Semua kenangan itu kini membayang lagi, melintas di hadapanku, seakan baru saja terjadi. Tak terasa air mataku menetes membasahi pipi.
Untuk mengisi perjalanan itu juga aku membuka akun Facebook di tabletku, karena kangen dengan Ganeng yang tak terbendung, aku mencoba membuka wall-nya yang bernama Ahmad Ridwan Al Biusi, dan membaca statusnya satu persatu yang semuanya bernuansa religius dan nasehat Islami. Aku tertegun dengan salah satusnya yang tertulis "Mati itu pasti datang...yang jadi masalah apa yang sudah kita persiapkan jika ia datang dengan tiba-tiba....." sambil gemetar tanganku lalu menulis komentar “Adikku, kini engkau telah benar-benar pergi untuk selamanya, meninggalkan kami semua. Engkau telah benar-benar mempersiapkannya menghadap sang khalik. Semoga amal kebaikanmu selama hidup mendapat pahala tak terhingga dan mendapat tempat yang paling mulia di sisi-Nya. Amin”
Setelah shalat subuh, aku berganti menaiki bus kecil di terminal Takengon menuju kampung halaman Burni Bius. Udara sejuk kota dingin itu menembus jacket yang ku kenakan, terasa sampai ke tulang. Setelah beberapa bangku penumpang terisi, bus kecil itu melaju meningalkan kota.
Setelah 1 jam perjalanan, matahari pagi baru saja muncul dari celah bukit ketika bus kecil itu berhenti di depan rumahku. Ransel pakaian dan sedikit oleh-oleh aku tenteng masuk ke rumah. “Assalamu’alaikum” ucapku ketika tepat di pintu rumahku yang tidak tertutup. Mamakku muncul dari dapur sambil menjawab “Waalaikum salam, alhamdulillah Hud kamu sudah datang”. Tanpa berucap lagi, aku langsung memeluk Mamakku yang sudah terlihat lebih tua dibanding kepulanganku satu setengah tahun lalu. Saat itu aku pulang bersama istri dan anak-anakku karena Bapak yang sangat kami cintai meninggalkan kami untuk selamanya.
“Maafkan aku Mak, yang tidak bisa merawat saat Ganeng sakit, bahkan menghantarkan ke pemakamanpun aku tidak sempat” ucapku sambil bergetar menahan tangis.
“Tidak apa-apa kamu kan jauh, ada istrinya, kakak-kakakmu dan adik-adikkmu yang sudah merawatnya disini” jawab mamakku, aku tak sanggup menahan tangis, air mataku menetes kembali. Lama sekali aku memeluk Mamak untuk menghilangkan rasa penyesalanku karena tidak bisa bertemu dengan Ganeng. Satu persatu kemudian aku menyalami dan memeluk kakak dan adik-adikku, semua menangis. Karena kami kehilangan satu saudara kandung yang memang baru pertama kali ini kami rasakan.
Kini sebagian saudaraku telah berkumpul di rumah, aku teringat wajah-wajah mereka yang hadir dalam mimpiku, ketika aku kehilangan Ganeng sebelum aku sempat memeluknya. Mimpi itu kini menjadi nyata… aku kehilangan adik sekaligus teman dan sahabat yang sangat dekat denganku.
Siang hari sebelum shalat Zuhur, aku langsung ke pamakaman diantarkan oleh keponakanku. Aku tertegun melihat pusara dan batu nisan yang bertuliskan “Suarsono Bin Suwandak, Wafat 24-4-2012” Aku berdoa untuk kelapangan kubur adikku, agar semua kesalahan dan dosanya diampuni, serta mendapat pahala dan surga Allah SWT. Setelah itu aku menaburkan kembang diatas pusaranya. Selamat jalan Dinda….. Doaku tak terputus mengiringi tidur abadimu…. (shd)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H