Mohon tunggu...
Dr Ing. Suhendra
Dr Ing. Suhendra Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, technopreneur, dosen, hobby traveller

Tinggal di Jogja, hoby travel dan baca. Sehari-hari sebagai konsultan, dosen dan pembina beberapa start-up

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Tanpa SAF, Garuda Tidak Boleh Mendarat di Uni Eropa

1 Maret 2024   07:02 Diperbarui: 3 Maret 2024   00:47 951
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pesawat maskapai penerbangan Garuda Indonesia. (SHUTTERSTOCK/LEONY EKA PRAKASA via KOMPAS.com)

Tanpa SAF, Garuda Tidak Boleh Mendarat di Uni Eropa

Oleh: Dr.-Ing. Suhendra*

Perdebatan pilpres lalu telah menyajikan semangat pentingnya kedaulatan teknologi dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia di Indonesia.

Sayangnya, aroma yang disuguhkan masih berbau normatif. Pemirsa banyak menganggap belum menyentuh isu detail pemilihan alternatif teknologi yang layak dieksekusi segera demi kedaulatan bangsa dan ekonomi.

Oleh karena itu, tulisan ini berupaya mempresentasikan salah satu cabang kecil penguasaan teknologi energi yang menjadi kunci kesuksesan Indonesia masa depan.

Produk utama yang ingin ditampilkan pada tulisan ini dikenal dalam trend teknologi saat ini hanya dengan tiga huruf: S A F, yang merupakan singkatan dari Sustainable Aviation Fuel.

Diawali Uni Eropa yang mewajibkan pemakaian SAF pada semua pesawat yang mendarat di Uni Eropa mulai 2025, pada akhirnya semua negara harus mengikuti arus ini.

Setiap pesawat yang landing di Uni Eropa harus menggunakan 2% SAF pada tahun 2025, 6% pada tahun 2030, dan akhirnya 70% pada tahun 2050.

Cepatnya revolusi teknologi energi terbarukan digunakan di sektor transportasi cukup membuat banyak negara yang belum siap terkejut.

Demikian pula, awal 2015 sejak penulis mendapat kepercayaan dilibatkan dalam proyek pembangunan kilang SAF milik salah satu perusahaan migas internasional di Lingen, Jerman, waktu berlalu cepat hingga titik sekarang.

Kini, kurang dari dua belas bulan dari sekarang, semua maskapai penerbangan sudah harus mempersiapkan menggunakan teknologi ini.

Termasuk Garuda, maskapai kebanggaan Indonesia.

Pesawat yang tidak mendeklarasikan penggunaan SAF sama sekali pada bahan bakar mereka maka tidak diijinkan mendarat di Uni Eropa.

Kelahiran inovasi ambisius SAF cerminan sikap dan motivasi Uni Eropa mendukung perjuangan global melawan perubahan iklim dan mempercepat transisi ke ekonomi rendah karbon, Uni Eropa telah mengambil langkah progresif dengan mengumumkan kebijakan ini yang pada akhirnya mempengaruhi industri penerbangan secara signifikan. 

Kebijakan ini merupakan bagian dari Green Deal Eropa, yang bertujuan untuk membuat benua tersebut netral karbon pada tahun 2050.

Uni Eropa mentargetkan per tahun minimal 2 juta ton SAF digunakan di udara benua ini. 

Sebagai salah satu contoh, Lufthansa sejak 2022 juga telah menggunakan lebih dari 13.000 ton SAF untuk pesawat komersial.

Sebelumnya, hasil penelitian tim Deutsche Luftraumtechik (DLR/ Lembaga rise antariksa Jerman) mencatat bahwa emisi sktor penerbangan mencapai sekitar 720 juta ton CO2 (karbondioksida), atau menyumbang sekitar 3%--4% dari total emisi CO2 (karbondioksida). 

Mengingat pertumbuhan sektor ini, tanpa intervensi yang signifikan, emisi diperkirakan akan terus meningkat.

