Sore hari pulang kerja aku berobat ke dokter, berharap agar saat aku pulang ke Aceh lusa, badanku sudah fit dan batukku reda. Maklum perjalanan Jakarta-Takengon (Aceh Tengah) adalah perjalanan panjang yang melelahkan, 2,5 Jam penerbangan Jakarta-Medan ditambah dengan 11 jam Medan-Takengon dengan bus malam.
Sesuai anjuran dokter, hingga di rumah aku langsung meminum obat, setelah istirahat cukup, 3 jam kemudian aku minum lagi obat tersebut. Alamdulillah setelah tidur semaleman, bangun pagi badanku sudah lebih sehat.
Sebelum berangkat kerja, aku sempatkan telepon ke Bahar, adik yang persis dibawahku, Bahar mengabarkan kalau Ganeng, masih tetap sehat, namun agak sedikit lemas, mungkin karena pengaruh obat, aku berangkat kerja lebih tenang pagi itu.
Siang sambil bekerja di kantor, aku cek lagi perkembangan Ganeng, Yu Yah mengabarkan kondisi Ganeng agak melemah lagi, bicaranya mulai meracau. “Ya allah sehatkanlah kembali adikku seperti kemarin, angkatlah semua penyakitnya. Agar ia dapat berkumpul kembali beserta keluarganya dan keluarga besar kami semua”. Aku tak pernah berhenti berdoa untuk kesembuhan adikku.
Aku takut sekali kehilangan adikku, seperti yang kualami kemarin malam. Waktu aku bersepeda dengan anakku Nadif yang berusia 6 tahun. Kami mengayuh sepeda masing-masing mendaki gunung. Ransel berisi perlengkapan dan pakaian ganti Nadif tergantung di pundakku. Diatas gunung itu aku memandikan Nadif dibawah air pancuran yang sangat jernih dan dingin. Setelah menggantikan pakaiannya, kami kembali naik sepeda menuruni gunung. Tak berapa lama kami tiba di sebuah gedung yang amat luas, didalamnya sedang berkumpul keluarga besarku di kampung, menyaksikan bertunjukan tarian, yang bernuansa antara irama padang pasir dan melayu. Diiringi nyanyian suara laki-laki yang sangat merdu dan indah sekali, sangat selaras dengan tariannya.
“Ya Allah itu kan suara Ganeng, dia sedang sakit, tapi bisa bernyanyi seindah itu”, kataku bertanya pada orang-orang yang sedang menyaksikan pertunjukan itu.
“Ya kang itu memang suara Ganeng, dia nyanyi sambil duduk, kata Mar, adik iparku. Kesana saja kang” katanya.
Aku kedepan menghampiri Ganeng, dia duduk membelakangiku, sambil terus bernyanyi. “Ya Allah Ganeng, kamu sudah sembuh dan bisa nyanyi, aku kangen banget... Aku ingin memelukmu melepas rinduku...”
Dia menoleh padaku sejenak, aku memeluknya... Namun saat aku peluk tiba-tiba Ganeng menghilang dari hadapanku, aku menangis histeris, “Neng, Ganeng.... kamu dimana. Aku ingin memelukmu...” Aku terus menangis, “Aku nggak mau kehilanganmu..... Aku kangen kamu” aku menjerit histeris.
“Wis kang, jangan nangis, Ganeng ada kok, dia ndak pergi...” kata Mar
“Ia tapi mana Ganeng...” aku terus menangis tersedu-sedu, semua saudaraku yang ada di ruangan itu menghibur dan mencoba mendiamkan tangisku. Tapi aku tak bisa berhenti. Tangisku semakin kencang. Aku belum siap kehilangan adikku.