tidak sempat” ucapku sambil bergetar menahan tangis.

“Tidak apa-apa kamu kan jauh, ada istrinya, kakak-kakakmu dan adik-adikkmu yang sudah merawatnya disini” jawab mamakku, aku tak sanggup menahan tangis, air mataku menetes kembali. Lama sekali aku memeluk Mamak untuk menghilangkan rasa penyesalanku karena tidak bisa bertemu dengan Ganeng. Satu persatu kemudian aku menyalami dan memeluk kakak dan adik-adikku, semua menangis. Karena kami kehilangan satu saudara kandung yang memang baru pertama kali ini kami rasakan.

Kini sebagian saudaraku telah berkumpul di rumah, aku teringat wajah-wajah mereka yang hadir dalam mimpiku, ketika aku kehilangan Ganeng sebelum aku sempat memeluknya. Mimpi itu kini menjadi nyata… aku kehilangan adik sekaligus teman dan sahabat yang sangat dekat denganku.

Siang hari sebelum shalat Zuhur, aku langsung ke pamakaman diantarkan oleh keponakanku. Aku tertegun melihat pusara dan batu nisan yang bertuliskan “Suarsono Bin Suwandak, Wafat 24-4-2012” Aku berdoa untuk kelapangan kubur adikku, agar semua kesalahan dan dosanya diampuni, serta mendapat pahala dan surga Allah SWT. Setelah itu aku menaburkan kembang diatas pusaranya.  Selamat jalan Dinda….. Doaku tak terputus mengiringi tidur abadimu…. (shd)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun