Wer auf den grossen Gewinn hofft, verliert oft alles." (Siapa yang berharap keuntungan besar, sering kehilangan segalanya.)
Industri energi terbarukan, meskipun menjadi harapan besar untuk masa depan yang lebih bersih, menghadapi tantangan signifikan yang menyebabkan kebangkrutan sejumlah perusahaan besar dalam beberapa tahun terakhir. SunPower Corporation, perusahaan penyedia sistem energi surya dan penyimpanan baterai, mengajukan perlindungan kebangkrutan pada Agustus 2024 akibat krisis likuiditas yang parah dan utang lebih dari $2 miliar. Titan Solar Power, salah satu pemasang panel surya terbesar di Amerika Serikat, juga menghentikan operasinya pada Juni 2024, meninggalkan banyak pelanggan dengan sistem energi yang tidak berfungsi.
SunEdison, yang pernah menjadi pengembang energi terbarukan terbesar di dunia, tidak mampu mengatasi beban utang sebesar $11 miliar akibat ekspansi besar-besaran dan mengajukan kebangkrutan pada April 2016. Stirling Energy Systems, yang fokus pada pengembangan teknologi pembangkit listrik tenaga surya menggunakan mesin Stirling, menyerah pada persaingan harga dengan panel surya fotovoltaik bersubsidi dari Cina, yang menyebabkan kebangkrutannya pada 2011. Selain itu, Vertex Energy dan PetersenDean, masing-masing di sektor transisi energi dan konstruksi surya, juga mengalami kesulitan keuangan yang berujung pada penghentian operasional mereka.
Kasus-kasus ini menyoroti berbagai hambatan yang dihadapi industri energi terbarukan, termasuk tekanan biaya, persaingan pasar global, dan ketergantungan besar pada insentif pemerintah. Meskipun potensi pasar energi bersih tetap tinggi, tantangan ini menunjukkan perlunya strategi bisnis yang lebih berkelanjutan, inovasi teknologi yang lebih kompetitif, dan dukungan kebijakan yang stabil untuk memastikan pertumbuhan jangka panjang industri ini.
Rindu Energi Nuklir, Bolehkah?
Di tengah transisi energi yang sedang berlangsung, muncul dilema besar di masyarakat: kebutuhan akan energi murah dan stabil di satu sisi, serta keinginan untuk mengurangi dampak lingkungan di sisi lain. Setelah penghentian pembangkit listrik tenaga nuklir di Jerman, seperti reaktor di Isar,Jerman, Â yang saya kunjungi, banyak yang mulai menyadari tingginya biaya energi. Sementara sumber terbarukan tidak murah dan keterbatasan suplai dari teknologi hijau ini.
Barang dan jasa semakin mahal seiring energi yang semakin naik. Dalam kondisi seperti ini, nostalgia terhadap energi nuklir---yang pernah menyediakan listrik murah dan stabil tanpa emisi karbon---semakin terasa. Namun, di balik kerinduan itu, muncul juga pertanyaan: apakah risiko besar yang melekat pada nuklir, seperti pengelolaan limbah dan potensi kecelakaan, masih dapat diterima di era modern?
Dilema ini mencerminkan kerinduan akan solusi energi yang mampu menjawab kebutuhan praktis sekaligus mengakomodasi harapan akan masa depan yang berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H