Oleh karena itu, penggunaan SAF dianggap sebagai salah satu solusi paling efektif untuk mengurangi jejak karbon industri penerbangan tanpa mengurangi mobilitas global.

Sumber: flyrouteshub.com
Sumber: flyrouteshub.com

SAF dibuat dari sumber daya terbarukan seperti limbah pertanian, limbah makanan, dan bahkan karbon yang ditangkap dari atmosfer.

Berbeda dengan bahan bakar fosil, SAF dapat mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 80% selama siklus hidupnya, tergantung pada bahan baku dan proses produksinya.

Saat ini, berbagai kajian tentang sumber bahan baku dan teknologi produksi SAF mendapat insentif menarik dari Uni Eropa agar target ambisius mulai 2025 tercapai.

Selain menawarkan pilihan yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan untuk industri penerbangan, SAF juga telah terbukti mengurangi partikl jelaga yang membentuk efek rumah kaca akibat partikel-partikel terkondensasi yang biasa ditinggalkan bahan bakar fosil dari buangan pesawat di udara.

Secara signifikan efek rumah kaca diturunkan hingga 80% selama siklus hidup bahan dibandingkan dengan bahan bakar fosil tradisional.

Ini karena SAF bisa berasal dari sumber daya terbarukan yang menyerap CO2 dari atmosfer selama pertumbuhan mereka, yang sebagian besar mengkompensasi CO2 yang dilepaskan saat pembakaran.

Bahan baku untuk SAF yang cocok mencakup berbagai sumber yang dapat diperbaharui dan tidak bersaing langsung dengan pangan atau mempengaruhi keanekaragaman hayati secara negatif.

Selain itu, SAF dirancang untuk menjadi "drop-in" fuel, yang berarti dapat digunakan dengan infrastruktur dan mesin penerbangan yang ada tanpa memerlukan modifikasi.

Ini memudahkan integrasi SAF ke dalam operasi penerbangan saat ini dan memungkinkan transisi yang mulus dari bahan bakar fosil.

Maskapai penerbangan menghadapi tantangan untuk mengintegrasikan SAF ke dalam operasi mereka, yang mungkin memerlukan penyesuaian logistik dan teknis.

Agar sejalan dengan aspek komersialisasi global, pertimbangan pemilihan bahan baku SAF juga perlu mempertimbangkan Renewable Energy Directive (RED II) dari Uni Eropa yang melarang bahan baku yang menyebabkan risiko tinggi pada perubahan tataguna lahan (ILUC/ Indirect Land Use Change).

Sejatinya, Pertamina berhasil mengembangkan teknologi SAF pertama di dunia dari kelapa sawit. Sayangnya, bahan crude palm oil menjadi satu-satunya miyak nabati yang diklasifikasikan memiliki risiko ILUC tinggi.

Protes dari Indonesia sebagai produsen utama minyak sawit dunia muncul. Tentunya, karena klasifikasi pada aturan RED II Uni Eropa beraroma diskriminatif - proteksionis.

Pada akhirnya, kita perlu lebih dari sekedar pengakuan terhadap potensi sumber daya alam kita menghasilkan berbagai sumber bahan baku SAF. 

Karenanya, diperlukan tindakan nyata dari pemerintah, investor, dunia kampus dan riset serta industri.

Investasi dalam penelitian dan pengembangan lebih lanjut, bersama dengan dukungan kebijakan, akan mempercepat adopsi produksi SAF yang bisa diterima secara global.

Jika kita serius ingin mengatasi perubahan iklim, maka mendukung inovasi seperti SAF bukan lagi pilihan tetapi keharusan.

Saatnya kita berinvestasi di masa depan di mana kita terbang di atas langit biru dengan bahan bakar yang diperoleh dari kekayaan alam kita.

*Penulis bekerja lebih dari 15 tahun sebagai insinyur rancang bangun pabrik kimia dan farmasi di Jerman. Saat ini sebagai dosen teknik kimia Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun