Sejatinya, Pertamina berhasil mengembangkan teknologi SAF pertama di dunia dari kelapa sawit. Sayangnya, bahan crude palm oil menjadi satu-satunya miyak nabati yang diklasifikasikan memiliki risiko ILUC tinggi.
Protes dari Indonesia sebagai produsen utama minyak sawit dunia muncul. Tentunya, karena klasifikasi pada aturan RED II Uni Eropa beraroma diskriminatif - proteksionis.
Pada akhirnya, kita perlu lebih dari sekedar pengakuan terhadap potensi sumber daya alam kita menghasilkan berbagai sumber bahan baku SAF.Â
Karenanya, diperlukan tindakan nyata dari pemerintah, investor, dunia kampus dan riset serta industri.
Investasi dalam penelitian dan pengembangan lebih lanjut, bersama dengan dukungan kebijakan, akan mempercepat adopsi produksi SAF yang bisa diterima secara global.
Jika kita serius ingin mengatasi perubahan iklim, maka mendukung inovasi seperti SAF bukan lagi pilihan tetapi keharusan.
Saatnya kita berinvestasi di masa depan di mana kita terbang di atas langit biru dengan bahan bakar yang diperoleh dari kekayaan alam kita.
*Penulis bekerja lebih dari 15 tahun sebagai insinyur rancang bangun pabrik kimia dan farmasi di Jerman. Saat ini sebagai dosen teknik kimia Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.